OLEH : MAIKEL GOBAI
Spiritualitas Owaada
LATAR BELAKANG
Kita mau berbicara mengenai
Spiritualitas Owaada. Tetapi apakah ‘Owaada’ itu? Apakah ‘Owaada’ itu sesuatu yang kelihatan,
ataukah tidak kelihatan dan ada karena diupayakan atau ada dengan sendirinya?
Dari manakah lahir atau datangnya Spiritualitas Owaada? Dengan cara manakah Spiritualitas Owaada tersebut lahir? Kapan dan di manakah Spiritualitas Owaada itu lahir? Siapakah yang
melahirkannya? Siapakah tokoh utama dari Spiritualitas Owaada? Apakah Spiritualitas Owaada
itu masih ada dan terpelihara sampai dengan saat ini? Bagaimana orang
memelihara Spiritualitas Owaada tersebut?
Apakah Spiritualitas ini dipelihara oleh semua keluarga dan merupakan
kewajiban? Jikalau dipelihara oleh semua keluarga, mengapa dipelihara? Apakah
maksud-tujuan keluarga-keluarga memelihara Spiritualitas Owaada? Apakah hakikat inti sari dari Spiritualitas Owaada? Bagaimana Spiritualitas Owaada dihayati dan diamalkan oleh
keluarga-keluarga? Bagaimana keluarga-keluarga menghayati dan mengamalkannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini ada
di latar belakang dan ada bersama Spiritualitas Owaada. Tanpa pertanyaan-pertanyaan ini, tiada pula Spiritualitas Owaada. Tanpa pertanyaan-pertanyaan ini,
Spiritualitas Owaada tidak mempunyai
eksistensinya. Spiritualitas Owaada ada,
mengada dan menjadi Spiritualitas Owaada atas
dasar dan kebersatuan dengan pertanyaan-pertanyaan itu. itulah sebabnya dalam
tulisan berikut ini, yang mau dikaji dan diulas, dipikirkan dan direnungkan
ialah menyangkut isi yang terkandung di dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Jadi hasil refleksi yang mendalam atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang mau
dicoba untuk dikemukakan dan disajikan dalam tulisan berikut ini.
DI MANAKAH TEMPAT LAHIRNYA
SPIRITUALITAS OWAADA?
Menurut ceritera para orang
tua, Spiritualitas Owaada itu telah
ada bersamaan dengan adanya ‘Leluhur Orang Mee’, ada terus mengikuti ke mana
mereka pergi dan di mana mereka tinggal semenjak dahulu kala. Jadi
Spiritualitas Owaada ada dan hidup
bersama dengan adanya dan hidupnya orang Mee, entah di mana dan kapan pun.
Namun menurut para orang tua
pula, Spiritualitas Owaada itu
betul-betul diikrarkan sebagai suatu Spiritual dengan telah terjadinya
peristiwa agung Koyeidabe di Idakebo, di Lembah Kamuu (sekarang menjadi ibukota
Distrik Ikrar).
KAPAN SPIRITUALITAS OWAADA LAHIR?
Spiritualitas Owaada ada bersamaan dengan adanya
leluhur orang Mee dan ada terus bersama adanya orang Mee. Menurut ceritera para
orang-orang tua, pertumbuhan dan perkembangan Spiritualitas Owaada dalam lintasan sejarah kehidupan
orang Mee dapat dibedakan ke dalam dua era atau pun tendensi, yaitu
Spiritualitas Owaada sebelum
peristiwa Koyeidaba dan sesudahnya. Terakhir dikatakan bahwa kedatangan dan
masuknya Injil di Paniai di antara orang-orang Mee ketika orang Mee sedang
berada dalam situasi sedang menghayati dan
mengamalkan kehidupannya dan berpusat pada Spiritualitas Owaada; dengan Touye Manaa
sebagai Sabda-sabda tentang kehidupan dan Owaada
sebagai Tabernakel Makanan-Minuman Kehidupan!
TOKOH SPIRITUALITAS OWAADA
Tokoh Spiritualitas Owaada adalah Koyeidaba, yaitu Sang Koyei yang kecil, jelek penampakannya, miskin
kekayaannya, namun bersahaja hidupnya. Ketika Ia hidup, Ia berjalan dari
kampung ke kampung melakukan banyak perbuatan ajaib dan mengajarkan Touye Manaa, yaitu suatu ajaran mengenai hidup yang selalu
terjaga dan terbangun tanpa tidur. Singkatnya, ajaran kehidupan.
Ketika Koyeidaba masih hidup,
sesungguhnya Ia tidak pernah mengatakan dan mengajarkan bahwa Ia akan
mengadakan, melahirkan atau pun menciptakan suatu Spiritualitas yang bernama
Spiritualitas Owaada. Sebaliknya yang
Ia ajarkan ialah hanya mengenai Touye
Manaa. Spiritualitas Owaada itu,
muncul di kemudian hari setelah kematian Koyeidaba, di antara orang-orang Mee
dalam perjalanan perkembangan kehidupannya.
PERISTIWA KEMATIAN KOYEIDABA
Peristiwa sekitar kematian
Koyeidaba, diceriterakan oleh Dr. Benny Giay dalam buku Zakheus Pakage and His Communities, sebagai berikut:
Koyeidaba’s Settlement in
Idakebo
After choosing Idakebo as his dwelling place,
Koyeidaba started his activities.
Idakebo or Makewapa is also the places where the leaders of the Wege Manaa of the Kamu Valley grew up
and live to day. Idakebo is a holy place because it is the place which Koyeidaba chose to live and carried out
his activities. It is generally believed that Koyeidaba will return to this place to judge the world.
Miraculous Work of Koyeidaba
He performed many extraordinary things such
as: creating food just by rubbing his hand and other parts of his body when the
people were in critical times of hunger. He fed the people who came in search
of food. The people from the whole region flocked to Idakebo and followed him
to wherever he went. Others say, Koyeidaba
also healed the sick.
The Killing of Koyeidaba in Odiyaidimi
Not all people admired Koyeidaba. There were
people who were jealous, seeing him having no difficulty in obtaining food and
having many followers. Those who were jealous formed a plot and finally killed
him.
The People Who Participated in the Killing
Some of the Mee clan names today were given
after the role they played in the killing of Koyeidaba
Agapa
|
From ‘aagai’ which means to spit; the one split up his body.
|
Goo
|
From ‘gou’ which means to drag; he who dragged him (Koyeidaba) out the house to the place
where he has killed.
|
Dou
|
From ‘dou’ which means to see; the one who saw where Koyeidaba was before he was killed.
|
Pigai
|
From ‘pigai’ which means to slice; the one who participated in the
killing by cutting up his fingers.
|
Tebai
|
From ‘teba’ which means to palm; the one who cut Koyeidaba’s hand and feet into pierces.
|
Mote
|
From ‘motii’ which means to take; the one who betrayed Koyeidaba by taking a bribe and hand
over Koyeidaba to the plotters who
was after Koyeidaba.
|
Koyeidaba’s Last Words
Before His Death
Before breathing his last breath, Koyeidaba
said his last words:
Pituwo
ko pituwouda,
Waguwo
ko waguwouda,
Wado
akadoo tai tage.
|
We will meet each other or
I will return
After seven or eight
generations!
|
These last words of Koyeidaba are viewed as a revelation of an even which will take
place in the near future; and therefore Koyeidaba
is expected to return to Idakebo or the Paniai region. The people argue that
when he returns he will punish those who had prevented him from carrying on his
activities by killing them. Furthermore, he will judge all mankind regardless
of their cultural or religions background and inaugurate a new era. The last
words of Koyeidaba are believed to be
taking place in the near future. This is based on the assumption that the words
of dying men and women is a revelation of the spirit regarding the destiny of
those who are present when such words are pronounced. Dying men’s words such as
these are believed to be unfolding future events for those who are present. Koyeidaba’s words before his death are
taken as a prediction of the future not only for one single individual or
family, clan or tribe, but for the whole mankind!
HAL-HAL YANG TERJADI SETELAH
KEMATIAN KOYEIDABA
Setelah Koyeidaba meninggal, menghembuskan nafasnya yang terakhir, telah
terjadi banyak peristiwa, kejadian dan perihal. Beberapa di antaranya
diceriterakan oleh Dr. Benny Giay sebagai berikut:
Koyeidaba Sisters
Koyeidaba
had
two sisters: Nooku and Jegaku. They were not at home when Koyeidaba was dragged away to the place where he was killed.
Shortly after Koyeidaba’s killing,
Nooku and Jegaku returned home. When they arrived in Odiyaidimi, a hill behind
Idakebo, the two sisters heard the commotion and learned that their brother has
been killed. As the began to wail, the people started to pursue them, to kill
them too. Nooku and Jegaku fled. Jegaku went to eastern or northern direction
(Siriwo). While her sister Nooku went to the southern or western direction. Nooku
took along the ‘Touye Manaa’, the
lost word or teaching, the lost knowledge about secret of prosperous life.
The Changes of Some Parts of Koyeidaba’s Body
Some parts of Koyeidaba’s body changes and became food which the Mee cultivate in
their garden today:
Koyeidaba’s eyes
|
Became uguubo / digionaapa, an edible
green (Rungia klossii).
|
His ribs
|
Became kugou, bananas (Musa paradisiacal).
|
His shin
|
Became muuti, a special of sugar cane.
|
His lips
|
Became bemu, a special edible mushroom.
|
His brains
|
Became nomo, taro and … etc.
|
Koyeidaba’s Blood
The blood of Koyeidaba became a pool known as ‘emo peku’ – pool of blood. This pool was still there in Idakebo,
but there is no more water in the pool since a big canal was made by the
Catholics in the early 1970s to provide more land for the people of Kamuu
valley for cultivation.
Koyeidaba’s Curse
Koyeidaba cursed the people and the land ‘gaaga kabu, didi kabu, bokaa kabu kou ma umitou tai’ – which means
‘you will live in sorrow, trouble, sickness and death’.
Koyeidaba Took Away the Real Food
Some say that after Koyeidaba’s killing, he took away the
real food; he also changed the true ‘nomo’,
taro (coloscasia) to ‘nomo kebaya’, wild taro – today grown in
the swampy areas; and he changes the true eto,
sugar cane (saccharum officinarium)
became ‘pagimo’ – a wild grass that
looks like sugar cane, etc.
When Koyeidaba died all kinds of food disappeared. Some say he took food
with him, while others claim that the food the cultivated today in the Paniai
region are not the real food, because the real food disappearsed after Koyeidaba was killed.
PROSES PERTUMBUHAN DAN
PERKEMBANGAN SPIRITUALITAS OWAADA
Setelah kematian Koyeidaba, bertalian dengan ceritera
tentang jenis-jenis tumbuhan tanaman makanan terdapat dua versi. Versi pertama
berceritera bahwa setelah Koyeidaba meninggal,
Ia telah menghilangkan sejumlah jenis tumbuhan tanaman makanan dan yang lainnya
diubah menjadi jenis-jenis tumbuhan yang mirip dengan tanaman makanan tetapi
tidak dapat dimakan seperti tanaman ‘nomo’
atau ‘keladi’ diubah menjadi ‘nomo kebaya’
serta tanaman tebu ‘eto’, diubah
menjadi ‘pagimo’.
Sementara itu, versi yang lain
menceriterakan bahwa dari anggota-anggota tubuh Koyeidaba itu, telah berubah menjadi berbagai jenis tumbuhan
tanaman makanan dan jenis-jenis tanaman makanan tersebut masih ada dan terus
terpelihara sampai dengan saat sekarang.
Dengan cara atau jalan apakah
dapat dibuktikan bahwa jenis-jenis tanaman makanan yang berasal dari
anggota-anggota tubuh Koyeidaba itu
betul-betul masih ada dan terus terpelihara sampai saat kini?
Konon menurut ceritera para
orang tua-tua, setelah Koyeidaba
meninggal, tubuhnya dipotong-potong lalu dibuang-buang secara sembarangan ke
berbagai arah dan tempat. Tetapi beberapa waktu kemudian mereka melihat bahwa
dari anggota-anggota tubuh itu bertumbuhlah berbagai jenis tumbuhan tanaman
secara ajaib dan tiba-tiba, yang kemudian menjadi tanaman-tanaman makanan.
Peristiwa terjadinya perubahan
anggota-anggota tubuh Koyeidaba menjadi
tumbuhan tanaman makanan itu merupakan peristiwa sangat ajaib, luar biasa,
penuh keanehan, amat menakjubkan dan sungguh-sungguh mengherankan. Namun
demikian, yang kemudian amat lebih mengherankan lagi adalah:
“Koyeidaba yang telah dibunuh, yang badanya dipotong-potong menjadi
potongan yang kecil-kecil, yang kemudian dibuang-buang secara sembarangan ke
segala tempat, yang selanjutnya berubah menjadi berbagai jenis tumbuh-tumbuhan
tanaman makanan itu, secara sangat ajaib tersusun dan terbentuk kembali menjadi
seorang manusia Koyeidaba yang
bangkit dan hidup kembali dari kematian yang mengerikan dan tak terperikan itu.
sesaat kemudian sebelum Koyeidaba meninggalkan
mereka pergi, Ia berkata: Kamu akan hidup terus-menerus di dalam kesusahan dan
penderitaan, kesakitan dan kematian sampai aku datang kembali di antara kamu.
Sesudah berkata demikian, Koyeidaba
meninggalkan mereka dengan sekejap mata secara ajaib dan misteri”.
Sementara itu, orang tua-tua
yang lain berceritera bahwa sesaat sebelum Koyeidaba
pergi menghilang secara ajaib, Koyeidaba
berpesan kepada orang-orang yang berada di tempat itu agar mereka terus
menjaga, memperhatikan dan memelihara semua jenis tanaman makanan yang telah
bertumbuh secara ajaib dari anggota-anggota tubuhnya itu, karena Ia akan datang
kembali melalui dan di dalam jenis-jenis tanaman makanan itu.
Selanjutnya, atas dasar pesan
dan amanat inilah orang-orang Mee menanam, memelihara, memperhatikan dan terus
menjaga jenis-jenis tanaman makanan itu (Tootaiyo) di dalam tempat khusus yang khados dan kudus ‘Owaada’ yang masih terus dihayati, diamini, diimani dan diamalkan
dalam kehidupan...
HAKIKAT INTI SARI SPIRITUALITAS
OWAADA
Hakikat inti sari Spiritualitas
Owaada berpusat pada
peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum menjelang, pada saat terjadi dan pula
sesudah terjadinya ‘kematian dan kebangkitan Koyeidaba’.
Peristiwa-peristiwa Sebelum Kematian dan Kebangkitan
Beberapa peristiwa atau hal
yang dinilai sebagai sangat penting sebelum kematian dan kebangkitan Koyeidaba ialah sebagai berikut:
Mukjizat pengadaan makanan oleh
Koyeidaba, dari tangannya yang hampa, pada saat orang-orang mengalami rasa
lapar di musim kelaparan sehingga banyak orang dapat memperoleh makanan dan
datang dari berbagai kampung di sekitarnya untuk tujuan yang sama, yaitu
mendapat bagian makanan.
Mukjizat penyembuhan yaitu
mukjizat yang dilakukan oleh Koyeidaba untuk menyembuhkan orang-orang sakit.
Kata-kata terakhir yang
disampaikan oleh Koyeidaba, yang merupakan kata-kata janji bahwa Ia akan datang
kembali kelak nanti, yaitu setelah tujuh atau delapan generasi terlewati.
Bermula sejak itu dan juga sampai dengan saat ini, karena kata-kata janji itu
belum tergenapi, maka masih sedang ditunggu dan dinanti-nantikan
penggenapannya.
Hal-hal Penting yang Terjadi Pada Saat Koyeidaba Dibunuh dan Mati
Berkaitan dengan ceritera
tentang pembunuhan dan kematian Koyeidaba,
kiranya sangat perlu untuk dicatat hal-hal sebagai berikut ini:
Perbuatan-perbuatan ajaib yang
dilakukan oleh Koyeidaba. Menyaksikan
keunggulan-keunggulan ini, ada kelompok orang yang iri hati terhadapnya.
Kelompok orang ini kemudian membentuk satu komplotan yang berencana untuk
membunuh Koyeidaba.
Untuk melaksanakan rencana
pembunuhan itu, Koyeidaba dijadikan
seolah-oleh sebagai benda sehingga ‘diperjualbelikan’, jadi ada yang bertindak
sebagai penjual dan pula sebagai pembeli.
Setelah kontrak jual-beli
dilakukan, ada yang ternyata ditugaskan untuk memata-matai keberadaan yang
sesungguhnya dari Koyeidaba. Ia didapati sedang berada di sebuah rumah, di
rumahnya sendiri.
Komplotan menerima laporan
bahwa Koyeidaba sedang berada di rumah maka mereka pun mulai bergerak.
Setibanya mereka di rumah, Koyeidaba diikat dengan tali. Ia ditarik-tarik
sambil memukulnya hingga di tempat pembunuhan.
Ternyata, orang-orang yang akan
membunuh Koyeidaba telah siap pula untuk melakukan tugasnya. Koyeidaba dibunuh,
dipotong-potong anggota tubuhnya. Jari-jemari kaki dan tangan dilepas satu
persatu dari kesatuannya. Juga kulit telapak kaki-tangannya dilepas dan
dikupas-kupas. Tulang-tulangnya dipatahkan dan dihancur-hancurkan hingga
menjadi kecil-kecil lalu dibuang-buang ke sana sini, ke mana-mana, ke segala
arah.
Hal-hal penting yang Terjadi Sesudah Kematian
Koyeidaba telah dbunuh dan mati. Tubuhnya telah dipotong-potong
dan tulangnya telah dipatah-patah lalu dihancur-hancur. Anggota-anggota
tubuhnya yang sedemikian itu telah dibuang sembarang bagai sesuatu benda yang
tak bernilai bahkan betul-betul yang sedikit pun tak bernilai dari antara semua
barang atau segala sesuatu yang sedikit pun tak bernilai sama sekali. Itulah
nasib yang telah ditentukan baginya, yang memang harus dialaminya dan sudah
betul-betul dijalaninya tanpa sikap melawan, memberontak dan dendam kesumat,
melainkan secara bebas dan berpasrah. Lalu, apakah yang telah terjadi setelah
semua itu berlalu?
Pertama, dari anggota-anggota tubuhnya itu telah bertumbuh
berbagai jenis tetumbuhan yang berguna bagi kehidupan manusia baik berupa
tumbuhan tanaman yang dapat dimakan oleh manusia maupun yang tak dapat dimakan,
yakni antara lain:
Biji mata
|
Menjadi sayur hijau, ‘uguubo’ atau ‘digio naapoo’.
|
Tulang rusuk
|
Menjadi pisang ‘kugou’, jenis pisang yang harus
dibakar karena tidak dapat menjadi tua dan masak di pohon.
|
Tulang kering
|
Menjadi tebu ‘muuti’.
|
Sumsum otak
|
Menjadi beberapa jenis
keladi, ‘toota nomo’.
|
Daging
|
Menjadi beberapa jenis
petatas, ‘toota notaa’.
|
Air darah
|
Menjadi sayur lilin merah, ‘dege yatuu’, ‘dege idaya’ atau bayam merah, dan pohon Udee berwarna merah, ‘dege
udee’ atau ‘daagu’.
|
Cairan tubuh
|
Menjadi sayur lilin putih, ‘nakuubo yatuu’, sayur bayam putih,
‘idaya’, dan pohon Udee hijau
polos, ‘udee’.
|
Bibir
|
Menjadi bemu, tumbuhan spora (jamur) jenis putih yang dapat dimakan.
|
Lain-lain
|
Menjadi berbagai jenis
tumbuhan lain.
|
Kedua, walaupun Koyeidaba
telah dibunuh, dihancurkan, anggota tubuhnya dibuang-buang, lalu dari buangan
dan injakan anggota-anggota tubuh itu telah menjadi berbagai jenis tumbuhan,
setelah beberapa waktu berlalu Ia bangkit, hidup kembali seperti semual dan
tampil memperlihatkan dirinya kepada orang-orang yang telah membunuhnya dan
juga kepada orang-orang yang lain.
Ketiga, berita kebangkitan dan kehidupan kembali Koyeidaba itu kemudian diberitakan oleh
orang ke mana-mana lalu menjadi tersiar di kalangan seluruh masyarakat etnik
Mee di Paniai, di saat itu.
Keempat, dari kalangan orang-orang yang telah mendengan berita
tentang kebangkitan dan kehidupan kembali Koyeidaba
itu, kemudian datanglah mereka dari berbagai kampung di sekitarnya untuk
membuktikan kebenarannya dengan jalan melihat dengan mata kepala sendiri.
Kelima, kemudian kepada semua orang yang datang dari berbagai
kampung dan yang ada di tempat itu, Koyeidaba
mengatakan kata-kata terakhirnya sebagai berikut:
Kou doogaa iyootumaido kou ko,
Anii tine-puneido.
Okai kou iyoo tumaido kou,
Epi munee – epi doutoo tai,
Epeepi eda kabageida awiiyake,
Diyo doo wadoo tai!
Koai kou ko,
Anii kidi touda,
Anii kidi uwi-yawi itaa!
Kou kodo,
Umi-woya, tou-woya!
|
Semua jenis tumbuhan yang
kamu baru lihat ini adalah
bagian dari anggota-anggota
tubuhku.
Dari semua jenis tumbuhan
ini,
perhatikan dan peliharalah
dengan sebaik-baiknya
di dalam suatu batasan yang
khusus
dan jagalah
kesucian-kekudusannya!
Semua ini adalah
Tempat aku mengada dan hidup,
jalan Aku datang-pergi
untuk selama-lamanya!
|
Setelah Koyeidaba menyampaikan kalimat pesan itu, Ia meneruskan
perkataannya sebagai berikut:
Ikeepa, Anii manaa umina kiteega.
Okai kou, manaido kou diyo dou!
Diyo tedoo wadoo tiipa ko,
didii kabu – gaagaa kabu,
wane kabu – bunita kabu,
duwa-duwa kabu – bokaa kabu ma, ume-wado too wado taitaa!
|
Kepada kamu, saya telah
menyampaikan banyak kata.
Akan semua hal-hal itu, kamu
hendaklah memelihara kesucian!
Kalau kamu tidak menjaga
kesucian,
kesakitan dan kesusahan,
kebodohan dan kegelapan,
kekurangan dan kematian
akan menyertai kehidupanmu
terus-menerus selama-lamanya!
|
Selanjutnya, Koyeidaba mengatakan banyak pesan yang
lain pula. Lalu sebagai kata pesan terakhir, Koyeidaba berjanji demikian:
Kii kabu – kou kabu nako,
kabu gake-gake ko,
pituwo ko, pituwouda
waguwo ko, waguwouda
woo akadoo, wado akadoo taitaage!
|
Bilamana dihitung-hitung era,
Era-era ini dan era-era itu
Satu era tujuh kali tujuh
kali atau
Satu era delapan kali delapan
kali,
Kita akan saling melihat dan
bertemu
Atau
Saya akan datang kembali
untuk ‘melihat kamu dengan mataku’
|
Keenam, setelah Koyeidaba
menyampaikan pesan-pesan dan janji-janjinya itu, Ia pergi menghilang dengan
sekejab, entah ke mana, meninggalkan semua orang yang dengan asyik dan
tertegun, dalam aneka campuran perasaan, mendengarkan perkataan-perkataannya
itu.
Ketujuh, setelah meninggalkan mereka pergi, semua orang pulang
kembali ke rumah dan kampung mereka masing-masing sambil menceriterakan segala
sesuatu yang mereka lihat, dengar dan alami dari seluruh ‘peristiwa’ yang
berkaitan, entah langsung maupun tidak langsung, dengan Sang Koyeidaba tersebut.
Kedelapan, berita dan ceritera-ceritera tentang ‘peristiwa Koyeidaba’ kemudian tersiar hingga ke
seluruh pelosok kampung di mana masyarakat Mee tinggal dan hidup, yakni di
antara kampung Makataka di ujung timur dan di kampung Kegata di ujung barat.
Kesembilan, inilah ‘inti sari isi Spiritualitas Owaada’ yang berawal-mula sejak saat itu
dan yang telah berlangsung sepanjang lintasan sejarah suku bangsa Mee yang
telah dihayati dan diamalkan dalam ketenangan-kesunyian-keterpencilan dan
ketertutupannya, yang juga pada saat ini ‘terang cahayanya’ masih bersinar di
tengah dunia yang tidak selalu rela terhadap terbitnya keakraban persaudaraan
sejati anak-anak manusia se-bapak Penyayang manusia.
ARTI KOHEIDABA / KESELAMATAN
MENURUT SUKU MEE
Pribadi Koheidaba
Setiap
orang senantiasa dilahirkan melalui
rahim ibu sebagai tanda ungkapan cinta manusia suami istri di tengah sebuah keluarga. Bayi tersebut dirawat [1]
dibesarkan dalam keluarga, maka ia bergantung penuh pada keluarga. Ia pun membutukan bantuan dari
orang lain untuk hidup
dalam pertumbuha-Nya.
Akan
tetapi Koyeidaba dilahirkan
amat unik dengan manusia
yang lain dalam konteks
kelahiran orang bayi. Bila dibandingkan dengan bayi-bayi lainya, Koheidaba bukan di lahirkan seperti seorang bayi
manusia dari kandungan mamanya, melainkan
ia muncul melalui” air kencing berwarna merah dari mamanya Kibiwo” ia
dirawat dibesarkan dalam keluarga yang miskin perkembangan semakin hari semakin
besar dalam hidup, baik itu hidup keluarga
maupun hidup bermasyarakat. Pribadi
Koheidaba
yang nyata dilihat
oleh seorang tokoh membuat mujizat berupa memperoduksikan makanan. Hal
itu juga ia seorang yang agung-agungkan oleh suku Mee, dimana ia menunjukan keselamatan dan kemampuan pada
dirinya sebagai penyelamat
suku Mee. Oleh karena
itu pada bagian pertama ini
kami beberkan identitas, yakni asal usul dan bagaimana perananya dalam
hidup bermasyarakat.[2]
Arti kata
Koheidaba
Koyei”adalah
nama singkat dari Koheidaba.
Sebuah nama orang tua angkatnya. Artinya nama Koheidaba
adalah manusia yang berbadan kecil,
mulus, tetap sehat, sedangkan makna sendirinya:”Manusia yang tidak terpandang
dalam masyarakat”.Pada awal Koyeidaba
sesungguh-Nya” “Ahahoka”. Makna
yang tersirat dalam Aha hoka
adalah
anak banyangan, anak roh
yang diberikan ayah Yokaa.
Dikatakan
ahahoka
karena muncullah kehadiran Koyei tanpa dilahirkan seperti manusia pada umumnya, dan akan, diciptakan,
oleh Allah. Kehadiran Tuhan lewat
air kemih darah Ibu Kibiwo
dalam masyarakat suku
Mee.[3]
Pemberian
nama kedua yaitu Koyeidaba akibat tidak makan, tidak minum selama enam bulan,
tetapi badanya tetap sehat dan merupakan nama kebanggaan ahah
hoka
artinya anak roh. Penyebutan tokoh
cerita Kohei
bisa disapa secara singkat yaitu”Kohei”,
seperti judul diatas. Maka penulis tetap
meyapa Kohei,
karena dia bukan tidemee,
artiya dia bukan orang bisa atau
tidak terpandang, justru kehadiran-Nya dalam keluarga
Kibiwo yang miskin, sebagai pembawa
keselamatan.
Sebelum cerita Kohei terbentuk,
setiap marga Suku Mee belum ada, yang hanyalah
nama diri seseorang, Makituma, Wodapatuma, Jinatuma Mogotuma. Suku“Mee”,
pada saat menjelang pembunuhan, sesudah terbentuk marga-marga suku Mee sesuai
dengan sikap perilaku masing-masing orang. Selain pembentukan marga lain marga
itu, dalam kehidupan Suku Mee sebelum cerita Kohei, banyak yang di
tantang hidup Kohei.
Misalnya kelaparan yang
dasyat, ekonomi lemah Relasi
kurang antara alam dan manusia.
Kehidupan mereka tertutup ketika mereka bunuh kohei
muncullah makanan dan marga-marga yang
ada sekitar itu untuk memperolehnya. Ketika mereka memperoleh keselamatan maksud
mereka tidak mengenal dunia
luar atau suku bangsa lain, sebab anggapan Suku Mee terhadap
suku bangsa lain adalah bukan manusia biasa, tetapi sama dengan makluk halus.
Buktinya: sewaktu penyebar Agama Khatolik mulai memasuk di daerah Wisel meren
diterima oleh Bapak Auki Tekege di Kokonao, sehingga mereka mulai memasuki daerah Wisel Meren. Penyebarkan Agama pertama
Pater Tillemans asal Belanda, dan dua orang guru Andreas Maturbongs Ingnasius Materay Asal Key (Maluku) ketiga
mereka hanpir dibunuh. Anggapan
mereka bertinga adalah
makluk halus yang
bisanya hidup di dalam air sebab
mereka berbadan putih. [4]
Makanan
mereka selama mereka penyebaran Agama di Wisel Meren adalah makanan asli yang
diproduksikan oleh Kohei di daerah itu,
makanan pokok mereka selama penyebaran
gereja di Wisel Meren pertama, Kadakega,
artinya (petatas) Muti artinya (Tebu)
“Digiho Napo”atinya
(Sayur hitam) Mege, artinya (Kulit Kerang / Kulit bia) Ekina, artinya (Babi)
dan makanan lain. Cerita itu sangat sakral, Kesadaran akan hadirnya Kohei,
sebagai pembahwa keselamatan bagi suku
Mee. Sehingga sekarang suku Mee memperoleh keselamatan dalam
hidup ahii
artinya hidup kekal. [5]
Asa Usul Koyeidaba
Pada
zaman itu di kampung Pugomoma hidup sebuah
keluarga miskin yang
terdiri dari ada tiga orang, yakni, hagetoko
dan Kibiwo. Adalah bapa keluarga), Kibiwo
adalah mama keluarga), serta anak-anak Neneidaba,
Nouku, hageku.
Mereka hidup serba
susah dalam hal memperoleh makanan sehari-hari, karena pada
saat itu terjadi musibah,
kelaparan yang dasyat, maka terpaksa
mereka makan tanah, dan tempat itu di sebut Maki notaida. Kondisi seperti ini tidak
selamanya sehingga secara nyata, tetapi waktu itu akan ada perubahan secara besar-besaran melalui
keluarga itu dengan
kehadiran makluk ideal
yang bernama” Koyeidaba”.
Kronologi
muncullah Koyeidaba: pada
sore hari menjelang
malam, ibu Kibiwo mesara buang
air di pnggir rumah. Setelah terdengar air
kencing berwarna merah yang tidak merasa apa-apa Kibiwo,
masuk ke
rumah karena malam. Ketika
seluruh anggota keluarga dan tentangga
yang berada dalam rumah
itu tidak seorang pun
yang berjalan-jalan bertemu. Beberapa saat kemudia terdengarlah suara
darimana datangnya tangisan seorang bayi
ternayata terdenagar tagisan orang
bayi di sekitara rumah mereka.
Kibiwo dan suami cepat keluar
dari arah di amana Kibiwo buang air kencin.
Sebelum
angkat anak bayi, diselidiki baik-baik dirumah tentangga dan kampung terdekat,
jangan sampai ada keluarga yang membaung-Nya. Tetapi tidak ada yang mengakui
kehilangan seorang anak satupun.
Oleh karena itu bukan
dari keluarga yang
lain, maka suami-Nya menemai dia eniya
yoka berarti anak setan dia
aya yokaa yang berarti
anak roh” artinya Koyeidaba
dilahirkan secara ajaib dia anggap
namanya yokaa, di beri nama anak roh”. Anak
roh dalam bahasa suku Mee berarti
aya yokaa, karena itu
pemberian nama aya
yokaa. Pada diri
Kibiwo tidak ada tanda-tanda khusus hanya
saja Kibiwo membuang air kecil berwarna sedangkan ayahnya memberi nama eniya yokaa, sebab sebelum dia hadir
di tengah-tengah keluarga menunjukan
tanda-tanda bagi keluarga-Nya. Maka ayahnya ingin membunuh,
mengagkat lalu meyelamatkan. Keluarga
menyebut dia sebagai anak amoye
artinya anak bungsu. Koyei dalam bahasa Mee terdiri dari dua kosa kata
yakni Koyei sendiri Daba sendiri
berarti orang kecil orang miskin orang
sederhana, kata dabaa tidak terbatas
pada sebutan miskin dan memperhatikan
hidup orang lain. Dia tidak mementingkan diri sendiri karena ia muncul secara nyata. [6]
Peranan Koyeidaba dalam Keluarga dan masyarakat
Koyeidaba semakin hari berpengaruh
dalam kehidupan keluarga maupun dalam hidup masyarakat. Ia mengembangkan diri
sebagai seorang fugur yang mampu “memproduksikan makanan” masyarakat suku Mee.
Semua orang supaya harapan untuk perwujudan
itu hidup teratur, aman damai,
rukun tenteram, melalui karya
keselamatan dalam hidup
sosial yang lebih akfit. Yang
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Tiga hal pokok dari pribadi Koyeidaba
selama masih hidup bersama masyarakat yakni: Pribadi Koyeidaba, Produksi makanan, dan tokoh pemikir
ulung pembaharuan dan memperoleh keselamatan
norma-norma adat-istiadat, dan nilai sosial sebagai ajaran-Nya. Keempat hal ini
menjadi pokok pembahasan maka dasar bagi kehidupan suku Mee, Koyeidaba
memperkenalkan diri sebagai tokoh
dalam adat suku
Mee.[7]
Isi
Cerita
Disebuah kampung daerah suku Mee
hiduplah satu keluarga yang miskin. Ibunya bernama Kibiwo sedangkan anak-anaknya masing-masing bernama
Neneidaba, Nookuu, dan yegaku. Pada zaman itu terjadilah kelaparan yang sangat besar di daerah itu. Pada suatu kali Kibiwo buang air
kencing dipinggir rumah yang berwarna merah. Kemudian dia masuk kedalam rumah. Ketika seluruh anggota
keluarga Kibiwo ada didalam rumah, terdengar tangisan seorang anak kecil
diluar. Karena itu Kibiwa suaminya keluar dari rumah untuk melihat datangnya
tangisan itu dari mana dan dari siapa. Setelah mereka keluar ternyata tangisan itu
datang dari arah dimana Kibiwo kencing. Melihat hal itu mereka mendekatinya,
ternyata ada seorang bayi
laki-laki. Mereka mengira anak itu dibuang dari tetangga
dan setelah diselidiki ternyata tidak ada yang membuang merasa kehilangan seorang anak kecilpun.
Karena itu suami dari Kibiwo melarang dan memeluknya untuk menyelamatkan.
Kemudian keluarga itu mengangkat anak sebagai
anak mereka. Suami dari Kibiwo member nama AYA
YOKA (artinya anak setan atau anak roh).
Anak itu selama enam bulan tidak makan
dan minum. Pada bulan yang keenam AYA YOKA buang
kotoran yang besar yang keluar adalah sejumlah
makanan dan minuman. Hal ini di ketahui oleh mama dan saudara-saudara
lain. Karena itu ayahnya memberi nama
KOYEIDABA. Alasan pemberian nama KOYEIDABA karena ialah yang membawah
keselamatan bagi keluarga itu sehingga keluarga itu bebas dari kemiskinan. Berita tentang
KOYEIDABA semakin terbesar dalam masyarakat. Setelah beberapa lama ayah dan
mama dari keluarga itu meninggal.
Oleh karena mama dan bapa dari keluarga itu meninggal, maka segala keluarga
diatur dan ditangani oleh KOYEIDABA. Mulai saat itu KOYEIDABA banyak
memproduksi makanan dan
barang-barang seperti kulit kerang (mege).
Pada suatu saat ia memproduksi dua ekor babi. Mereka tinggal terkurung dalam rumah
yang dipagari. Sepanjang hari KOYEIDABA
tinggal di rumah dan
diproduksi makana barang yang lain. Pada suatu saat Yegaku mengintip dia lalu menyebarkan berita kepada dua saudara
lain. Akhirnya berita itu tersebar luas dalam masyarakat.[8]
Pada waktu itu
keluarga KOYEIDABA hidup berkelimpahan sedangkan
orang lain sedang dalam
kelaparan besar. Karena itu KOYEIDABA mulai dicurigai
orang bahwa ialah yang merampas semua bahan
makanan untuk keluarganya.
Karena orang bersepakat membunuhnya.
Pada saat itu keluarga Neneidaba
, Nookuu diperintahkan oleh KOYEIDABA pergi mengambil
Touye Kapogeiye artinya buku kehidupan (Touye kapogeiye sekarang dipandang sama
dengan Kitab Suci) di tempat yang jahu. Waktu mereka pergi
tiba-tiba rumah mereka dikepung, oleh KOYEIDABA melarikan diri kesuatu bukit
namun orang berhasil memanahnya
membunuh di tempat itu. Sebelum menghembuskan nafas yang terakhir KOYEIDABA
berkat:
Saya meu memberikan kamu makanan dan kekayaan namun kamu
tidak mengerti saya dan kamu membunuhku karena itu sekarang berusahalah dengan susah payah.
Peliharalah dua ekor babi itu
baik-baik.
Akan tetapi sejumlah orang kembali kerumah KOYEIDABA untuk
membunuh kedua ekor babi. Mereka mengambil kedua ekor babi memotongnya bersama-sama
dengan mayat KOYEIDABA.
Lalu dimasak kecuali bagian
kepala dari KOYEIDABA dan babi. Sementara itu Neneidaba dan Nookuu pulang dengan
membawa Touye Kapogeiye
artinya buku kehidupan.
Dari kejahuan terdengar tangisan yageku. Setelah
sampai di rumah mereka dikampung
oleh masyarakat. Neneidaba lari ke arah Barat melalui suatu lorong goa.
Sedangkan Nookuu dengan Touye Kapogeiya melarikan diri kearah Timur. Namun di tengah jalan ia berhasil menyerahkan diri ke Barat dengan syarat di
panah ia berteriak “saya tinggalkan segala hal yang tidak baik” (tookabu toogookabu kiyayaikaine). Walaupun ia
dipanah namun ia tidak panah meninggalkan
segala kekayaan, kemudian ia
melarikan diri ke arah Mapia. Versi ceritera ini mengatakan ia masuk ke dalam gua lalu tembus ke
dunia lain. Orang-orang mengejar dari arah Barat, Timur kembali
ke tempat
pemotongan KOYEIDABA. [9]
Kepala KOYEIDABA dan perut babi menutupi lobang bagian Timur kepala babi yang satunya dengan perut koyeidaba menutupi lobang goa
di sebelah Barat. Setelah itu orang-orang
membunuh KOYEIDABA pulang kerumah dengan sorak sorai (yuuwaita).
Maksud mereka membunuh
KOYEIDABA untuk
mengambil dan memiliki rahasia kekuatan-Nya demi
kepentingan mereka karena jantungnya diperiksa lebih dahulu untuk menyelidiki
apakah jantungnya berbeda dengan jantung yang mormal. Setelah di periksa ternyata jantungnya normal. Pada
siang
hari terjadi kegelapan dan malam harinya terjadi gempa
bumi yang dasyat. Dulunya situasi aman namun sejak itu situasi
menjadi kacau penuh dengan peperangan,
kematian dan penderitaan.
Pada waktu KOYEIDABA hidup ia
punya rahasia. Benda rahasia itu ia
tinggalkan dalam bentuk
bungkisan, pada masa itu orang berusaha mencari bungkusan dalam aliran utoumana, bahkan Misionaris
Belanda datang membahwa Gereja di Wisel Meren
untuk menyelamatkan umatnya.
Neneidaba dan nookuu
akhirnya mereka menerima, dan
menyerahkan kepada orang-orang Belanda tentang buku kehidupan (Touye Kapogeiye)
sehingga mereka mengetahui rahasianya sehingga mereka lebih
maju dari pada kita. Tetapi Touye kapogeiye yang mereka dapat
itu (orang Belanda) terima hanya lembaran kecilnya saja
sedangkan buku aslinya masih tersembunyi disekitar itu. Karena itulah orang Belanda mencarinya.
Keselamatan dalam budaya suku Mee dapat kami rumuskan di bawah
ini secara kontras. Keselamatan itu
sendiri tidak terjadinya kelaparan,
peperangan, kemiskinaan, penderitaan.Sedangkan
kesengsaraan berarti terjadinya kekacauan, peperangan, kemiskinaan,
penderitaan, hidup dalam ketidakamanan, dalam ketidak tertiban, ketidakdamaian,
ketidatenangan, permusuhan (perang suku) kelaparan. Seperti yang telah dikatakan pada sejarah bahwa
pada waktu itu KOYEIDABA masih hidup ia menghasilkan
benda-benda seperti makanan, babi, mege (kulit kerang sebagai uang), dan lain-lain.
Ia punya rencana untuk membebaskan mereka dari situasi kesengsaraan, namun mereka
terlanjur membunuh dia. Ia juga meniggalkan
babi unntuk dipelihara oleh mereka namun hal itu tidak dilaksanakan.
Setelah KOYEIDABA
meninggal terjadilah kesengsaraan. Karena itu mereka mendambahkan
keselamatan pada masa sekarang.
Keselamatan itu nanti akan di bawah oleh KOYEIDABA.[10]
Kegiatan itu dilakukan dengan
berbagai cara. Diantaranya (dalam aliran Utoumana) dengan mempertahankan benda-benda
asli seperti petatas (kadakaga), babi dan beberapa jenis
makanan lainya. Sebab menurut mareka semua jenis makanan lain hilang kecuali
makanan yang ada pada waktu KOYEIDABA
masih hidup (makanan asli). Kemudian juga manjaga keberhasilan, hidup ketenangan, hidup berkelompok, saling membantu, tidak membuat
keributan perkara. Semuanya itu dilakukan dibawah bimbingan perintah dari Nookuu. Dalam
versi lain dikatakan
bahwa keselamatan akan diberikan oleh KOYEIDABA dengan cara memberikan
kemerdekaan dan kekeyaaan kepada mereka. Jadi dapat dikatakan bahwa yang menjadi pembawah keselamatan
adalah KOYEIDABA.
Suku Mee tokoh yang
diyakini sebagai Koyeidaba. Karena itu KOYEIDABA sering disamakan dengan. Atau dengan
kata lain Yeusu diberi gelar KOYEIDABA. Bahwa diyakini sebagai
Yesus adalah
KOYEIDABA. Dengan demikian tetap
ada perbedaan dan kesamaan. Perbedaan kesamaannya sebagai berikut.
KOYEIDABA lahir dalam situasi orang sedang menderita. Dalam situasi itu mereka lahir untuk menyelamatkan manusia. Itulah yang menjadi tujuan
utama. Walaupun demikian dalam hal ini keduanya tetap berbeda secara hakiki.
KOYEIDABA memproduksi makanan dan barang-barang dalam rangka meyelamatkan mereka
di dunia ini.
Selain dalam hal keselamatan juga dalam hal mukjizat.
Baik KOYEIDABA maupun Yesus melakukan Mukjizat. Munkjizat yang dilakukan oleh KOYEIDABA antara lain
memproduksi barang-barang. Demikian pula halnya
dengan Yesus melakukan banyak mukjizat. Walaupun demikian
fungsi mukjizat yang dilakukan oleh keduanya
ialah berbeda. Mukjizat yang dilakuka oleh Yesus mau
mendukung perkataan-Nya bahwa kerejaan
Allah sudah hadir sekarang.
Sedangkan mukjizat yang dilakukan
oleh KOYEIDABA
berfungsi untuk melepaskan orang Mee dari kekurangan dan kelaparang yang mereka alami.[11]
Demikan juga dalam hal tubuh mereka yang
dijadikan makanan.
KOYEIDABA tubuhnya dipotong-potong, di
bagi-bagi dimakan. Sama halnya juga
dengan Yesus, bahwa dalam perayaan ekaristi kita mengenangkan tuhunya.
Tubuh KOYEIDABA adalah dagingnya yang dimakan, sedangkan tubuh Yesus
dimaksudkan sebagai lambang kenangan akan Dia
dan Karya-karya keselamat dalam ajaran
Gereja katolik. Ketika KOYEIDABA
dibunuh ia tidak melawan dengan kekerasan. Begitu pula Yesus ketika
ditangkap dan
dibunuh, ia tidak melawan dengan kekerasan.
Bahkan waktu KOYEIDABA mau meninggal
muncullah, Gempa bumi yang dasyat dengan melihat hal
itu nesehat-nasehat
kepada mereka. Maka,
lebih lengkap lagi terdapat
dalam buku yang dikenal dengan nama Totamana. Ini sering dianggap injilnya.
Sebab dalam ajaran tentang
bagaimana mereka harus hidup.
Di dalam injil itu terdapat nasehat-nasihat
yang berkaitan dengan kerajaan Allah,
sedangkan ajaran KOYEIDABA (Totamana) menyangkut bagaimana cara hidup di dunia
agar lebih baik. Hal lain yang dapat disamakan adalah ketika
KOYEIDABA meninggal terjadi kegelapan gempa bumi. Demikian halnya ketika Yesus
meninggal terjadi hal yang sama.
Peristiwa Pembunuhan
Koyeidaba
Arti kata bunuh
Dalam bahasa suku Mee kata tewagi berarti jangan membunuh sama
manusia. Kata Metewagi makai berarti
lebih khusus di mengerti sebagai laragan atas perbuatan dan menghilangkan nyawa
secara seseorang. Karena itu Meetewagi makai
berarti jangan membunuh manusia
siapapun. Iya berarti
hidup Iyamee bararti manusia
yang hidup iya Mee tawagi
Makai berarti janganlah membunuh manusia yang hidup.[12]
Tahap-tahap pembunuhan
Dalam tahap pembunuhan ini terjadi,
ada dua
versi penilaian atas
pembunuhan Koyeidaba dalam
budaya suku Mee kedua penilaian atas pembunuhan
tertentu dan sangat berbeda, yang
di dasarkan pertimbangan masyarakat atas tindakan kejahatan yang
dilakukan itu. Penilaian pertama
ialah pembunuhan secara bijksana dengan
tindakan yang adil
dan di terima masyarakat
kerana permintahan dari senidiri
pihak koban. Maka
pembunuhan Koyeidaba yang
didasarkan pada kehendak
sendiri dan hidup mewujudkan
harapan yaitu membebaskan orang-orang Mee dari
segala penderitaan.
Sedangkan penilain kedua adalah
pembunuhan yang terjadi sebaliknya,
yakni pembunuhan yang
tidak di dasarkan pada
permohonan bukan karena permintahan
korban, melainkan
kehendaknya dari sekelompok
leluhur mitis untuk membunuh koban dengan cara memiliki tindakan yang
jahat untuk menghilangkan nyawanya
secara tak adil. Kedua tahap ini dapat menguraikan. [13]
Permitahan terjadi atas permintahan
Koyeidaba
Koyeidaba mempuyai impian khusus
pada masa depan hidup bersama
masyarakat dalam melangalami
masalah-masalah sosial ekonomi dalam hidup kominitas yang ada. Keselamatan
dinantikan oleh masyarakat diperjuangkan Koyeidaba melalui pengorbanan nyawa
untuk membebaskan masyarakat dari penderitaan yang
di alami. Dengan harapan membebaskan
dari penderitaan. Ia relakan diri
berkorban dan meminta dibunuh melalui
mamnya. Yang pertama: Koyeidaba menghendaki semua orang keluar dari
tubuhnya penderitaan itu akibat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, maka
ia menghendaki kemulian tata ekonomi baru melalui memproduksikan makanan dari
sejatera, sebab melalui pengorbanan nyawa
ia berkehendak mewujudkan
keselamatan kepada masyarakat.
Prosos pembunuhan
Koyeidaba ini terjadi
bukan karena iri
hati pihak lain, melaingkan permintahan Koyeidaba sendiri, agar
mencapai tujuan untuk
menentukan nasib hidup masyarakat. Hal
ini dikatakan demikian karena pengorbanan dilakukan berdasrkan suara hati Koyeidaba sendiri. Permintahan
Koyeidaba adalah berupa pertayaan
demi kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu
atas kehendak bebas
yang dimiliki, dan memutuskan
untuk dibunuh karena desakan dari
dalam dirinya, maka ia
tak menahan diri melihat semua persoalan
hidup dalam masyarakat
merupakan solusi yang terbaik untuk
memulihkan segala
penderitaan masyarakat.[14]
Proses pembunuhan
Dalam mitos Para
leluhur mitis mempunyai
dua maksud ideal
yang hendak mereka
mencapai melalui pembunuhan
Koyeidaba ialah satu: apabila Koyeidaba
mati melalui pembunuhan bararti berkat bagi mereka untuk “mengambil,
memilki rahasia kekuatan demi kepentingan hidup mereka” kedua apabila
Koyeidaba dibunuh berarti semua tanaman
tumbuhan dengan subur beternak berkembang dengan baik sehingga memperoleh
hasil yang berlimpah. Kedua hal inilah yang
mendorong para leluhur
mitis masuk dalam tindakan kejahatan
demi mencapai tujuan
hidup mereka, tetapi hanya sebuah
lukisan dalam pikiran perasaan
batin belaka, tujuan yang mereka capai tidak berasil, malah mendatangkan
penderitaan hidup masyarakat
secara nyata.
Kronologisnya pembunuhan Koyeidaba
bukanlah secara tiba-tiba dipukuli
sampai mati, melainkan pembunuhan terencana melalui beberapa tahap .
beberapa tahap tersebut.
Hidup keluarga
Koyeidaba
Dalam Kehidupan keluarga Koyeidaba
di sekitarnya. Hal-hal yang dominan menjadi
pokok penilaian kemampuan
untuk memproduksikan makanan barang-barang yang lain di curigai secara
menipulasi dan bersifat umaum. Aturan atau ajaran yang dalam masyarakat
dinilai sebagai menipulasi politik bersifat magis dan lingkup ajaran
yang sangat sesat untuk mengejar kuasa kememimpinan.Dalam suasana hidup
demikian, Koyeidaba mengajak masyarakat untuk bekerja keras, agar memperoleh
barang melaui hasil keringat sendiri peryataaan
dinilai sebagai suatu usaha yang
sia-sia.
Bila dibanding
dengan keluarga lain, hidup
keluarga Koyeidaba, mejamin dalam hal memperoleh makanan. Juga
para leluhur mitis menggangap dia memiliki
barang-barang yang akan dianggap
sebagai hasil curian secara
sembunyi dengan caranya
sendiri pula. Kerena semua hal
yang dibuat oleh Koyeidaba bersifat struktur, karena tidak menghitungkan masyarakat, maka dinilai
merusak tanaman komunitas sosial di masyarakat. Penilaian-penilain ini selalu muncul
secara benar. Koyeidaba dapat dinilai
sebagai orang tidak baik
yang hidup dianatara mereka, maka
mereka merunding bersama
untuk menghabisnya. Hal itu dilakukan karena bila ia hidup kondisi
ekonomi tidak akan membaik, maka
disepakati bahwa harus di bunuh.[15]
Tahap rangcangan
Pembubuhan Koyeidaba bukan terjadi
secera tiba-tiba, melainkan telah lama dipikirkan oleh warga masyarakat
setempat berdasarkan beberapa
kepentingan mereka. Pembunuhan Koyeidaba dia, mancari kesempatan yang
baik untuk melakukan rencana mereka. Mereka
merencanakan pembunuhan Koyeidaba secara rahasia tanpa diketahui Koyeidaba sendiri dan keluarga
serta para pembelah Koyeidaba satu
orang pun. O rang-orang yang hadir dalam perencanaan pembunuhan ini pada
umumnya mendukung Koyeidaba dibunuh, sehingga mengambil kepeutusan
bersama untuk membunuh.
Karena itu sekelompok pelaku
pembunuh membuat suatu
kesepakatan di mana, kapan dan
dimana tempat yang baik
membunuhnya. Alasan utama Koyeidaba
memilki kemampuan untuk membuat
mujizat lewat batas daripada orang lain. Dengan demikian mereka harus mempertimbangkan kesempatan
dimana yang cocok untuk membunhunya. Saat mana
masyarakat atau keluarga tidak ada
di sekitarnya. Juga orang mempelajari kelemahan Koyeidaba kira-kira
saat mana dia tak berdaya melainkan,
sehingga melalui pengamatan
pelaku pada saat
sepi di sekitar
rumah dan di sekitar kampung, termasuk para pembelah di
saat-saat itulah kesempakatan baik untuk memanfaatnya.
Koyeidaba adalah tokoh pemikir ulung
Dapat dikatakan bahwa
Koyeidaba sebagai dimi
Yago Mee (orang yang memiliki
pemikir), berarti ia berpikir
dengan sadar berbicara bertindak
bersikap secara bijksana.
Ia melandaskan hidupnya
pada kebijaksaanan yang mengandung membawa unsur pemahaman,
mempertimbangkan keputusan praktis dalam
seluruh dimensi hidupnya.
Koyeidaba adalah gaya (seorang
pemikir) yang senantiasa berpkir luas tentang hidup masyarakat. Ia hidup pada
masa pribadi dimana
ia hendak mewujudkan
visinya sebagai tokoh
penyelamat, bagi orang Mee dari segala penderitaan hidup yang
dialami oleh tokoh
pemulihan maka, tanaman. Sedangkan
misinya adalah ia hendak
mempersatukan semua tanaman
komunitas sosial yang
sebelumnya hidup terpisah
menjadi induvidu disatukan
menjadi secara baik.
Semua hal itu masyarakat dapat
diatur bersama dalam
kelompok, agar menciptakan hidup yang harmonis membangun relasi yang baik terhadap, manusia dan juga kepercayaan
terhadap Ugatamee (Allah). Keyataanya
Koyeidaba ini sangat
peduli dengan masyarakat untuk mereka memperoleh keselamatan masyarakat
serta memperoleh sosial ekonomi
dalam rumah mereka.[16]
Pembunuhan terjadi Klayak
ramai (Mee
Uminaida Make Wagita)
Mee Uminaida
make Wagita Pembunuhan terjadi klayak ramai. Secara harapiah Meeuminaida
make wagita berati
pembunuhan tejadi klayak
ramai. Pembunuhan terjadi ramai merupakan pembunuhan yang tidak dapat
dibenarnarkan diterima serta kebijaksanaan. Sekelompok pelaku membunuh Koyeidaba dengan
harapan bahwa, bilamana ia mati
akan terjadi perubahan dari segi ekonomi struktur
sosial. Tetapi bila tidak
tercapai apa yang mereka pikirkan, maka akan muncul suatu
kejahatan yang besar. Setelah pembunuhan
hanyalah suasana hidup
mereka yang berubah, yakni harapan beru.
Masa pembunuhan koyeidaba dimulai dari Badimo
samapai kegata (dari ujung Timur hingga Barat), semua klen menyetujuhui dan bersepakat untuk Koyeidaba harus di bunuh dari pada ia hidup sebagai
orang yang berkuasa ia sendiri yang akan
menjadi”tonowi” baik dalam bidang ekonomi maupun dalam strukur
kepemimpinan. Banyak sebutan tonowi”
(orang yang kekayaan banyak), yape tonowi
orang tampil dalam perang). Para lawan Koyeidaba mengapa semua status tonowi di kuasai, maka banyak klen
tertib dalam masyarakat disekitar
kampung. Peranan dan perilaku tindakan
kejahatan yang di lakukan
oleh masyarakat disekitar itu. Masing-masing klen ambil
bagian dalam pembunuhan supaya
kemampuan Koyeidaba masuk secara
otomatis juga dalam
hidup-Nya.[17]
Marga-marga yang terlibat dalam
pembunuhan Koyeidaba yakni Fam Mote, meneriam Mege atau kulit bia dan
mengkianati Koyeidaba Fam Dou melaporkan
keberadaan Koyeidaba sebelum pembunuhan
Fam Goo menarik Koyeidaba dari rumah di
bawah tempat pembunuhan Fam Agapa
memotong tubuh mayat Koyei, Fam Pigai mengirisi-risi jari Koyeidaba, Fam Tebai
mengirisi memotong kaki dan tangan Koyeidaba.
Marga-marga ini yang terlibat dalam pembunuhan Koyeidaba dan Fam-Fam lain
kira-kira sembilan puluh sembilan persen amat mendukung nyawa Koyeidaba
harus di musnakan, kecuali Fam Waine dan ke tiga saudarinya Neneidabaa, Yageku
dan Nouku. Mereka berusaha keras membelah Koyeidaba untuk tidak di bunuh, karena ia tidak terbukti
melakukan kesalahan dalam hidup. Ada saat pembunuhan mereka melawan
musuh Koyeidaba, tetapi pihak
lain pembela. Maka kemampuan
untuk membela sangat
terbatas dari pada
musuh Koyeidaba jumlahnya
banyak.[18]
Koyeidaba sebagai
tokoh Owadaa Emaawa sebagai Kabo orang Mee
Peradabaan hidup
orang Mee sebagai
megalami perubahan hidup di dalam goa-goa
mulai berpikir untuk mengadirkan rumah. Orang Mee melihat, berpikir kemudian
mulai membangun rumah. Atab rumah
dari rumput. Dindingnya dari
kayu, dilapisi dengan kulit
kayu atau jubi supaya ruangan
dalam rumah dapat menjadi hangat. Lantainya dari
kayu ditambah jubi sedangkan
tikarnya dibuat dari anyaman daun
pandan. Ditengah-tengah ruangan terdapat
tungku api yang di gunakan untuk
masak dan menghangatkan
badan karena suhu
daerah orang Mee sebagai kebiasaan mereka.
Batas rumahnya di pagari dengan
kayu, bagian atas pagar
direntangkan kayu yang
diikat dengan rotang dan sering diatasnya di letakan akar- akar dari rumput-rumput. Halaman sekirtar
rumah itulah yang mereka gunakan untuk bercocok tanam dan memelihara ternak
yang dapat mereka komsumsikan demi mempertahankan kelanjutan hidup mereka.
Kadangkala, mereka juga membuka lahan
perkebunan di hutan.
Rumah yang
sangat sederhana dan
halaman yang ditanami
tumbuhan dan t ernak itulah yang
menjadi dasar bagi orang Mee, muncullah kehidupan orangt Mee
sebab dari rumah itulah dengan sukacita mereka dapat menikmati
hasil keringatnya bersama
keluarga dan memperbanyak keturuna. Orang Mee yang memiliki Emawa dan
Owadaa dapat dikatakan sebagai
orang-orang Tonowi terdapat penyakit, Tonowi
terhadap kelaparan tonowi terhadap
cuaca yang tidak menentu. Artinya bahwa dengan adanya Emawa
dan Owadaa kemunkinan mereka
tidak akan mengalami sakit karena memiliki rumah dan
makanan baik berupa tanaman
maupun ternak dan juga tidak akan terkena panas, hujan kedinginan karena
memiliki rumah lengkap dengan tungku api itu ditengah untuk menghangatkan badan. Sehingga dalam itu kehadiran Koyeibada
sebagai salah-satu jalan membahwa keselamatan dalam kehidupan orang Mee. Oleh
karena itu perlu ditumbuhkan,
kembangkan dan kerja sama yang baik antara keluarga dan sekitarnya. Dengan adanya
kerja sama dan saling menghargai maka tumbuhlah cinta kasih yang tertus
menerus mempereratkan kehidupan rumah tangganya.[19]
Emawaa Owadaa ahkirnya dilihat sebagai sebuah dasar adat istiadat orang Mee. Oramg
Mee juga memiliki
larangan-larang jika dilanggar maka kehidupan mereka
dapat terancam baik oleh penyakit,
kelaparan. Sehingga hanya dari Emawaa
dan Owadaa itu saja mereka dapat menjalangkan kehidupan sambil
menjaga diri dengan
baik tanpa menlanggar adat-istiadat mereka dalam bahasa Mee di sebut” dio Douw”. Dengan memiliki Emawaa Owadaa
orang Mee memiliki
sedikit kemungkinan untuk
melanggar adat- istiadatnya jika melihat
hal itu emawaa owadaa
merupakan dasar hidup orang Mee
yang dapat membahwa kebahagiaan dalam hidup dan memperoleh
keselamatan.
Namun orang Mee harus
menyadari bahwa mereka bukan hidup hanya dari tanaman
dan ternak yang
mereka piara yang nikmati
tetapi ketika Koyeidaba di bunuh
di daerah itu terjadilah keselamatan. Juga karena
kepatuhan mereka dalam mematuhui
perintah Allah seperti jawaban
Yesus saat di cabai oleh iblis untuk mengubah batu
itu menjadi roti hal
yang sama juga bahwah ketika
Koyeidaba masih hidup di daerah itu
terjadilah kelapaparan, dengan ketimbang hal itu mereka
di bunuh di potong-potong dan memperoleh
keselamatan di daerah itu. Tetapi lebih
jelas bahwa dalam kehidupan
manusia ada banyak hal yang perlu peratikan bahwa “manusia menjadi
bukan hidup hanya roti saja
tetapi dari Firmanya yang di keluar
dari mulut Allah.”
Paham Keselamatan
Secara Umum dalam
Kehidupan Suku Mee
Keselamatan bagi suku Mee merupakan
sesuatu yang sangat penting didambakan
oleh setiap manusia.[20] Keselamatan yang
di dambakan adalah soal keselamatan pada
masa kehidupan harian mereka. Suku Mee tidak
prnah berpkir tentang keselamatan pada
masa yang akan datang. Keselamatan yang
diharapkan oleh orang Mee adalah
situasi yang harus dialami dinikmati dalam setiap
aspek kehidupan mereka.
Melihat realitas
seperti itu bukanlah suatu
yang mengherangkan jika
manusia suku Mee meliaht keselamatan dalam setiap aspek
kehidupan secara berbeda. Oleh
karena itu pada
bagian ini, kami ingin
menggankat dan menguraikan
secara garis besar
paham keselamatan manusia suku
Mee dalam beberapa aspek kehidupannya.
Aspek ini yang
kami maksudkan adalah dalam aspek sosial
budaya, ekonomi, politik dan religius. Aspek soasial
budaya, ekonomi politik dan
religius dijadikan sebagai bagian dari
hidup manusia. Manusia sadar bahwa setiap aspek kehidupan tersebut
mempunyai nilai-nilai sakral sebagai misteri yang harus dicari di
pertahankan demi keselamatan secara perorangan maupun secara kelompok.[21]
Konsep Keselamatan
Dengan mempelajari mitos
yang hidup dalam religius
suku Mee
di atas, kita dapat menyelami makna mitos tersebut. Namun untuk
memahami, pengertian dan pemahaman unsur
keselamatan dalam mitos, sebagai mana yang
dihayati oleh suku Mee, kami merasa lebih
dahuluh perlu tiadaan sesuatu
tinjauan atas mitos tersebut.
Untuk melihat peranan mitologi perlu
dilakukan untuk melihat
dan memperhatikan peranan-peranan para tokoh mitologi, setelah itu
kita dapat melihat
konsep keselamatan dan kemalangan, sebagai kesimpulanya. Oleh karena
itu, kami ingin menampilkan
lebih dahuluh tokoh-tokoh mitologi dengan perananya masing-masing.
Dengan demikian pada ahkirnya kita dapat melihat konsep keselamatan dan
kemalangan yang hadir dan hidup
dalam kehidupan harian suku
Mee.[22]
Koyeidaba hadirnya
sebagai Nota di pengunungan Tengah
Menurut Koyeidaba sebagai seorang sejarah
kehidupan mereka. Dengan keadiran Koyeidaba muncullah makanan yang berlimpah di daerah pengunungan,
maka tahun 1200 di daerah itu mulai perkembangan perkebunan. Setelah mengenal secara
singkat, Koyeidaba hadirnya sebagai
“nota”di pengunungan Tengah, ada
baiknya bila kita menerima
Koyeidaba hadir sebagai nota.
Secara jelas bahwa penanaman bibit nota
biasanya di lakukan setelah tanah diolah menjadi lahan kebun membuat
bedeng-bedeng bagian itu nota, ditanami secara bibit, Kadakaga, selain itu Keladi, Tebuh, jangung, wolter sayuran. Selain
itu juga lahan baru
yang akan buka dihutan disebut
sebagai Buguwa taida disebut kebun
hutan bibit tanaman yang di tanami
sebagai Kadakaga,(Petatas) Digiyo napoo( Sayur hitam) Eto pogiye( tebuh) Mapi (pisang).
Pekerjaan penanman bitbit sangat
membutukan energi, kesabaran keahlian khusus. Energi yang di butukan selama
menanam bibit sangat banyak. Maka
perlu membuka dan menggali tanah untuk menanamkan nota. Ubi
jalar noto dibedeng-bedengan lumpur yang dinaikan dari rawa-rawa didasar
lembah. Namun ada juga yang membuat kebun di hutan. Pada saat yang sama,
perkebunan dilereng-lereng gunung-gunung juga terus di lakukan, daerah itu hortikultural sendiri, Koyeidaba
hadir sebagai keselamata bagi suku Mee di
daerah Meuwodide, disebut Wisel Meren.[23]
Koyeidaba sebagai
Nota (petatas)
“Nota”adalah makanan (pokok) harian suku Mee.” Nota kata
yang digunakan oleh suku Mee,
untuk menyebut ubi jalar atau petatas.
Ubi jalar “nota” petatas adalah
tumbuhan yang memiliki dan
mebesarkan kehidupan mereka.
Ubi jalar (nota) adalah
bagian tumbuhan yang bertumbuh di bahwa tanah yang membesarkan, disebabkan oleh
pemupuk, merawat, dan menjaga. Dikenal dua macam , yakni ada umbi yang menyimpan makanan dalam bagian
batang ada juga pula umbi yang menyimpan makanan demi perkembangannya.
Umbi umbian di
bagi atas dua
golongan pertama adalah golongan umbi-umbian yang terus dicuci
terlebih dahuluh sebelum di konsumsikan. Golongan kedua, adalah mengenai umbi-ubi yang
dapat dikomsumsikan makanan
tanpa di cuci lebih dahuluh
.Ubi jalar (nota), talas, kentang. Umbi yang akan
menjadi perahatian dalam seluruh kehidupan suku Mee ialah dapat dikomsumsikan
(dimakan) tanpa harus di cuci lebih dahuluh, maka nota tersebut dikenal dalam arti
banyak tanaman oleh suku Mee.[24]
Koyeidaba sebagai
Nomo (keladi)
Keladi sebagai “nomo” dalam
kehidupan suku Mee hidup sebagai suatu yang khas unik untuk memperoleh
keselamatan. Akan tetapi memeliharah, memupuk, merawat, menjaga, yakni kebun
yang mereka gunakan dalam tradisi mereka yakni
ada dua: pertma, membuka lahan
di hutan, ketika membuka lahan baru Buguwa
taida dan Bugidaka
taida yang dimaksud dengan Buguwaka
taida tanaman yang ditanam di kebun itu. Maka makanan itu tua, ia memanen
dan mengundang teman-teman untuk makan bersama
di dalam rumah laki-laki karena adanya relasi. Kedua, keladi yang
ditanam dalam Owadaa mereka akan
melihat tanaman yang ditanam didalam owadaa sebagai nyata.[25]
Koyeidaba sebagai
digiyo Napao (Sayur Hitam)
Digiyo “napo” artinya (sayur
hitam), merupakan sayaur asli, Pada khusunya suku Mee, mengenal “Digiyo napoo”
sebagai makanan pokok dalam kehidupan mereka.Untuk cara menam, merawat, memupuk, dan menjaga
tanaman itu. Suku Mee menanam “digiyo
napo”artinya (sayur hitam) hanya dilahan yang baru yang dibuka di hutan,
ketika mereka menam, memupuk dan menjaga
sampai tua. Ketika saat panen seorang tua itu dia memanggil orang-orang tua
untuk mereka makan bersama-sama di rumah
adat.
Ketika mereka makan bersama-sama
dengan orang-orang tua, di kampung mereka
membicarakan ha-hal kehidupan mereka kedepan, dengan harapan mereka suku
Mee membentuk suatu ikatan atau persaudaraan
dalam kehidupan. Baik itu hubungan
keluarga maupun dengan hubungan relasi antara teman-dengan teman.
Koyeidaba sebagai
Etoo Pugiyee (Tebu)
“Etoo Pugiyee”artinya (Tebuh) pada
khususnya suku Mee mengenal tebuh
sebagai makanan asli, sukuMee biasanya percaya bahwa Kehadiran Koyeidaba
membahwa perubahan dalam hidup untuk memperoleh keselamatan. Hal yang sangat
fundamental ialah Etoo Pugiyee (tebuh) biasanya mereka mengunakan pada saat
mereka istirahat, seperti mereka menyelesaikan Kebun, atau mereka
menyesalesaikan masalah-masalah, saat itu mereka gunakan.
Hal
lain juga bahwa suku Mee percaya
bahwa (“Etoo Pugiyee”) merupakan suatu yang unik, dalam membangun relasi,
persaudaraan, maka hal tersebut. Perlu
mengenal diri dengan kehidupan mereka. Pada dasarnya suku Mee memahami
kehadiran teman-teman sebagai suatu yang
memberikan keselamatan dalam
hidup. [26]
Keselamatan dalam Kehidupan Sosial Budaya
Manusia Mee
adalah manusia yang
berbudaya. Dalam kebudayaan mereka
juga berusha untuk menampilkan
dirinya sebagai manusia sejati yang
dapat dihargai pula oleh
manusia. Dalam kehidupan sosial budaya
manusia suku Mee, mereka
selalu bersaha untuk hidup
dengan baik berusaha
suku Mee menjaga keharmonisan
relasi antara sesama. Suku Mee sangat
erat kaitanya dengan adat isiadat mereka, karena melalui
adat istiadat itulah
mereka memperdayakan budinya
untuk memperoleh suatu hidup yang
lebih baik.
Kebudayaan
manusia suku Mee sangat
nampak dalam pola pikir prilaku hidupnya di
mana setiap orang dituntut
untuk menghargai adat istiadat itulah suku Mee budinya
dan memberdayakan segala kemampuan untuk
mengisi hidup mereka ditanah leluhur mereka. Dengan demikian setiap
manusia suku Mee akan sadar pada keadaan dirinya dalam budayanya kondisi itu menuntut dirinya
untuk bertindak sesuai
norma-norma yang berlaku agar
mereka dapat mengembangkan hidupnya dalam berbagai aspek kehidupan sebagai
manusia.
Keselamatan akan
dipelajari sebagai hadia akan
kepatuhan mereka pada nilai dan
norma hidup yang. Perlu
dicacat bahwa nilai
dan norma seolah-olah
merupakan posisi ingin memperoleh
dengan hidup ajii keselamatan itu harus
mematuhui dengan nilai-nilai norma hidup yang sudah ada dalam budaya mereka.
Keselamatan dalam
Ekonomi
Kehidupan Ekonomi
merupakan suatu aspek yang
sangat penting dan
menjadi sentral dalam kehidupan
manusia secara manusia pada umumnya
dan aspek dalam ekonomi
mempuyai pengaruhui yang kuat
untuk mengukur aspek kehidupan yang lainya. Kehidupan ekonomi
ini sangat berkaitan
langsung dengan kelangsungan
hidup manusia. Kehidupan ekonomi
yang dimaksud disini adalah kemampuan untuk memenuhui kebutuhan hidup berupa, bagimana orang dapat
makan cukup tiap hari, bagimana mereka mempuyai
rumah yang baik, mempuyai kebun
yang luas dan ternak yang cukup,
merupakan bagian dari inti
kehidupan ekonomi bagi manusia.
Bagi suku
Mee, setiap orang yang mampu memenuhui kebutuhan
hidupnya mantap dalam
kehidupan ekonomi telah
memperoleh keselamatan yang sesungguhnya pada saat
ini. Keselamatan dalam kehidupan
ekonomi hanya dapat diukur dengan
hal-hal yang telah disebut diatas. Suku Mee akan merasa
dirinya sebagai memperoleh keselamatan
dalam kehidupan ekonomi ketika ia dapat
memenuhui segala kebutuhan hidup, ketika
semua kebutuhan terpenuhui, pada saat
itulah situasi ajii hadir dialami
secara nyata dalam kehidupan manusia
suku Mee.[27]
Keselamatan dalam
kehidupan politik
Untuk kita berbicara tentang keselamatan dalam kehidupan politik suku
Mee akan mengatakan bahwa jangan
simpan dendam, bertengkar berperang,
agar kita hidup
dengan baik, aman karena itulah
yang terbaik. Setiap orang
hidup dengan aman, bebas tenpa
ada tekanan dari siapapun.
Keselamatan bila
dipahami dari sisi
politik maka, yang dikejar adalah
situasi ajii dalam arti siatusi
yang aman. Unutk menciptakan situasi yang aman,
setiap manusia suku Mee mempuyai kewajiban yang aman. Oleh karena itu bukalah sesuatu yang aman
mengherangkan bila dari setiap orang
dituntut untuk menghargai
sesama sebagaimana ia menghargai dirinya . [28]
Keselamatan
dalam Kehidupan Religius
Dalam kehidupan religus suku
Mee dapat dijadikan
sebagai titik sentral atau fokus
dari segala aspek kehidupan
mereka. Kami berpendapat demikian
karena setiap aspek kehidupan
suku Mee semuanya bersumber dan bermuarah pada kehiduan
religiusnya suku Mee selalu
berhubungan dengan masa lampau yang bersumber pada mitos Koyeidaba. Dengan
demikian kehidupan religius manusia
nampak dalam bentuk-bentuk perilaku secara simbolis, yang mengahubungkan manusia dengan
sesuatu yang ada di
luar dirinya, yang diyakini sebagai
sumber dari segala kehidupan (pencipta) mitos-mitos yang telah uraikan diatas pertama mau memberikan gambaran
yang tidak dapat
sangkal bahwa suku Mee
mempuyai dasar kepercayaan atas
realitas tertinggi. Melalui mitos Koyeidaba itu pula
suku Mee mengakui adanya
unsur-unsur adikodrti dalam dunia
yang mempuyai pengaruh secara langsung maupun
tidak langsung bagi
hidup manusia.
Mitos yang telah kami
uraikan pada bagian pertama
diatas mempuyai pengaruh
yang sangat kuat pada
kehidupan religius suku Mee, karena
mitos itulah yang sekaligus menjadi dasar religius. Dengan demikian menjadi mitos
sebagai dasar religis, maka
suku Mee mau menunjukan suatu kesetiaan, keyakinan kepercayaan dalam pengunggkapkan suatu kelestarian, sehingga mitos dapat mewujudkan
pengalaman religius dalam rupa simbol,
kiasan penyingkapan, bertolak dari
mitos tersebut, kini suku Mee
berusaha untuk hidup
baik untuk menciptakan keselamatan dalam hidup pada masa ini. Untuk kepercayaan akan keadiran
roh-roh para leluhur
menjadi ciri pokok dalam kehidupan
religius. Kepercayaan dan penyembahan
pada arwa leluhur
suku Mee merupakan
jalan yang terbaik untuk
memperoleh keselamatan, berupa hidup dalam situasi ajii
artinya keselamatan antara sesama manusia, alam dan leluhur baik.[29]
Paham Keselamatan
Secara Khusus dalam Kehidupan
Suku Mee
Pada bagian ini pertama dari pokok tentang
unsur keselamatan menurut suku
Mee, secara garis besar telah kami
mencoba untuk mengangkat
dan menguraikan secara garis
besar atau secara umum
keselamatan dalam beberapa aspek
kehidupan suku Mee. Setelah
menguraikan pemahaman secara
umum, pada bagian kedua ini ingin menguraikan unsur
keselamatan menurut suku Mee memahami bahwa keselamatan (secara khusus)
dalam kehidupan. Hal ini dirasakan oleh suku
Mee dan menyakini keselamatan
adalah sesuatu yang harus
diperlukan dan harus dinikmati pada saat ini, disini, tidak seperti yang
diajarkan dan diwartakan
oleh agama kristen.
Unsur keselamatan secara khusus bagi suku Mee adalah berkaitan dengan apa
yang dialami dirasakan saat ini, disini. Oleh karena
itu, baiklah kalau kami
uraikan bagaimana keselamatan itu dipahami dalam kehidupan
harian suku Mee. Berkaitan dengan itu kita akan
melihat bagaimana kelimpahan dalam hidup
suku Mee dilihat sebagai wujud nyata dalam keselamatan
bagaimana keselamatan di
pahami diukur dalam hidup harian mereka.
Kelimpahan
hidup ( Keselamatan Iahiriah)
Dalama buku,
agama-agama Malanesia, menurut D.
Whiteman dan E. Mantovoni, ditulis” kelimpahan hidup adalah
satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat dan agama orang Malanesia. Sehingaa bukanlah
untuk mencapai hidup yang
bermakna dan berkelimpahan hiudup bertolak dari pernyataan tersebut, suku Mee
pun menyadari bahwa hal tersebut memang baenar beralasan.
Agama asli menusia
suku Mee pun mengajarkan kepada
mereka untuk berusaha memeperoleh
keslamatan. Dan keselamatan
adalah situasi dan kondisi
hidup suku Mee dalam
kelimpahan. Kelimpahan dalam hidup
suku Mee itulah yang
akan menjadi tolak
ukur bagi keselamatan.
Sebagai konsekkuensinya, siapa pun dia
yang hidup dalam
kekuarangan tidak akan
pernah mengalami keselamatan. Oleh karena itu
setiap suku Mee ditangtang
untuk berjuang berusaha untuk
memperbaiki hidupnya dalam kelimpahan, sebagai satu-satuhnya jalan masuk
keselamatan, dimana ia tidak
dicapai lebih dengan cara
yang begitu sederhana dan kongkrit dari
pada secara keselamatan.
Dalam konteks Papua agama dan
kebuadayaan dipandangan sebagai tentang kehidupan yang
berlimpah atau kesejatraan
hidup merupakan hal
yang sangat penting
bagi masyarakat papua. Ide ini
diungkapkan dalam berbagai
bentuk, baik dahulu maupun sekarang suku Mee melihat keselamatan yang
dialami sebagai akibat kehidupan yang berlimpahkan, secara nyata dapat dilihat
juga dan dirasakan dalam hasil kebun yang berlimpah dan
ternak piaraa yang banyak.[30]
Hasil Kebun yang
berlimpah
Hasil kebun yang
berlimpah, sebagai wujud bahwa
suku Mee ada dalam
keadaan selamat. Keselamatan diperioleh berkat kelimpahan hasil kebun,
yang menunjukan perjuangan usaha
yang telah dilakukan oleh suku Mee secara
sungguh-sungguh. Suku Mee sebagai orang yang berlatar b elakang hal petani sebagai mata
pencarian hidup mereka
sangat berlimpah. Akan
merasa sangat kecewa
ketika penyesalan jika
ladang atau kebun
yang ia kerjakan
tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Penyesalan itu muncul karena
perasaan tidak puas mereka akan
berasil. Hal itu terjadi karena mereka
sadar bahwa mereka akan hasil mengalami
kekurang menderita kalaparan. Perasaan tidak pua ketika menggangu batin mereka
mengantar mereka pada perasaan bahwa mereka belum bisa memperoleh keslamatan. [31]
Setiap keluaga
memiliki kebun
Keadiran Koyeidaba
sebagai pembawah keselamatan.
Oleh karena hidup mereka bergantung pada hasil kebun, maka
setiap keluarga memliki kebun. Biasanya mereka
membuat kebun didua tempat
yakni: di lereng gunung dan di lembah. Baik kebun
yang ada di lereng maupun
di lembah, dimiliki oleh setiap keluarga. Di kebun tersebut, tanaman utama
yang di tanami oleh masyarakat adalah nota. Dari
nota yang mereka tanami, selain berfunsi untuk pemenuhan dan kebutuhan hidup harian, juga untuk ternak pemeliharaan mereka sebagai Ekina (Babi)
Ternak piarah yang
berlimpah
Hidup yang melimpah dalam kehidupan
suku Mee
tidak diukur dari satu aspek saja. Aspek lain juga turut mempengaruhui
kelimpahan dalam hidup suku Mee adalah
banyaknya ternak piaraan (terutama babi ekinaa). Unsur ternak (babi) dalam kehiduan suku Mee
sangat dibutukan dalam
kaitan dengan saat pesta-pesta
atau perayaan-perayaan seputar hidup
mereka. Ternak yang banyak melimpah menggambarkan suatu peternak hewan (babi), tetapi manusia yang biasa piara
ternak (babi). Walaupun demikian, suku Mee yang
mempuyai jumlah ternak (babi)
yang banyak akan puas dengan hidupnya, karena tidak
ada hal yang
kurang, yang dapat menggangu
suasana hidupnya.
Ternak babi yang banyak, ahkirnya akam mengantar suku Mee
untuk mengadakan pesta-pesta
sebagai ungkapan syukur atas segala
kelimpahan yang sudah
dan sedang ia
perlulah, sekaligus sebagai sarana ungkapan harapan untuk
terus hidup dalam situasi seperti
itu. Harapan tentang kelimpahan hidup sering diungkapkan melalui pesta-pesta
dengan pengorbanan ternak (babi) yang begitu banyak dalam perayaan-perayaan
itu. Perayaan-perayaan itu masih berlangsung
terus sampai saat ini untuk mengungkapkan tidak hanya kelangsungan hidup semata-mata
melaingkan juga mengalaminya secara berlimpah
memuaskan hidup, kenyataan seperti itulah yang sudah dan sementara terjadi
dalam kehidupan suku Mee.
Hidup yang berlimpah
harus dirasakan , karena itulah
keselamatan yang sementara
dirasakan sesama.[32]
Nota memberikan
daya kehidupan
Sebagai makanan yang menghidupkan
manusia, Nota memiliki beberapa unsur
kepentingan untuk memperoleh keselamatan manusia dalam kehidupan, tersebut diperatikan
dan dapat dilihat dari beberapa kebun, nota disimpan dalam noken baik-baik, pada saat makan
nota secara spontan mereka diam, dan nota
memberi daya kehidupan baru.
Nota Sebagai
Daya Kehidupan Baru
“Nota” yang dimakan oleh manusia, memberika sejumlah daya hidup
baru yang menghidupkan tubuh manusia yang
telah memakan ubi nota yang dimasak. Sejumlah daya kehidupan ini dihasilkan setelah nota dimakan oleh
manusia, seperti: tubuh dikuatkan dari kelemahan karena lapar, tubuh ditegakkan
kembali dari nota. Melalui nota yang dimakan terbentuk kembali tenaga atau energi
yang mulai kendor. Dari
situ, menimbulkan kembali daya
kerjaan otak untuk berpikir mengingat, memikirkan,dan merencanan, mengaktifkan
daya kerja hati untuk berasaan dan senang, menderita, marah, gembira takut
karena kehadiran Koyeidaba sebagai
keselamatan, secara normal, dan darinya manusia dapat bekerja menerima dan
mengeluarkan informasih demi perkembangan hidup manusia sendiri maupun
secara sosial.
Kita dapat membayangkan apa
yang akan terjadi bila tubuh manusia tidak di isi dengan makanan. Tentu rasa lapar akan
menguasai diri dan menyebabkan sejumlah aktivitas pada
tubuh manusia melembangkan bahkan dapat mati. Dari rasa lapar akan
membuat badan atau
otot-otot pada tubuh manusia
akan menjadi lemas tak
dapat berbuat apa-apa. Nota yang ditanam di dikonsumsikan oleh manusia
suku Mee, sangat berarti dalam seluruh kelangsungan hidup di muka
bumi kini dan disini.[33]
Keselamatan dalam hidup
harian (Keselamatan Batiniah)
Unsur keselamatan dalam hidup
harian suku Mee, keselamatan secara batiniah,. Berkaiatan dengan pokok tersebut
suku Mee dalam kehidupan harian memahami keselamatan sebagai
suatu saat dimana mereka terhindar dari marah bahaya saat di mana mereka
hidup dalam suasana
damai bahagia. Kedua situasi
ini mengantar untuk
melihat keselamatan sebagai situasi yang mengantar
mereka untuk melihat keselamtan.
Terhindar suatu masalah, penderitaan mengantar
suku Mee untuk
merasa suasana hati yang aman, tenang, bahagia damai. Semua itu merupakan suasana batin yang hanya
dirasakan agak sulit untuk
diungkapkan. Dalam suasana demikian mereka bergerak
bebas tanpa ada hambatan, sungguh-sunggu bila dirayakan. Situasi seperti
aman, bahagia, tenang, damai, tercipta pada saat tidak ada
perselisihan pertentangan antara
sesama, tidak ada bencana, hasil
kebun ternak yang berlimpah. Pada saat seperti itulah suku Mee merasakan dirinya mengalami makna kehidupan yang sebenarnya. Suasana bantinya tenang, dan
tidak ada beban.
Sebagai
Dasar Kepercayaan Masyarakat
Suku Mee
Latar belakang
Suku Mee mendiami daerah pengunungan tengah
bagian barat, tepatnya di pedalaman
Kabupaten Paniai dan empat Kabupaten dari, Kabupaten Nabire. Dalam mitos Ugatame dan Koyeidaba
ini, Ugatamee adalah pencipta, dan Koyeidaba dikatakan bahwa pada waktu
KOYEIDABA masih hidup ia mengasilkan benda-benda sepereti makanan, babi, mege
(kulit kerang yang berfunsi sebagai uang) dan lain-lain. Ia punya rencana untuk
membebaskan mereka dari situasi pensengsaraan, namun mereka berlanjur membunuh
dia. Ia juga meninggalkan babi untuk
dipeliara oleh mereka namun hal itu mereka tidak dilaksanakan. Setelah KOYEIDABA
meninggalkan terjadilah kesengsaraan.Karena itu mereka mendabahkan keselamatan
pada sekarang. Keselamatan itu nanti akan di bahwa oleh KOYEIDABA.[34]
Nooukuu
yang membimbin mereka dalam hidup mereka sekarang ini hanya menyiapkan
kedatangan KOYEIDABA berfunsi sebagai pengantara sementara. Padasaatnya KOYEIDABA
sendiri akan datang untuk memberikan kekayaan dan kemerdekaan. Dalam
rangka itulah Nooukuu menyiapkan kedatangan KOYEIDABA. Kegiatan ini dilakukan
dengan berbagai cara. Diantaranya (dalam aliran Utoumana) dengan mempertahakan benda-benda asli seperti petatas
(Kadakaga), babi dan beberapa jenis makanan lainya. Sebab menurut mereka semua
jenis makanan akan
hilan kecuali makanan yang
ada waktu KOYEIDABA masih hidup(makanan
asli). Kemudian juga menjaga kebersihan, hidup dalam ketenagaan, hidup
berkelompok, saling membantu, tidak membuat keributan dan perkara. Hidup dalam
ketenangan, hidup berkelompok, saling
membantu, membuat keributan dan perkara. Semua itu dilakukan di bahwa bimbingan
dan perintah dari Nookuu.
Dalam versi lain dikatakan bahwa keselamatan
akan diberikan oleh KOYEIDABA dengan cara memberikankemerdekaan kekayaan kepada
mereka. Jadi dapat dikatakan bahwa yang menjadipembawa keselamatan adalaha KOYEIDABA.[35]Mata pencarian masyarakat suku Mee adalah
bertani atau bercocok tanam secara menetap. Dalam buku Etnografi Irian Jaya Agus Alua melukiskan,”Kebudayaan merupakan
ungkapan nilai hidup dihayati,diperjuangkandiharapkan dalam pergumulan hidup
keselamatan.Nilai hidup yang perjuangkan orang Mee adalah hidup aman dan hidup
berkelimpahan.Kedua nilai Ugatame dan Koyeidaba itu merupakan puncak kehidupan
orang Mee”Ugatamee sebagai pencipta,
dan Koyeidaba adalah pembawah
keselamatan, hidup. Sisi lain juga Orang Mee merasa dan terancam dari bahaya
roh-roh jahat, magi-magi hitam dari orang lain.Selanjutnya ia mengatakan
situasi aman dibutukan orang dapat mencapai kelimpahan hidup yang menjamin
kesejateran dan kebahagiaan”.Selain itu juga suku Mee menaati nilai dan norma
yang mengatur hubungan dengan sesama manusia, alam roh-roh dan pada ahkirnya
dengan Ilahi, dalam bahasa Mee disebut Ugatame(pencipta). Semuanya ini ditaati
dengan sadar dan tahu,demi hidup yang aman, damai dan bahagia.Suku Mee yakin Koyeidaba membahwa
keselamatan.Sebab itu orang Mee mesti memperjuangkan melalui kerja keras dan
merayakan upacara-upacara untuk memperoleh kebehagiaan kini dan disini.Lebih
jelas lagi Misionaris masuk di wilayah Paniai membawah Touye mana, kabar gembira, pemahaman seperti ini berlaku sebelum
masuknya perubahan dikalangan suku Mee.Mengingat akan penggeseran nilai seperti
yang diuraikan di atas, ini penulis sebagai orang Mee merasa terdorong
untuk mengapdikan konsep mitos Ugatame
dan Koyeidaba dalam tulisan ini.[36]
Koyeidaba dilahirkan dalam keluarga miskin,
tetapi dalam perkembangan kemuadian iasangat berpaengaruh dalam hal ekonomi
dalam keluarga maupun di kalangan masyarakat umum. Makanan berkelimpahan di rumah keluarga Koyeidaba, sementara masyarakat yang lain hidup dalam
kekuaranganmasyarakat lain melihat kondisi hidup keluarga Koyeidaba sangat baik, maka orang lain mencurigai Koyeidaba
merampas semau kekayaan untukkeluarganya. Namuntindakan demuikian, koyeidaba
hadir ditengah masyarakat untuk mendatangkan makanan bagi semua suku Mee.Dengan
kecurigaan dari para leluhur Mitos suku, Mee, maka mereka bersepakati bersama
untuk membinuhnya. Orang banyak
berdatangan untuk mengepung rumah Koyeidaba, dan ia melarikan
diri menuju ke arah bukit, namun orang berhasil menahan dan membunuhnya.[37]
Demikian
pula dalam hal pemberian tubuh mereka yang dijadikan sebagai makanan atau
santapan.KOYEIDABA tubuhnya dipotong- potong, dibagi- bagi dan dimakan.Sama
halnya dengan Yesus, bahwa dalam Perayaan Ekaristi kita menyantap atau makan
tubuh-Nya.Tetapi tetap saja ada perbedaan antara keduanya. Tubuh KOYEIDABA
adalah dagingnya yang dimakan, sedangkan tubuh Yesus dimaksudkan sebagai
lambang kenangan akan Dia dalam rupa Roti dan Anggur.
Perumusan
Masalah
Masalah yang akan digumuli dalam Tulisan ini adalah konsep mitos Ugatame dan Koyeidaba
sebagai dasar kepercayaan masyarakat suku Mee. Persoalan pertama dan
pokokadalah mengapa mitos ini dikatakandasar kepercayaan?Bagaimana pola
Penunturanya? Siapa-siapakah berwenang dalam penanganan masalah
ini?sebagaimanayang terungkap dalam istilah Mitos Ugatame dan Koyeidaba.
Penulis membatasi pada konsep mitos Ugatame dan Koyeidaba sebagai
membawah keselamatan bagi suku mee sebagaimana
yang dipahami secara tradisiona,konsep mitos Ugatame dan Koyeidaba dalam
masyarakat masih bertahan saat ini.akan ditinjau secara antropologis.
Tiga
pertanyaan yang akan menjadi sorotan utama dalam tulisan ini adalah:
Apa
yang dimaksud dengan konsep mitos Ugatame dan Koyeidaba?
Bagimana
caranya orang Mee memperjuangkan mitos Ugatame dan Koyeidaba?
Dan bagaimana pengakuan terhadap orang yang
mengalami musibah mitos Ugatame danKoyeidaba sebagai dasar
membahwa keselamatan?
Tujan
dan manfaat penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah unuk
mengangkat dan mengapdikan Mitos Ugatame dan Koyeidaba yang dihayati sebagai
dasar kepercayaan masyarakat suku Mee,
secara tradisional.
a). Tulisan ini akan bermanfaat bagi generasi
muda orang Mee, dalam upaya memahami
pentinya nilai Mitos Ugatame dan Koyeidaba yang terdapat dalam kebudayaan
asalnya.
a). membantu dan memberikan inprasi mengenai
mitos Ugatame dan Koyeidaba kepada
masyarakat dan setiap pastoralnya, dalam pelayanan pastoral yang sesuai
dengan pemahaman konsep keselamatan
local dalam kebudayaan Mee.
D.Metode
Penulisan
Dalam metode penulisan skripsi ini,kami
menggunakan tiga metode pengumpulan data-data. Adapun metode tersebut
adalah sebagai berikut:
Studi Kepustakaan (Liberary).Melaluimetode ini,
penulis membaca beberapa buku,majalah-majalah dan skripsi yang ada kaitanya
dengan mitos Ugatame dan Keyeidaba keselamatan menurut suku Mee.
Wawancara (Iterview) metode ini saya gunakan
untuk wawancarai tiga orang Mee di
jayapura, yang cukup, mengetahui tentang konsep mitos Ugatame dan
Koyeidaba sebagai keselamatan orang Mee/
tradisional. Ketiga orangtersebut adalah
antara lain, Pilipus Bipai Degei adalah mantan MRP di Expo,Thomas Bunai sebagai
sebagai pegawai negeri di kantor Pengadilan Tinggi Negara di Kali acai.
Fefleksi pengalaman pribadi sebagai orang Mee
dalam mengayati mitos Ugatame dan Koyeidaba pembahwa keselamatan orang Mee.
E .Sistematika
penulisan
Tulisan ini akan dibuat dengan mengikuti
sistematika terdiri atas empat bab sebagai berikut:
Bab I,merupakan Bab pendahuluhan. Bab ini memuat tntang latar belakang, perumusan
masalah, tujuan , metode dan
sistematika Penulisan.
Bab II,ini penulis akan menguraikan keselamatan
mitos Ugatame dan Koyeidaba sebagai dasar kepercayaan Masyarakat suku Mee,
suatu konsep tradisional
Bab III, Penulisakan membeberkan tentang
bagaimana orang Mee berjuang dan memperolehnya mitos Ugatame dan Koyeidaba ini adalah pembawah keselamatan
Bab IV, Penulis mempaparkan pengakuan terhadap
orang yang mengalami keselamatan
Tulisan ini akan diakhiri Bab Penutup yang akan
berisikan kesimpulan dan saran
F. Daftar Pustaka
Buku-buku
Daftar Primer
Susanto
P, S, hari, Mitos menurut pemikiran
Mircea eliad, Kanisius
Yagjakart, 1987
Strauss,
Claudius Levi, Mitos dukun, shir, kanisius
Jakarta
Gavin D, Costa, Mempertimbangkan Kembali Keunikan
Agama Kristen, Mitos Teologi Pluralistis
Agama-agama Cetak 1-
Jakarta: Gunung Mulia, 2002
George
Kirch berger dan Jon, M, Prior, Yesus Kritus
Penyelamat misi pelayananya di Asia.
Agus A, Alua, Gambaran makluk ideal dalam
Mitos-mitos Irian sebelum dan sesudah bertemu
dengan kristus Karya
tulis Ilmiah
Daftar
Sekunder
Fransiskus
Tekege Makalah ahkir , Mitos Pembunuhan
Koyeidaba STFT”FT”
Bikmut
Aquino Uropmabin, Skripsi
Mitos Awi dan KAKA I ASE, Suatu
dasar Kepercayaan suku
Ngalum
Agapa
Bosco, Skripsi:Utoumana
,menurut pandangan Suku
Mee
Albertus
Jhon Bunai:Yesus Nota kehidupan
dan Keselamatan orang Mee
Yoseph Bunai, Aji dan Mobu Skripsi:
Keselamatan inisial dan Kekal Menurut
Pemahaman orang Mee STFT,FT’ Jayapura
2000
Artikel
Magda Pigome: Majalah suara Fajar Timur, Mitos Koyeidaba Berkristologi Dalam
Konteks Budaya April
1969
Gaya Keuskupan Timika, Paham Keselamatan Budaya Meeoktober
2009
MITOS UGATAMEE
DAN KOYEIDABA
SEBAGAI DASAR
KEPERCAYAAN MASYARAKAT SUKU MEE
![]() |
Dosen Pengasuh
Jhohanes Maturbongs M,Hum
OLEH
NAMA : Yance Yanuarius
Yogi
N
I M :
08010300
Tugas : Mid
Semester
SEKOLAH TINGGI
FILSAFAT TEOLOGI “FAJAR TIMUR”
ABERURA-JAYAPURA
PAPUA-2011
Ada beberapa
faktor yang menjadi alasan
utama bagi penulis, pertama adalah
demi mengembangkan gereja lokal, juga untuk mengembangkan gereja lokal yang sarananya
barsal dari daerah setempat. Pengembangan gereja di daerah paniai,
sebagai bagian intergral dari gereja
universal turut berperatian terhadap
perkembagangan segala bidang. Perkembagan itu
mengakibatkan masyarakat kecil
menjadi korban. Karena itu penulis
merasa perlu menyediakan
sarana berpastoral dalam bentuk
tulisan kecil ini. Salah satu gejala pribumian gereja
dewasa ini adalah ini kulturasi yang bertujuan untuk mengankat
mertabat manusia dan harga
diri warga gerejanya. Gereja kristus
di daerah paniai pun sedang gelanda dengan gerakan inkulturasi ini. Gereja di daerah paniai justru menerima baik
gereja dengan wajah inkulturatif ini, namun mengalami
kesulitan dari tenaga potensial maupun sarana pendukung
lanya. Untuk mendukung gereja dalam
upaya membangun gereja yang
berwaja inkulturatif ini. [38].
Kedua ,tulisan
ini bersifat “intro bagi pembaca yang hendak
berkarya di daerah paniai. Untuk
mengenal manusia Mee dan mencintai merek, dan
untuk diterima oleh manusia Mee,
menyatu dengan budaya orang Mee maka perlu
diadakan perkenalan awal. Salah
satu jalurnya melalui masa media
seperti tulisan kecil ini
Ketiga
kencangnya modernisasi, mengakibatkan krisis di berbagai aspek kehidupan
manusia. Era globalisasi dan informasi
di Papua pada umumnya dan pada khususnya di daerah Paniai masuknya
perusahan-perusahan besar wisatawan asing yang
meningkat, arus teransminggrasi
dan migrant yang semakin meningkat,
semuanya mengakibatkan krisis identita, struktur social, norma-norma
kehidupan yang telah berdarah daging,
system-sistem kehidupan ekonomi, politik, sosial, religi yang kosmologis, tanah adat dan kebiasaan hidup
yang telah normatif, semuanya ini
berada di ambang
kehancuran dan gigantikan dengan
pola dan bentuk yang baru, yang sangat
meragukan mengancam seluruh
perbedaan mereka. Masa depan bagi mereka sedemikian curam. Para
pemilik moda, pengetahuan,
uang dan
pengalaman melihat kondisi
social budaya yang ada
sebagai kesempatan untuk
mengembangkan kariernya.
Penduduk di Papua
pada umumnya dan suku Mee
pada khususnya kini berada persimpanagan
jalan. Mereka sendiri merasa
diri belum siap namun pengaruh luar masuk dan dan
memaksa mereka untuk menerima dengan
kehadiranya sambil menolak tradisinya yang merupakan
bagian dari dirinya
sendiri. Penduduk setempat dengan
rela mau menerima kehadiran pengaruh
luar, dengan rela melepaskan pula kebiasaan-kebiasaan lama, tetapi tetap
mereka bingung. Diantara ketiga bidang
itu yang lebih menonjol adalah masalah ekonomi karena seluruh daerah
paniai mengalami musibah
kelaparan . pada masa kelaparan
ini tersebut, hadirlah makluk ideal
yang disebut sebagai tokoh ini. Disatu
piak Koyeidaba dipandang sebagai
kisah mitos dan dilain pihak dipandang
sebagai kisah kenyataan yang
terjadi dalam masyarakat
pada masa lampau.
Koyeidaba dilahirkan
dalam keluarga miskin, tetapi dalam perkembangan
kemuadian ia sangat
berpaengaruh dalam hal ekonomi dalam
keluarga maupun di kalangan
masyarakat umum. Makanan
berkelimpahan di rumah keluarga
Koyeidab, sementara masyarakat
yang lain hidup dalam
kekuarangan. [39][40]masyarakat lain
melihat kondisi hidup keluarga keoyeidaba sangat baik, maka
orang lain mencurigai Koyeidaba
merampas semau kekayaan untuk keluarganya. Namun tindakan
demuikian, koyeidaba hadir ditengah masyarakat untuk mendatangkan makanan bagi
semua orang Mee. Dengan kecurigaan
dari para leluhur Mitos orang
,Mee, maka mereka bersepakati
bersama untuk3.[41]membinihnya.
Orang banyak berdatangan
untuk mengepung rumah Koyeidaba,
dan ia
melarikan diri menuju ke arah
bukit, namun orang berhasil menahan dan
membunuhnya.
Penulis mengankat
masalah mitos Koyeidaba sebagai
dasar kepercayaan Masyaraka
Suku Mee Koyeidaba
ini, karena karya tulis
ini merupakan topic baru
atau masalah yang
belum pernah ditelitih oleh para
pendahuluh tetapi hanya
mereka mengambarkan secara garis besar, sehingga penulis
mentuangkan lebih mendalam,
tetapi pendahuluh yang
pernah kuliah STFT”FTn”
dalam skripsinya Agus A, Alua dan Magda Pigome dan Skripsi Bosco
Agapa, pernah menyingung tentang mitos
Koyeidaba, dan dalam Makalah ahkir Fransiskus
Tekege juga pernah menyingun tentang
pembunuhan Koyeidaba tapi tidak jelaskan secara
khusus tentang peristiwa Mitos
Koyeidaba. Maka kini penulis menggarap mitos Koyeidaba, dan sebagai dasar
kepercayaan Suku Mee.
KEBUDAYAAN
UPACARA PERKAWINAN DI RUMAH
LAKI-LAKI DALAM TRADISI SUKU MEE
1. PENDAHULUAN
1. 1. LATAR BELAKANG
Perkawinan menurut masyarakat
adat suku Mee adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
(suami-isteri) sampai mati dengan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) bahagia berdasarkan nilai hidup yang dimiliki oleh suku Mee. Untuk
mempertahankan meneruskan menurut
ke-bapa-an, karena sistem keluarga suku Mee ialah patrilinear (hubungan melalui
garis kerabat pria saja, Bapak), maka upacara perkawinan selalu diadakan di
rumah laki. Ini menjadi tradisi dalam suku Mee. Menurut pandangan suku Mee
sahnya perkawinan apabila telah mengadakan upacara perkawinan dalam memberi dan
menerima harta mas kawin mege (kulit
biah) dan mengadakan upacara-upacara perkawinan di rumah laki-laki, agar
keluarga hidup dalam keadaan yang aman, jika anak laki-laki untuk
mempertahankan atau menurunkan marganya. Kenyataan menunjukkan bahwa peranan
wanita, kehidupan wanita dan citra simbolis wanita pada waktu yang berbeda-beda
tempat, mulai tampak dengan jelas dan kegiatan upacara perkawinan diadakan
secara serius mengenai dunia wanita. Dalam hal ini wanita dalam tradisi suku
Mee dijunjung tinggi karena pada zaman sebelum mengenal kemajuan secara adat
ekonominya rendah dan ketika mengenal kemajuan adat dapat dikuasai ekonomi oleh
wanita.
1. 2. MAKNA PERKAWINAN DALAM
DALAM TRADISI SUKU MEE
Pekawinan dalam tradisi suku
Mee mulai terjadi saat calon pasangan suami-isteri keluar dari rumah orang
tuanya atau marganya. Kemudian perkawinan menjadi sah setelah pihak kerabat
wanita menerima mas kawin sesuai dengan permintaannya kepada pihak kerabat
lelaki. Upacara-upacara yang telah dibuat itu besifat peneguhan saja.
Upacara-upacara ini selalu menampilkan segi religius dari perkawinan.
Perkawinan dalam tradisi suku
Mee mempunyai suatu cita-cita yang Religius. Upacara dalam tradisi suku Mee
selalu dilaksanakan dalam suatu ritus atau upacara. Ada beberapa hal yang
menjadi dasar perkawinan adat dalam budaya suku Mee, yaitu persetujuan kedua
fam (fam suami disatu pihak dengan fam isteri dipihak lain); Pemberian harta
mas kawin yang dituju kedua fam; Adanya keturunan.
2. UPACARA PERKAWINAN
Sebelum melaksanakan upacara perkawinan ini ada beberapa hal yang
harus dilalui, yaitu:
2. 1. Persiapan
Persiapan dalam perkawinan
dalam tradisi suku Mee, bahwa pihak lelaki harus mempersiapakan atau
mengumpulkan harta mas kawin, dan mempersiapkan tempat untuk mengadakan pelaksanaan upacara
perkawinan. Kedua hal ini mengetahui secara bersama-sama dalam masyarakat umum
kampung itu, yaitu:
Persiapan dalam pengumpulan
harta maskawin, keluarga calon suami ini memberitahukan kepada
kerabat-kerabatnya dan juga orang-orang dari kampung itu untuk membicarakan dan
mengumpulkan harta maskawin yang telah ditentukan oleh pihak perempuan itu. Apa
yang mereka telah kumpulkan, baik dari kerabatnya maupun dari orang lain itu
besifat hutang (Iyoweta). Hutang itu
sebagai tabungan kepada anak-anak laki-lakinya. Hutang itu akan diambil oleh
anak laki-laki pada saat anak perempuan dari kedua pasangan baru yang akan dilangsungkan ini diambil pada saat anak
perempuannya itu kawin. Kalau pasangan baru ini, apabila anak-anaknya laki-laki
saja, maka hutang-hutang (Iyoweta-iyoweta)
itu dikembalikan dari anak-anaknya tersebut.
Persiapan tempat dalam rumah
atau di halam rumah, dalam tradisi suku Mee rumah atau halaman rumah sudah
dikhususkan untuk menyelesaikan masalah-masalah besar termasuk, upacara
perkawinan ini. Dan tidak sembarangan tempat, maka dilaksanakan atau
diselesaikan di rumah laki-laki (Emaa Owa
atau Yameka Owa) atau halaman rumah laki-laki “yameka owa yibuda” disebut juga sebagai tempat sakral untuk
menyelesaikan masalah-masalah atau hal-hal besar. Rumah laki-laki (Emaa Owa atau Yameka Owa) atau yameka owa yibuda disebut sebagai tempat
sakral karena tempat menimbah pikiran-pikiran sehat dan nasehat-nasihat yang
bersifat sakral dari orang tua. Dengan demikian hal perkawinan juga dianggap
bahwa masalah yang besar, maka perkawinan harus diselesaikan dan saksikan
secara bersama-sama dan tempat yang sakral.
2. 2. Penjemputan calon isteri
baru dan pihak perempuan.
Penjemputan kepada calon isteri
baru dan pihak orang tua perempuan, dijemput oleh kedua oarng tua laki-laki dan
beberapa kerabatnya. Tujuan dari
penjemputan kedua orang tua dan beberapa kerabatnya perempuan yang sama umurnya
dengan calon isteri baru tersebut, ini mempunyai fungsinya masing-masing.
Fungsi dari ayah, memberi nasihat kepada calon isteri baru itu, agar dia pepang
pada nasihat dan menjadi pegangan hidup dalam kehidupan keluarganya; fungsi
dari ibu, memadamkan semua ketakutan dan ketegangan (meda dimii yadaimaii) yang ada dalam diri calon isteri baru
tersebut; dan fungsi dari beberapa kerabatnya, menghibur dan mengajak cerita
kepada calon isteri baru tersebut. Agar tidak merasa malas dalam
penjemputannya.
2. 3. Peserta
Dalam pelaksanaan upcara
perkawinan dalam tradisi suku Mee diartikan sebagai hubungan dua orang berbeda
jenis kelamin yang mempersatukan mereka dalam segala aspek. Dengan adanya
kesatuan ini mereka tidak lagi terikat pada orang tua melainkan hidup secara
mandiri dan bertanggung jawab atas keluarganya. Hubungan pria dan wanita ini
diakui oleh kerabat dan masyarakat umum. Dalam hal ini masyarakat mendukung
hubungan atau perkawinan tersebut, maka perkawinan menjadi suatu lembaga yang
sah. Perkawinan adalah suatu lembaga
yang sah, maka dalam pelaksanaan upacara perkawinan, harus diketahui secara
masyarakat umum dan dilaksanakan tempat terbuka yang dinyatakan sakral, yaitu “Ema Owaa” atau “Ema Owaa yibuda” (di rumah atau di halaman laki-laki). Untuk itu
ada orang tua kedua belah pihak, para saksi, dan keluarga atau kerabat lain
dari kedua belah pihak tersebut. Ketiga hal tersebut akan dijelaskan di bawah
ini.
Orang tua kedua belah pihak
ini, sebagai subjek utama dalam pemberi dan penerima. Dan juga titik penentu
untuk kedua calon ini jadi suami-isteri atau tidak.
Para saksi, saksi ini
orang-orang yang lebih tua atau yang sudah berpengalaman dalam berbagai hal
yang mewakili dari kedua belah pihak lelaki dan perempuan. Kemudian kedua calon
baru ini akan sumpah janji di hadapan umum lebih khususnya di hadapan para
saksi ketika upacara perkawinan berlangsung. Dengan dilakukan ini supaya
keluarga yang sah.
Keluarga atau kerabat lain dari
kedua belah pihak, kerabat pihak lelaki ini dengan tujuannya hanya menyaksikan
sahnya bagi kedua calon baru tersebut. Sedangkan kerabat pihak perempuan ini
dengan tujuan menerima harta mas kawin sekaligus menyaksikan pelaksanaan
upacara tersebut.
2. 4. Tesis.
Dalam
kebudayaan upacara perkawinan di rumah laki-laki, perlu dikenal dan diangkat
nilai-nilai kebudayaan dalam suku Mee. Hal-hal di atas inilah yang harus
dilakukan atau ditempuh oleh pihak lelaki untuk membentuk keluarga baru.
3. PELAKSANAAN UPACARA
PERKAWINAN DALAM TRADISI SUKU MEE[42]
Pelaksanaan upacara perkawinan
dalam tradisi suku Mee dilaksanakan setelah kerabat kedua belah pihak menyepakati
bersama besarnya mas kawin. Kemudian pihak kerabat pihak kerabat wanita
menerima maskawin tersebut, sesuai dengan permintaannya. Upacara ini
menampilkan segi Religius dari perkawinan. Upacara ini berhubungan erat dengan
Sang Pengusaha “Ugatame” (Tuhan atau
Pencipta) yang diyakini sebagai Pencita, Pengelenggara, Pelindung, dan
Pemelihara manusia dan alam semesta. Sering pula upacara ini ditunjukkan kepada
roh-roh termasuk roh nenek moyangnya. Agar mereka melindungi, memelihara, dan
memberi kesuburan dalam perkawinan tersebut.
Alasan mereka melaksanakan
upacara perkawinan ini kepada “Ugatame” (Tuhan
atau Pencipta) karena Ugatame (Tuhan
atau Pencipta) dianggap sebagai pengatur kehidupan. Kemudian mereka juga
menghormati dan memuja roh-roh nenek moyang agar tidak merusak kehidupan
perkawinannya melainkan justru melindunginya. Dengan demikian dalam perkawinan
ini mereka menyerahkan kepada Ugatame
(Tuhan atau Pencipta) supaya hidup mereka tetap dilindungi, aman, dan tetap
utuh.
3. 1. Upacara Pembukaan
Pertama-tama kedua pasangan
baru mengambil tempat yang telah disediahka. Tempatnya entah di rumah atau di
halaman umum. Pokoknya tempat tersebut dianggapnya suci atau sakral. Mereka
diapit oleh kaum kerabat laki-laki yang menempati posisi bagian kanan dari pasangan
baru tersebut. Dan kaum kerabat perempuan
yang menempati bagian kiri dari pasangan tersebut. Sebagai pembukaan dan
upacara ini, musik kaido dibunyikan
oleh beberapa orang yang lebih ditunjuk dan dipercayai oleh orang-orang
terkemuka. Musik ini dibunyikan selama lima menit. Musik ini dibunyikan pada
awal upcara ini dengan tujuan untuk menghadirkan Ugatame (Tuhan atau Pencipta) yang diyakini sebagai pencipta,
pengelenggara, dan pemelihara kehidupkan mereka. Kaido adalah alat tradisional dari suku Mee yang dibuat dari batang
jubii.
3. 2. Upacara Pemberian Mas
Kawin
Dalam tradisi suku Mee, unsur
yang sangat penting dalam perkawinan adatnya adalah “Mas Kawin” atau “pemberian
harta”. Harta mas kawin yang telah dikumpulkan oleh pihak lelaki itu, diberikan
oleh pihak lelaki kepada pihak perempuan. Kemudian pihak perempuan menerima dan
menghitung secara bersama-sama sekaligus memilih mege (kulit bia) yang
bermutu dan tidak bermutu. Yang tidak bermutu itu dipisahkan dan
dikembalikannya. Besarnya jumlah yang dikembalikan itu meminta kembali dengan
jumlah yang sama dalam bentuk mege (kulit
bia) yang bermutu, seperti Bodia, yoo,
dan kubawii itu yang dikategorikan mege
(kulit bia) yang bermutu. Setelah terjadi demikian, pihak lelaki
membicarakan bersama untuk mengumpulkan harta mas kawin yang dikembaliakan itu
secara tiba-taba. Jika mege yang baru kumpul itu apabila kekurangan, maka
terjadi tawar menawar antara kedua belah pihak. Akhirnya pihak perempuan
merasa, bahwa sebagai manusia mereka menerima sesuai kemampuan yang telah
dikumpulkannya itu. Mas kawin ini bermaksud pula untuk memantapakan dan
mempersulit, baik poligami maupun perceraian. Mas kawin ini bukan “harga beli”
untuk memperoleh isteri sebagai “milik”. Mas kawin terlebih sebagai suatu
kompensasi (ganti rugi) atau suatu kekuatan sosio ekonomis perempuan yang
pindah ke kelompok lain (patrilineal)
sehingga asal perempuan secara sosio ekonomis diperlemah (terutama dalam
kesuburan dan tenaga kerja). Bahwa isteri tidak “diberi” ternyata hal: suami
tidak berhak menjual istrinya. Dalam budaya suku Mee hal yang paling menentukan
sah-tidaknya suatu perkawinan adalah pemberian mas kawin.
3. 3. Upacara Peneguhan
Pada tahap ini kepala suku atau
kepala adat memberi komentar bersifat nasihat dan peneguhan-peneguhan. Nasihat
dan peneguhan ini bertujuan untuk memberikan pengertian kepada pasangan baru
itu, agar mereka sadar bahwa, mereka bukan lagi anak kecil yang selalu berada
dibawah bimbingan dan pengawasan orang tua, tetapi sekarang sudah kawin, berarti mereka sudah melepaskan
diri dari orang tua dan hidup mandiri dengan membentuk keluarga sendiri.
Selanjutnya kepala suku atau ketua adat melanjutkan dengan pemberian bekal
hidup dan alat kerja kepada pasangan baru tersebut.
3. 3. Peneguhan dalam Bentuk
Pemberian Simbol-Simbol Perkawinan.
Pemberian simbol-simbol ini
diadakan oleh kepala adat. Kepala adat memberi simbol-simbol ini pertama-tama
demi mengikuti patokan-patokan hidup yang berlalu dalam adat dan demi
memperkuat Kabo (Dasar) perkawinan
adat, serta demi membentuk dasar bisnis, dasar kesuburan serta sebagai
perkembangan keturunan.
Mege bugaiya (pasangan uang atau pasangan kulit Bia: Mege betina, dan jantang) yang telah
diikat melambangkan ikatan kesetiaan antara kedua mempelai. Ketua adat
mengukuhkan mereka dengan simbol ikatan mege
(kulit bia) ini dengan maksud agar mereka tetap setia pada ikatan perkawinannya
dan terhindar dari budaya Mogai taii
(berbuat cabul), akhirnya yang dapat mengakibatkan kehilangan nyawa bagi
pasangan yang telah melakukan mogai
(cabul) tersebut. Melalui simbol ini pula marga dan kaum kerabat pria disatukan
pihak marga dan serta kaum kerabat perempuan dilain pihak diikat menjadi satu
keluarga. Peneguhan dalam rupa ikatan mee
(kulit bia) ini juga merupakan peletakan dasar dan kekuatan untuk berbisnis
dalam kehidupan selanjutnya.
Kemudian pemberian bibit-bibit
tanaman, seperti bibit petatas, bibit tebuh, bibit sayuran, dan bibit ternak.
Ini merupakan juga peletakan dasar dan kekuatan hidup dan berbisnis pula.
Peneguhan yang ditandai pemberian simbol ini dilakukan pula sebagai peletakan
dasar kesuburan tanaman dan ternak mereka, agar dengan kesuburan itu mereka
mampu membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan sehat sampai dewasa.
Pemberian “patau” (sikop dari kayu), “maumii”(kampak
dari baru) dan anak-panah (uka-mapega) ini sebagai bekal untuk
kerja dan untuk melindungi dan menjaga keamanan keluarga dari bahaya-bahaya
yang datang dari luar.
Uka-mapega (anak-panah) ini sebagai menaru pikiran laki-laki,
menunjuk sebagai laki-laki, dan menjadi kekuatan dalam mencari kebutuhan
keluarga di tanah orang (dua-yawii).
Pemberian lokasi, orang tua
nembagi lokasi untuk berkebun. Kedua pasangan baru ini tidak lepas dari orang
tua dalam arti membantu orang tua, baik membersihkan dan membuat kebun, mencari
kayu, dan menyiapkan makanan kepada orang tuanya.
3. 5. Mimpi Pada Haid Pertama
(Tikago Dawapa Bagume)
Mimpi yang dialami oleh
pengantin wanita pada haid pertama (tikago
dapawa bagume) merupakan salah satu hal yang paling penting dalam
perkawinan dalam tradisi suku Mee dan harus diungkapkan ketika upacara
perkawinan berlangsung.
Hal-hal yang telah dialami oleh
pasangan penganting dalam mimpi tersebut menentukan masa depan keluarga
tersebut. Sukses-tidaknya kehidupan keluarga, mengenai kematian salah satu
anggota keluarga, mengenai pengelewengan salah satu pasangan dan lain-lain,
pokoknya seluruh seluk-beluk kehidupan yang keluarga akan dialami dalam mimpi
tersebut. Hal-hal di atas tersebut diketahui setelah mimpi tersebut ditafsirkan
oleh para penafsir mimpi. Apabila ternyata si perempuan tersebut mengalami
mimpi buruk, maka keseekokan harinya mereka mengadakan Witogai (Ritus pengucian). Hal ini dilakukan agar pasangan ini
terhindar dari bahaya yang dialami oleh si wanita dalam mimpi tersebut.
3. 6. Upacara Penutup
Upacara ini diakhiri dengan
musik kaido. Dan selanjutnya
dilanjutkan dengan cerita dongen. Cerita-cerita ini diberikan oleh para
penatua dari masyarakat setempat.
Kemudian keesokan harinya kerabat wanita meninggalkan rumah lelaki, lalu pulang
kerumah mereka masing-masing.
3. 7. Tujuan Upacara Perkawinan
Dalam Suku Mee.
Mengenal dan mengankat
nilai-nilai kebudayaan pada suku Mee. Agar generasi kegenerasi dapat menanamkan nilai-nilai budaya aslinya.
Bagi setiap orang yang hidup dalam budayanya, maka orang mudah mengenal budaya
orang lain.
4. PENUTUP
Upacara perkawinan dalam suku
Mee merupakan budaya yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lebih
khususnya dalam kehidupan keluarga. Karena keluarga tidak terlepas dari budaya
aslinya. Budaya upacara perkawinan tradisi suku Mee ini ada beberapa upacara
yang harus dilaksanakan di rumah laki-laki untuk menjadi suami-isteri. Hal-hal
yang harus dilaksanakan sampai menjadi suami isteri adalah mulai dari persiapan
sampai upacara penutup. Dalam persiapan ini pihak lelaki harus berusaha untuk
mengumpulkan harta mas kawin, rumah atau tempat untuk pelaksanaan upacara
perkawinan, penjemputan calon isteri baru oleh kedua orang tua lelaki dan
beberapa saudari kerabatnya. Peserta
yang harus hadir dalam upacara perkawinan ini, baik saksi dari kedua
belah pihak, kerabat lain dari kedua belah pihak, dan keluarga lain. Dan
langkah berikutnya yaitu pelaksanaan upacara perkawinan. Inilah yang inti dalam
upacara perkawinan dalam tradisi suku Mee. Upacara perkawinan dalam tradisi
suku Mee ini, ada beberapa ada beberapa hal yang perlu lalui bersama
berdasarkan nilai-nilai budaya dan nilai-nilai agama. Yang menjadi utama dalam
upacara ini berhubungan erat dengan Sang Pengusaha Ugatame yang diyakini sebagai Pencipta, Pelindung, dan Pemelihara manusia dan alam semesta.
Dalam upacara perkawinan ini langkah-langkahnya harus yang harus dilalui adalah
upacara pembukaan, upacara pemberian mas kawin, upacara peneguhan, upacara
dalam bentuk pemberian simbol-simbol perkawinan, mimpi pada haid pertama (tikago dawapa bagume) dan upacara
penutup. Itu semua menjadi dasar dalam langkah awal untuk menjadi suami isteri
dalam hidup keluarga. Dengan upacara-upacara inilah mengakhiri perkawinan dalam
tradisi suku Mee.
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Makna Perkawinan dalam tradisi suku Mee
UPACARA PERKAWINAN.
Persiapan
Penjemputan calon isteri baru.
Peserta
Orang tua dari kedua belah
pihak.
Saksi dari kedua belah pihak.
Keluarga atau kerabat lain dari
kedua belah pihak.
2. 4. Tesis
3. PELAKSANAAN UPACARA
PERKAWINAN DALAM TRADISI SUKU MEE
Upacara pembukaan
Upacara pemberian mas kawin
Upacara peneguhan
3.4.Upacara peneguhan dalam
bentuk pemberian simbol-simbol perkawinan
Mimpi pada haid pertama (Tikago
dawapa bagume)
Upacara penutup
3.7.Tujuan perkawinan dalam
tradisi suku Mee
4 .
PENUTUP
PENGENALAN
TENTANG SUKU MEE DI PEDALAMAN
PAPUA
Nama dan Bahasa
Nama
Suku
Masyarakat Paniai menyebut dirinya
sebagai Suku Mee atau sering di sebut juga Ani Mee atau Ani Makodo Mee. Sebutan
ini membedakan sebutan dari luar suku yaitu Suku Moni yang biasanya menyebut Suku Mee dengan
sebutan Suku Ekagi atau Ekari. Dan orang Pantai dalam hal ini Suku Kamoro yang
menyebut Suku Mee Kapauku (Orang
Gunung). Kedua sebutan ini, secara umum tidak diterima oleh Suku Mee, karena
berkonotasi negatif [43].
Suku
Mee terdiri dari kurang lebih 136 marga/fam. Marga atau fam inilah yang
mendiami seluruh wilayah Paniai secara umum.
Manusia
Mee artinya “Manusia sejati”.
Bahasa
Bahasa yang dipakai sebagai alat
komunikasi sehari-hari adalah bahasa Mee. Namun dalam pemakain gaya bahasanya
mengikuti tiga dialeg besar yaitu :
Dialeg Mapiah, Dialeg Tigi dan
Kamuu, serta Dialeg Paniai
(Enagotadi).
Misalnya
: Sapaan Kata Selamat: Orang Mapiah menyebut Koha, Orang Kamuu dengan Tigi
menyebut Koha
dan Orang Paniai (Enagotadi) menyebutnya koya “Amanai.”[44]
Pengenalan
Letak Geografis[45]
lokasi
Suku
Mee mendiami jatung pulau Papua yang berbentuk burung Mambruk ini. Dan tempat
kediamannya secara umum disebut Paniai. Kini daerah ini terdiri dari tiga
Kabupaten yaitu : Kabupaten Paniai (Enagotagi), Kabupaten Deyai (Wakeitei/Waghete), dan
Kabupaten Dogiyai (Moanemani). Daerah Paniai memimiliki tiga danau besar yaitu
: Danau Paniai, Danau Tage, dan Danau Tigi. Ketiga danau ini, terletak di
Kabupaten Paniai dan Kabupaten Deyai. Sedangkan di Kabupaten Dogiyai terdapat
juga dua Danau Kecil yaitu : Danau Makomo dan Danau Pekawagi. Kedua danau
inilah yang mengiri sepajang Lembah Kamuu sampai di Kali Uta Kokonau Kabupaten
Mimika.
Secara agraris pusat daerah Kabupaten Dogiyai adalah
daerah yang subur. Karena letak wilayah ini pada umumnya lembah yang
dikelilingi oleh perbukitan dan gunung yang tinggi. Dan sering di kenal dengan
sebut Lembah Kamuu Yang Hijau (Kamuu
Green Valley). Sedangkan Kabupaten Paniai dengan Kabupaten Deiyai memiliki
daerah yang terdiri dari perbukitan dan pegunungan. Dan merupakan tempat hunian
masyarakat. Dan secara agraris kedua daerah ini “kurang subur”.
Untuk
menempuh ketiga kabupaten ini, biasanya ditempuh dengan menggunakan
Transportasi Darat dan Transportasi Udara.
Perbatasan
berdasarkan letak geografis Suku Mee menunjukan, bahwa di wilayah Paniai bagian
Timur berbatasan dengan Suku Moni. Sedangakan bagian Barat berbatasan dengan
Suku Kamoro (Mimika). Dan bagian Selatan berbatasan dengan Suku Amungme
(Agimuga), bagian Utara berbatasan dengan salah satu suku asli Nabire/pesisir pantai yang biasanya orang mee
menyebutnya dengan istilah orang buna
(Nabire).
Dearah
Suku Mee merupakan wilayah pelayanan kegerejaan Keuskupan Timika, yang di bagi
dalam dua Dekenat yakni Dekenat Paniai dan Dekenat Kamuu-Mapiah. Dekenat Paniai
membawai 9 paroki. Sedangkan Dekenat
Kamuu-Mapiah membawai 6 paroki, [46]
Daerah
Suku Mee merupakan basis pekabaran Injil bukan hanya Agama Katolik, melainkan
Agama Kristen Protestan (Gereja Kingmi Injili). Kedua agama ini mejadi
mayoritas di seluruh daerah Suku Mee.
Sistem mata pencarian tradisional
Mata pencarian orang Mee yang pokok adalah bercocok
tanam di ladang. Mereka mengenal sistim pembagian kerja antara wanita, pria,
dan anak-anak, dalam kegiatan-kegiatan social seperti berladang, berburu,
mengasuh anak, dan mengatur ekonomi rumah tangga.
Pembagian
kerja ini Nampak dari cara mengerjakan kebun, yang mula-mula dilakukan oleh
pria ( yaitu pekerjaan membersihkan alang-alang, menebang pohon, membakar
belukar, batang-batang, serta dahan-dahan kering, dan menggali parit sekeliling
lahan ). Kemudian kaum wanita mengumpulkan sisa-sisa kayu, yang mereka bawa
pulang untuk kayu bakar, mencungkil tanah dengan sekop, dan menanam beberapa
jenis tanaman untuk makanan pokok mereka, yaitu nota,( ubi rambat/jalar ).
Di
samping memelihara babi ( Ekina ),
orang Mee juga berburu kuskus pohon (Woda)
dan kuskus tanah serta jenis-jenis hewan liar seperti babi hutan, burung
kasuari, mambruk, maleo, dan jenis-jenis binatang lainnya.
Orang
Mee juga menangkap ikan dan udang di danau dan sungai. Pekerjaan ini mereka
lakukan pada pagi, sore, dan malam hari dengan menggunakan (ebai), yang mereka benamkan di dasar danau selama dua-tiga jam,
bahkan bermalam.
Peralatan
berburu orang Mee terdiri dari parang ( Mawai
), panah ( ukaa ), dan jerat
pohon, dan di samping itu mereka juga dibantu oleh anjing untuk memburu
binatang buruannya. Dengan ilmu gaib mereka mengharapkan dapat memanggil dan
menangkap binatang. Orang Mee menagkap kuskus pohon dengan cara memasang
semacam perangkap di atas dahan yang selalu dilalui oleh binatang tersebut.[47]
Organisasi Sosial
Perkawinan
Perkawinan
menurut masyarakat suku Mee adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita
atau suami dan isteri hingga mati. Dengan bertujuan untuk membentuk suatu rumah
tangga yang bahagia berdasarkan nilai hidup yang dimiliki oleh suku Mee. Untuk
mempertahankan dan meneruskan warisan menurut kebapaan, karena system keluarga
suku Mee ialah partilinear (hubungan
melalui system garis pria atau yang disebut Bapak ). Menurut pandangan suku
Mee, secara khusunya perkawinan adalah mengadakan atau memberi dan menerima harta maskawin dalam
bahasa Mee disebut Mege Makii dengan
Kulit biah dan dedege.[48]
Rumah
tangga orang Mee biasanya terdiri dari suatu keluarga luas. Ada keluarga inti
senior dengan beberapa keluarga yunior, yaitu keluarga inti anak pria 1-2
keluarga inti uxorial dari menantu, atau keuarga uxorilokal senior dari isteri
saudara tua pria ayah. Dengan demikian suatu rumah tangga kadang-kadang terdiri
dari 3-4 keluarga inti.[49]
Keluarga
inti dan rumah tangga
Dasar masyarakat Mee adalah keluarga
inti monogam. Dalam masyarakat ini tampak gejala bahwa keluarga inti hanya
terdiri dari seorang ibu serta anak-anaknya saja. Keluarga matrifokal yang
banyak terdapat dalam masyarakat Mee agaknya disebabkan karena kaum prianya
banyak merantau. Pada
umumnya, tujuan daripada seorang pria merantau tersebut tidak lain adalah,
untuk mencari nafkah/kebutuhan hidup bagi keluarganya. Memang banyak rencana
atau tujuan dari seorang pria/sebagai bapa dalam merantau, namun semuanya demi
kelangsungan hidup. Apa saja yang ia dapat di sana, entah kus-kus (Woda), Mege/dedege, dll.tersebut bila
ada kelebihannya, maka ia tetap pergi menjualnya atau berbisnis di daerah-daerah lain, mis, ia
pegi menjual dalam keluaga, tetangganya (ke Kamuu, Mapiah, Paniai:
Enarotali-Obano, bahkan sampai diNabire dan Jayapura).
Pemimpin
Masyarakat
Pemimpin masyarakat Mee yang dipilih oleh pemerintah yakni
Ondowafi, sedangkan pimpinan adat disebut Tonowi/Tonawi. Berbagai faktor menentukan
apakah ondowafi atau tonowi yang lebih dominan. Seorang Tonowi akan memperoleh
dukungan yang lebih besar apabila ia memiliki ciri-ciri yang disenangi oleh
penduduk. Kewibawaannya biasanya tinggi apabila ia kaya, memiliki banyak babi
dan tanah garapan, beristeri lebih dari satu, ramah, pandai berbicara dan
berpidato, dan suka menolong orang lain. Sedangkan Ondowafi memiliki kekuatan
pada kekuasaan yang dipaksakan kepada penduduk dengan dukungan yang
diperolehnya dari atas.[50]
( Religi )
Sistem
Kepercayaan Akan Allah
Masyarakat Suku Mee, mengakui dan
meyakini adanya Allah baik sebelum dan sesudah adanya agama sejarah. Sebelum
adanya agama mereka menyebut Allah sebagai :
Wado-ME (Yang Atas)/ Menaka-Mee (
Bapa Semua Manusia)/ Mepoya-mee (bapa
yang kudus). Setelah adanya agama disebut Ugata-Me
(Allah Pencipta), sedangkan Meyiwi
(Roh Kudus). Dan Yesus di sebut Menaka[51].
Suku Mee dalam budayanya menghayati
agama asli yang terdapat didalamnya hukum-hukum Allah dalam Kitab Touyemana/ Touyekapogoye ( lembaran
sabda/ lembaran kehidupan). Hukum-hukum Allah dalam kitab tersebut lebih dari
sepuluh hukum yang terdapat dan di dalam ajaran Kristiani.
Upacara-upacara
Daur hidup[52]
Upacara-upacara ini dalam semua
kebudayaan di dunia dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga. Orang Mee pun
menyelenggarakan upacara-upacara yang dilakukan berhubung dengan kehamilan,
kelahiran bayi, perkawinan, dan kematian. Seperti dalam banyak kebudayaan suku bangsa di
dunia, masa hamil dalam masyarakat Mee juga dianggap sebagai masa krisis.
Karena itu keluarga yang bersangkutan harus hidup hati-hati dan menaati
berbagai pantangan makan, pantangan jasmaniah, pantangan rohaniah. Pada saat
seorang wanita akan melahirkan, ia diasingkan ke suatu rumah yang terpisah.
Proses kelahiran biasanya ditanggani oleh ibunya sendiri, atau oleh ibu
mertuanya, dengan bantuan seorang dukun dari keturunan Mote Umagopa. Beberapa
bulan setelah bayi lahir, diadakan upacara selamatan secara sederhana. Bayi
harus mendapatkan Fam ayahnya.
Kesenian
Masyarakat suku Mee memiliki beragam seni dan budaya :
1. seni rupa ( anak panah dan busur) 2. seni tari ( tarian susu dan tarian
koteka) 3. seni suara (14 jenis lagu seperti ; Gowai, Tupe, Wani, dll). 4. Seni Sastra
(cerita-cerita adat dan mitos). Pesta budaya dalam suku Mee yang terkenal
disebut Pesta Yuwo. Atribut adat suku
Mee adalah koteka , moge (cawat untuk perempuan), amapa kagamapa (penutup dada), toyaagiya
(noken anggrek), migabai (penutup
kepala yang ukuranya sampai di pinggang tulang belakang), yato (selimut adat untuk perempuan). [53]
Pengenalan
Suku Mee
Prinsip
Hidup Suku Mee
Masyarakat Suku Mee secara umum
mempunyai tiga prinsip hidup Yaitu : Dou
(melihat), Yuwii (dengar), Gai
(berpikir), Ekowai (bekerja). Keempat prinsip
inilah yang mendasari persiarahan hidupnya. Atas dasar ini pula Suku Mee selalu
berusaha memelihara keutuhan hidup melalui panca relasi : aku dengan Allah, aku
dengan Diriku, aku dengan sesama, aku dengan alam semesta, dan aku dengan
leluhur.
Relasi
Dengan Alam Semesta
Masyarakat suku Mee mimiliki ikatan
kuat dengan makro kosmos. Hal ini tidak terlepas dari pandangan masyarakat terhadap
makro kosmos itu sendiri. Masyarakat Mee memandang dan menyebut Tanah sebagai
MAMA dan hewan dan tumbuh-tumbuhan ataupun pepohonan dipandang sebagai SAHABAT.
Mereka ini adalah makluk hidup yang perlu dihargai karena diberi kenyamanan
bagi hidup kita.
Langit
dipandang sebagai tahta Allah (wadoMe)
dan bumi kediaman Mama (Miyome). Dalam relasi misalnya diperlihatkan bahwa
kalau masyarakat hendak melakukan perjalanan jauh, mereka pamitan kepada langit (epa) sebagai bapa dan tanah (maki)
sebagai mama agar perjalanannya selamat.
Suku
Mee percaya bahwa pribadi yang memperhatikan kaidah-kaidah dalam relasi dengan
alam akan mengalami keselamatan dalam hidup. Sementara bagi mereka yang tidak
menjaga relasi dengan alam akan menuai malapetaka.
Relasi
Dengan Leluhur
Masyarakat suku Mee relasi dengan
Leluhur merupakan salah satu unsur yang penting demi terciptanya kehidupan yang
harmonis. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk upacara-upacara adat, memelihara
wasiat-wasiat leluhur dan melaksanakan nilai-nilai hidup yang di wariskan oleh
mereka. Masyarakat suku Mee percaya bahwa para leluhur yang baik (roh), mereka
hidup di dunia ayauwouda/teneuwoda.
Mereka yang menjalankan relasi baik dengan leluhur ini akan mengalami enaatene
dan karena itu hidupnya menjadi baik. Sebaliknya mereka yang relasinya
buruk dengan leluhur akan mangalami peutene
dan dengan demikian hidupnya menjadi kurang baik. Untuk hal ini harus di
atasi dengan upacara perdamaian dan perhatian terhadap amanat yang mereka
sampaikan. Dan amat itu tentunya sesuatu yang postif dan menyelamatkan.[54]
Pendidikan
Pendidikan adat bagi suku Mee tidak
diatur secara formal dalam lembaga adat, melainkan ia berjalan sesuai dengan
kebiasaannya yang sudah ada. Dalam hidupnya keluarga mendapat tempat yang
sentral dalam pembentukan nilai-nilai dan norma-norma adat. Bagi anak laki-laki
dia akan mendapatkan pendidikan dari ayahnya melalui nasehat-nasehat,
keterlibatan dalam aktivitas sehari-hari, keterlibatan dalam aktivitas sosial,
dan terutama teladan hidup ayahnya. Disini tidak mengurangi pula peran ibu
dalam memperhatikan anaknya terutama pada usia pertumbuhan. Sedangkan anak
perempuan mendapatkan pendidikan dari ibunya melalui nasehat-nasehat,
keterlibatan dalam kegiatan sehari-hari, pembagian peran kerja, keterlibatan dalam
kegiatan sosial, dan terutama teladan yang ditunjukan oleh ibunya.
Perubahan
kebudayaan
Karena
letak pemukimannya yang terapit oleh deretan-deretan pegunungan yang tinggi dan
lembah-lembah pegunungan yang dalam, maupun oleh sungai-sungai yang mengalir
deras penuh jeram-jeram, maka daerah tempat tinggal orang Mee juga penuh dengan
danau-danau besar-kecil dan rawa-rawa yang maha luas, di tenggah-tenggah hutan
rimba tropik yang padat. Maka tak mengherankan bahwa upaya eksplorasi daerah
itu baru terlaksana dalam tahun 1938, danau-danau itu di ekspedisi dibawah
pimpinan F,J, Wissel dua tahun sebelumnya. Baru sejak tahun 1938 itulah orang
Mee melihat orang yang berasal dari luar daerahnya, yaitu para penyiar agama
katolik Belanda.
Pengaruh perilaku dan cara berpikir
yang serba asing tentu telah menyebabkan berbagai benturan nilai budaya. Dalam
bidang agama, perubahan yang terjadi adalah bahwa masyarakat Mee sekarang telah
menjalankan syarat-syarat ibadah (Cara/aturan
ibadah yang benar /sah). Dan proses penyesuaian dengan nilai asli lambat-laun
terjadi juga.
Setelah Irian Jaya menjadi bagian dari
Republik Indonesia, orang Mee lebih banyak mengadakan kontak dengan dunia luar
di berbagai bidang. Orang Mee dan penduduk wilayah pantai ( Pantai Selatan
) pada umumnya kini memeluk agama
katolik dan agama kristen. Dengan pembangunan masyarakat desa, banyak kelompok
Mee yang semula masih hidup mengembara lambat-laun berubah dan tertarik untuk bermukim secara
menetap di dalam desa-desa. [55]
Paham
Tentang Kematian[56]
Paham tentang kematian
menurut orang Mee sejak sediakala dipahaminya sebagai suatu peralihan dari
dunia sementara yang biasanya di sebut dengan kedamakida menuju ke kehidupan abadi di dunia roh yang biasanya di
sebut dengan imoumi imoutou makiyo
(tempat abadi). Beradasarkan paham ini suku Mee berkayakinan adanya keselamatan
bagi orang yang hidupnya baik, maka bagi mereka kematian tidak perlu untuk
dikawatirkan. Keyakinan ini dipertegu
dengan penyampain pesan-pesan dari roh orang mati kepada orang yang hidup
setelah mengalami kematian. Sedangkan bagi mereka yang hidupnya tidak baik di
dunia kematian menjadi sesuatu yang menakutkan karena setelah mati rohnya akan
mengalami malapetaka di peuteneuwouda.
Roh yang demikian perlu adakan ritus perdamaian agar ia selamat serta keluarga
yang masih hidup tidak diganggu olehnya.
Jadi, bagi orang suku Mee dunia ini adalah tempat sementara (kedaamaki) dan dunia penentuan (enama peuma witokaida) untuk kekekalan
hidup di dunia roh.
Paham
Tentang Keselamatan[57]
Keselamaatan yang
diperjuangkan oleh suku Mee adalah keselamatan kini dan keselamatan kelak.
Paham tentang keselamatan ini dihayatinya dalam dua kata yang saling
berhubungan yaitu Ayii dan Mobu. Kata ayii diistilahkan dengan selamat baik di dunia maupun di surga.
Lalu, istilah kata mobu mengandung
pengertian puas, kenyang, tidak mengalami kesusahan baik di dunia maupun kelak.
Menurut orang Mee ayii dan mobu bukan sesuatu yang datang dengan
sendiri melainkan harus diperoleh melalui usaha dan perjuangan manusia. Karena
itu, orang Mee pada umumnya orang yang suka bekerja keras. Bagi orang Mee hidup
ini tidak boleh santai-santai, malas-malas, dan masa bodoh dengan tugas dan
kewajiban-kewajiban karena hidup demikian akan membuat orang menjadi
daba-dabamee (orang yang/miskin
kerdil). Hidup harus dijalaninya dengan
serius menjalankan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban agar ia menjadi tonawimee, sehingga ayii dan mobu bisa
diperoleh baik di dunia ketika ia masih hidup maupun di
akhirat setelah beralih ke dunia kekal tempat roh-roh berkumpul. Akhirnya,
masyarakat suku Mee menyadari bahwa Allah (Ugata-Me)
adalah sumber kehidupan (umi tou ipuwe-Me). Ugatame
yang secara gratis memberi kehidupan maka hidup ini tidak boleh disia-siakan.
Maka segala sesuatu harus dihadapinya atas dasar IPA (Kasih), MAAGAI (Iman),
TEDEMAI (Bertobat) dan DIODOU (pantang dan puasa) dalam rangka mencapai AYII
dan MOBU itu
Penutup
Kesimpulan
Secara keseluruhan makalah
menyangkut suku yang berada di Papua terutama yang diteliti atau ditelusuri oleh
saya yakni suku Mee “Manusia Sejati” yang berada di Pedalaman Papua. Saya
menyadari bahwa dengan menyusun makalah ini dapat membantu wawasan saya
sejauh mana yang bisa dapat dipahami oleh pribadi saya sendiri. Untuk
menyususun makalah ini, sebisa mungkin
menimba informasi entah itu lewat pustaka ataupun melalui wawancara bersama
narasumber yang dapat dipercaya dan diuji kebenarannya.
Ketika menyusun tulisan
mengenai Suku Mee, saya melihat adanya perubahan yang lumayan banyak dilalui
atau dijalani oleh manusia Mee dari tahun 1938 sampai masa kini. Dan dengan
proses penyesuaian itulah manusia Mee dapat berkembang dengan sungguh-sungguh
dari waktu-ke waktu.
Inti yang hendak digali dalam tulisan
mengenai manusia Mee yakni, etnografi
yang jelas dan real untuk saman sekarang. Hal lainnya yakni, proses penyesuaian
diri manusia Mee yang luar biasa terhadap perkembangan dunia pada saman ini
atua lebih dikenal dengan budaya milenium abad 21.
Saran
Saran
yang hendak di kemukakan oleh saya yaitu:
Pertama,
kalau bisa suku-suku yang hendak ditelusuri oleh mahasiswa harus memiliki
sumber yang cukup.
Kedua, mahasiswa harus bekerja keras untuk mencari
sumber entah itu harus mengeluarkan dana dan energi untuk tugas seperti ini.
Apa
yang ditulis oleh kelompok suku Mee, ini merupakan gambaran singkat yang
ditulis secara tematis. Hal-hal yang tidak ditulis dan dijelaskan dalam
pembahasan ini merupakan PR (pekerjaan rumah) kita masing-masing untuk
mempelajarinya secara lebih lanjut sesuai dengan cara kita masing-masing. IDEE
UMINA (TERIMA KASIH
BANYAK),… KOYA, KOHA, AMANAI!
BAGAIMANA MENGHARGAI
BUDAYA SETEMPAT
TIDAK MENJELEKkAN
BUDAYA ORANG LAIN.
Menyadari
bahwa budaya orang lain pun memiliki nilai-nilai luhur sebagai
bagian dari kekayaan Indonesia dan anugerah Tuhan.
bagian dari kekayaan Indonesia dan anugerah Tuhan.
3. Menanamkan
sikap mencintai, menghormati, dan bangga akan budaya sendiri.
TUGAS MAKALAH ANTROPOLOGI PAPUA
Herman Yoseph Betu
Tingkat II
STFT “Fajar Timur”
Pengenalan Bersama
Suku MEE Papua
Daftar Isi
Nama dan bahasa
Nama
Bahasa
Pengenalan Letak Geografis
Lokasi
Sistem Mata Pencaharian Tradisional
Organisasi Sosial
Perkawinan
Keluarga Inti dan Rumah tangga
Pemimpin Masyarakat
Religi
Sistem kepercayaan Kepada Allah
Upacara-upacara Daur Hidup
Kesenian
Pengenalan Suku Mee
Prinsip Hidup suku Mee
Relasi dengan Alam Semesta
Relasi dengan Para Leluhur
Pendidikan
Perubahan Kebudayaan
Paham Tentang kematian
Paham Tentang Keselamatan
Penutup
Kesimpulan
Saran
kejadian
tidak akan terjadi sama kedua kalinya
Ringkasan Antropologi Budaya Indonesia
Bab I.
Beberapa Pengertian Umum
Antropologi
Budaya Indonesia
Pada
pokok ini ada tiga hal yang dibahas, yaitu; Antropologi, Kebudayaan dan
Indonesia.
Istilah
Antropologi berasal dari bahasa Yunani; Antropos (manusia) dan logos (akal,
ilmu). Jadi Antropologi itu artinya ilmu tentang manusia. Tetapi ada banyak
ilmu lain yang juga mengkaji tentang manusia, namun Antopologi berbeda dengan
ilmu lain, menyangkut metodenya; yakni perbandingan satu etnis dengan etnis
lain dan juga deskriptif.
Hal
lain selain antropologi adalah budaya. Banyak definisi mengenai budaya, namun
definsi itu berbeda pada penekanannya. Ada yang melihatnya sebagai kebiasaan,
adat-istiadat, keyakinan, perilaku. Definisi mereka bertolak dari cara pandang
tertentu. Misalanya ada yang mengerti
sebagai perilaku spesifik manusiawi
(proses belajar), ada yang melihatnya sebagai tingkah laku manusia sebagai
anggota kelompok dan ada yang melihatnya
sebagai satu kompleks masalah.
Indonesia
merupakan nama yang diberikan oleh orang luar kepada kepulauan Nusantara. Tahun
1850 bernama Indu-nesians/Malaya-nesians bagi penduduk
Indian-Archipelago/Malayan-Archipelago (Earl, Inggris). Lorgan lebin menyukai
nama Indonesia, karena sejalan dengan kepulaun Pasifik: Polinesia, Melanesia,
Mikronesia. Bentuk definitif dari Bastian adalah Indonesia. Arti lain lagi
bahwa Indonesia merujuk pada penduduk negara Hindia-Belanda. Penduduk pulau ini
dari Asia, yang menduduki benua Asia dan Australia.
Bentuk-Bentuk
Kebudayaan Dan Pembentukan Kebudayaan
Ada
beberapa faktor pembentuk kebudayaan: pertama adalah limgkingan geografis,
antara pantai dan pengunungan/pedalaman, daerah yang berbatu dan yang berlimpah
kayu. Kedua adalah faktor onduk bangsa juga turut berpengaruh, migarn yang
masuk dalam satu kelompok bangsa (negroid, orang Minicopi, dan orang Topiro di
Irian dan orang Weddid). Ketiga adalah faktor salig kontak dengan berbagai
kebudayaan. Kontak memungkinkan pertahanan dan pengembangan. Perdangangan
memungkinkan kontak kebudayaan terjadi.
Pertumbuhan
Menuju Kebudayaan Baru
Antropologi
budaya sebelumnya disebut etnologi. Ilmu ini mempelajari bangsa-bangsa lain
diluar Eropa. Hal ini menjadi keuntungan bagi bangasa barat demi tujuan praktis
dan jelas menjadi politik kolonial, dimana mereka mempunyai pengetahuan tentang
bangsa-bangsa jajahan. Antropologi juga sangat penting bagi zending dan
missionaris. Dalam kontak antar budaya, ada hal-hal yang dipertahankan dan juga
ada yang dikembangkan sesuai dengan frame of reference setempat. Sehubungan
dengan kontak itu ada dua pengertian. Pertama: keduanya dibiarkan hidup
berdampingan dengan pengandaian bahwa yang lemah akan hilang sendiri
(Assimilasi). Dan yang kedua adalah bahwa dimana yang lebih akan mengambil
beberapa elemen dari budaya yang lebih kuat (akkulturasi). Ada orang yang
karena pengaruh pendidikan akan bertindak secara ke barat-baratan.
Zaman
Pre-historis dan zaman historis Indonesia
Kepulauan
Indonesia terbentuk sejak zaman glausal wum. Daratan asia dulu dikenal dengan
sunda, benua Asia-Autralia lebih. Hujan tidak merata disegala tempat. Tanah
yang paling subur adalah tanah vulkan mudah yang dikeklilingi gunugn berapi.
Di
Indonesia ditemukan 3 fosil manusia purba di,
lembah bengawan Solo, Pithecantropus Errectus, hidup dalam kelompok
kecil, berburu (alatnya pemukul dan gumpalan batu yang diperjam, gua dekat
Peking) dan meramu. Homo Soloensis, ia berevolusi menjadi manusia (menyerupai
penduduk pribumi Australia). Sisa fosil ditemukan di distrik Wajak den diberi
nama Wajakensis.
Persebaran
bangsa-bangsa
Persebaran
bangsa-bangsa dengan ciri-ciri Austro Melanesoid, Homo Wajakensis tersebar ke
arah timur dan barat mencapai Irian. Mereka berburu dan meramu di Irian dan
menduduki kepualauan melanesia. Mereka mampu membangun perahu bercadik, gemar
lukis (Seram, Kei, Flores Barat dan Timor barat) . Yang membedakan orang Wajak
sebelah barat dan Timur adalah kapak batu genggam lonjong, mereka gemar makan binatang kerang.
Ada pun pengearuh ciri-ciri Mongoloid. Ciri-ciri ini akibat percampuran antara
manusia Mongoloid dengan Autro-Melanosoid. Sulawesi selatan dapat dipandang
sebagai daerah pertemuan antara budaya Austro-Melanosoid dan Paleo-Mongoloid.
Hal yang menyolok dari kelompok ini adalam mereka belum tahu bertani.
Penyebaran
bangsa-bangsa pembawa kebudayaan neolitik. Mereka sudah mengenal bercocok
tanam. Pertaniaannya ekstensif dan lat yang digunakan adalah kapak batu dan
cangkul batu. Dari Cina selatan mereka tersebar ke bagian barat Laut, juga
budaya maritim. Mereka tembus sampai di Taiwan, Filipina, sulawesi Utara,
Halmahera dan Maluku Selatan dengan perahu bercadik. Rekontruksi penyebaran
berdasarkan kapak lonjong yang juga terdapati di Irian Jaya, yang dikenal oleh
orang Irian dari orang proto-Austronesia di Halmahera. Kelompok lain lagi
datang dari Asia Tenggara tetapi masuk dari arah Barat. Mereka berciri fisik
Mongoloid, bahasanya proto-Mongoloid dan disebut Austronesia. Mereka menggunakan
kapak kecil dan besar (vierkantbeil). Mereka berasal dari Cina selatan dan
berimigrasi ke semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan Barat, Nusa
Tenggara sampai ke Flores, Sulawesi lalu ke Filipina. Mereka tidak pernah
sampai ke bagian Timur Indonesia.
Pengaruh
corak-corak Kebudayaan dalam abad-abad Histori
Ada
beberapa pengaruh. Pertama pengaruh kebudayaan Hindu. Bukti dari pengaruh ini
adalah batu-batu bertulis di Indonesi seperti antara lain di Jawa Barat,
Jakarta, Kalimantan. Selain itu pengarunya juga pada penggolongan masyarakat,
dimana raja dipandang sebagai keturunan dewa, yang bersifat keramat di yang
merupakan puncak dari alam semesta . pengaruh yang ke dau adalah pengaruh Islam
yang dibawa masuk oleh pedagang-pedangan Parsi dan Gujarat. Islam mengandung
unsur mistik. Tokoh penyebarnya adalah Narudin Araniri di Sumatera dan Sjech
Siti Jenah di jawa. Pengaruh agama ini, lahirlah pesantren-pesantren, para
santri yang taat menjalankan syariah islam. Selain itu lahirlah wali-wali/
penyiar agama islam di jawa. Pengaruh ke tiga adalah pengaruh dari kebudayaan
Eropa. Pengaruh itu dimulai sejak masuknya orang Portugal yang memulai dangan
usaha perdagangan dan penyebaran agama Kristen. Setelah itu hadir pula
bangsa-bangsa barat lainya, Inggris, Belanda dengan VOCnya. Pengaruh Eropa
menciptakan lapisan-lapisan sosial. Kaum buruh, kaum pengawai dan para elit
pedangan/penguasa (orang Tionghoa dan Keturunannya. Mereka sangat mengabaikan
pendidikan sehinggga banyak yang tidak tahu menulis dan membaca.
Bab Kedua
Kepribadian Indonesia
Masyarakat
barat dan bukan barat
Ada
beberapa perbedaan antara masyarakat barat dan bukan barat. Pertama, masyarakat
bukan barat umumnya tergantung pada alam. Mereka hidup dari makanan ang
dikumpulkan dari alam, tidak menguasai teknik. Mereka disebut ‘naturvolk’
manusia alam. Kedua, masyarakat bukan barat mempunyai truktur yang sederhana
dalam tingkat pembagian tugas, paling-paling amtara pria dan wanita saja,
sedangkan barat ada pembagian tugas dan sangat fungsionaris. Ketiga, pada
masyarakat ukan barat kelompok kecil mendpat arti. Kekerabatan atau tempat
tinggal yang sama memainkan peran penting. Sedangkan masyarakat barat tidakalah
dmikian, banyak aspek meiliki aspek mondial. Keempat adalah arti dari
tulisan.pada masyarakat bukan barat, tidak menganl tulisan atau tanpa tulisan.
Sedangkan pada masyarakat barat modern tulisan begitu penting sehingga dikenal.
Selain
perbedaan masyarakat barat dan bukan barat, masyarakat Indonesia dibagi menjadi
enam tipe, yakni: pertama, masyarakat berdasakan sistem berkebun yang amat
sederhana, ubi, keladi, berburu dan meramu menjadi teman hidupnya. Kedua,
masyarakat pedsesaan berdasarkan bercocok tanam di ladang atau di sawah dengan
padi sebagai tanaman utama. Masayarakat ini bigai menjadi dua, bagian atas
(halus dan beradab dekat kota) dan bagian bawah (agak kasar di pedesaan).
Ketiga adalah tipe masyarakat pedesaan bercocok tanam di ladan atau di sawah
dengan padi sebagai tanaman pokoknya. Ada sedikit stratifikasi sosial, ada
pengaruh dari islam dan kolonial. Keempat adalah tipe masyarakat pedesaan
bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya. Stratifikasinya
agak kompleks, ini ada pengaruh islam dan kolonial. Kelima adalah tipe
masyarakat kekotaan yang mempunyai ciri-ciri pusat pemerintahan dengan sektor
perdangangan dan industri yang lemah. Yang terakhir adalah tipe masyarakat
metropolitan yang mulai mengembangkan sektor perdengangan dan industri yang
agak berarti, ada sektor kepegawaian, dan kesibukan politik di tingkat daerah maupun
nasional.
Empat
Tipe masyarakat
Sebelum
masuk pada itu perlu kita ketahui kepribadian. Para ahli melihatnya melalui
unsur-unsurnya. Pertama adalah pengetahuan, dimana unsur yang mengisi akal jiwa
manusia secara sadar terkandung dalam otaknya. Ia menggunakan pancainderanya
melalui pengalaman individualnya. Dari pengalaman ia mempruyeksikannya menjadi
suatu persepsi. Ia menggambar objek itu secara abstrak dan menjadi sebuah
konsep. Kadang yang dikonsepkan tidak sesuai dengan pengalaman sehingga itu menjadi
fantasi. Kedua adalah perasaan; selain pengetahuan alam kesadarannya mengandung
perasaan, ketika melihat atau mencium, ia membangun persepsi atasnya dan itu
sangat subjektif, entah itu negatif atau positif, yang baisanya menimbulkan
kehendak dan wujudnya adalah keinginanan. Dan keinginan keras untuk mendapat
keinginan disebut emosi. Ketiga adalah dorongan naluri; ada tujuh macam naluri
yaitu, naluri untuk hidup, sex, makan, bergaul, meniru tingkah laku, berbakti
dan ketujuh adalah dorongan akan keindahan.
Aneka
kepribadian dibagi menjadi 3 yaitu: kepribadian individu; setiap individu itu
unik dengan yang lain, karena ia dengan aneka pengetahuan, kehendak, perasaan,
keinginan kepribadian serta perbedaan kualitas hubungan individu. Kepribadian
umum; Antropologi juga mempelajari tingkah laku yang menjadi pola dari sebagian
earga masyarakt yang diatur dalam adt-istiadat. Tingkah laku itu menjadi pola
yang berkaitan satu sama lain, yang biasanya disebut sistem sosial. Metode yang
dikembangkan adalah deskripsi. Yang lain berdasarkan pendirian psikologi bahwa
ciri-ciri watak seseorang individu sebenarnya sudah diletakan ke dalam jiwa
seorang anak sangat awal, yaitu pada waktu ia masih anak-anak. Lingkungan
terdekat juga mempengaruhinya, pola-pola adat, norma-norma dan cara pengsuhan
anak. Ketiga adalah kepribadian barat dan timur; kepribadian barat adalah
materialis, pikiran logis, hubungan berdasarkan asas guna dan individualitas.
Sedangkan timur; mengutaman rohani, mistik, pre-logis, keramah-tamahan dan
kolektifitas.
Pola
Hidup Kaum Peramu
Pola
hidp masyarakatat ini tergantung pada alam. Alam menyediakan dan mereka hanya
ambil apa yang disediakan oleh alam. Pola itu berdampak pada pemahaman mereka
tentang alam semesta. Mereka merasa diri kecil, tidak berdaya terhadap alam
yang maha dasyat tersebut. Mereka memandang dirinya sebagai oknum yang berada
dengan, ia hidup bersama wujud-wujud yang lain dan tidak mempertentangkan
dirinya dengan yang lain. sikap ini memotivasi dia untuk merebut bagiannya, harus
memperjuangkannya, memetik, meangkap dan mengumpulkannya. Ia mencoba dari
pengalamannya.
Bagi
kaum peramu sosial berarti perlu-tidak-saling membunuh. Kesadaran akan
pentingnya hidup dan kerja sama didasarkan pada kekerabatan, perkawinan ataupun
persahabatan. Rasa hormat terhadap anggota kelompok tidak didasarkan pada
generasi, umur atau jenis kelamin, melainkan dari prestasi yang bersangkutan
(berani atau kaya). Sumbangan bagi masyarakat umum menjadi ukuran. Memang ada
peraturan tetapi pilihan jodoh diatur oleh yang berskuasa. Sesudah pernikahan
suami istri memili sendiri tempat domisili sesuai harapan meeka. Resiprositas
mencirikhaskan pola pergaulan orang peramu.
Masyarakat
peramu merupakan manusia pragmatis yang memiliki pola berpikir analitis. Mereka
peka terhadap untung rugi. Masyarakat peramu melihat jiwa dan badan merupakan
satu kesatuan, suatu dwitunggal. Segala sesuatu bersifat rohani-jasmani
sekaligus, karena ia bisa berpikir, merasa dan mau. Bagi masyarakat peramu
sikap hormat pada matahari dan bulan yang mewakili kekuasaan tertinggi atau
terhadap bumu sebagai rekaan (ibu bumi) dan pengalaman rasa bersalah bila orang
tidak mentaati undang-undang besar hidup ini karena itu harus menerima hukuman.
Unsur-unsur
masyarakat peramu ini terintegarasi dalam mentalitas masyarakat Indonesia.
Seperti dunia dipandang sebagi milik. Sikap tolong menolong dan kolektifitasnya
tinggi. Sikap konsumtif menwarnai kehidupan, ia juga bersikap sintesis baik itu
kaum pelajar maupun tidak, dimana profan dan yang rohani itu tidak ada bedanya.
Mereka hampir tidak membedahkannya.
Kelompok Petani Ladang
Kelompok
masyarakat petani ladang biasanya tinggal menetap. Mereka tidak
berpindah-pindah tempat. Tempat tinggal mereka dekat dengan ladang pertanian.
Sehingga memudahkan mereka menjangkaunya. Mereka sangat produktif. Hidup mereka
terikat pada kelompoknya. Ketika pemerintah dan agama masuk, orang-orang dari
tempat lain berdatangan, otonomi asali mereka muali menghilang. Mereka mulai
hidup membaur dengan masyarakat lainnya.
Pandangan
Terhadap Alam Semesta
Hutan
dan rawa-rawa (mikro dan makro) lebih luasa dari dunia yang mereka kenal. Alam
semesta itu hidup dan menghidupi. Ia mempengaruhi seluruh kehidupan mereka.
Sehingga dalam hal-hal tertentu; misalnya pembuakaan lahan ladang baru, diawali
dengan ritual-ritual kepada alam. Begitu pula saat panen tiba, mereka
mempersembahakan sebagaian hasil ladang mereka kepada alam semesta yang
diyakini hidup.
Petani
ladang menciptakan dunianya. Mereka merasa nyaman dunia ciptaan mereka tersebut.
Bagi mereka kerja sangatlah berarti. Hasil dari pekerjaan itu biasanya
dinikmati bersama. Mereka juga sangat mempertahankan tradisi-tradisi. Ketika
orang luar masuk dan mengajari hal baru, mereka akan tetap pada pendiriannya
mempertahankan tradisi. Misalnya: berkebun, menanam petatas dengan tidak
memakai para-para. Ketika ada yang datang dan mengajari hal baru, menanam
petatas dengan daunnya digantung pada para-para, mereka akan menolak itu. Bagi
mereka pengalaman adalah guru terbaik.
Pandangan
Terhadap orang-orang lain/ sesama
Bagi
mereka sesama itu lebih luas. Baik itu sesama manusia, alam ciptaan. Mikro dan
makro kosmos membentuk satu keluarga besar. Kepentingan itu lebih tinggi
nilainya. Apalagi menyangkut persoalan-persoalan dalam kehidupan. Perkawinan
membuat mereka membentuk satu lingkaran partner yang lebih besar. Tetapi
dalamnya, masyarakat ada yang dibagi dalam paruh-paruh/moiety-moiety yang tidak
boleh dilanggar dalam urusan perkawinan. Misalnya; wita-waya di Wamena. Wita
tidak dapat kawin dengan wita, bagitu pula waya dengan waya. Wita harus
mengambil partner hidupnya dari waya. Begitu pula sebaliknya waya mengambil
partner hidupnya dari wita.
Prinsip
kekerabatan yang biasanya mereka bangun dalan kehidupan adalah genealogis.
Artinya kekerabatan berdasarkan hubungan keluarga sedarah atau seketurunan.
Juga ada prinsip pemilikan tanah secara bersama-sama. Artinya satu marga
mempunyai tanah di tempat-tempat tertentu. Dalam urusan kawin-mawin, mas kawin
menjadi syarat utama. Mas kawin menjadi semacam prinsip resiprositas. Dalam hal
ini Marcel Mauss Berkata “tidak ada sesuatu yang diberikan secara Cuma-Cuma, Do
Ut Des).
Sifat-Sifat
Dasar dan Ciri-Ciri Petani Ladang
Para
petani ladang umumnya juga mempunyai sifat manusiawi dasar. Sifat-sifat itu
juga dihidupi dalam warna-warni kehidupan. Dalam kehidupan terkadang mereka
tidak menerima ide-ide baru. Masih mempertahankan tradisi-tradisi lama. Ini
memperlihatkan bagaiman mereka mempertahankan identitas diri mereka. Sebagai
petani ladang, menunggu hasil panen membutuhkan kesabaran. Mereka membula lahan
baru, menanam, merawat, menyiangi dan memanennya. Pekerjaan itu membentuk
karakter mereka. Mereka umumnya masyarakat yang sabar. Karakter mereka dibentuk
dari pekerjaan itu. Dalam kehidupan bermasyarakat, bagi mereka perantara adalah
hal yang terpenting. Perantara itu di bidang rohani dan bidang-bidang lain.
Selain itu perempuan adalah harta yang berharga, dalam menjalin hugungan
kekerabatan. Perempuan dilihat memberikan manfaat, memberi kehidupan, memberi
keturunan dan juga mendatangkan harta. Paham akan perempuan ini juga
dihubungkan dengan alam, tanah yang memberi mereka makan.
Letak
daerah atau keadaan geografis mempengaruhi manusia. Letak geografis, mata
pencarian sangat berpengaruh besar dalam membentuk tipe-tipe atau karakter
orang. Seorang petani ladang dengan lahan yang subur akan berbeda dengang
petani ladang yang daerahnya tandus. Orang yang tinggal di daerah pegunungan
akan sangat berbeda karakternya dengan yang tingal di daerah pesisir pantai.
Seorang petani ladang yang demi menjaga kelangsungan hidupnya harus membanting
tulang, akan sangat berbaeda karakternya dengan masyarakat peramu yang hanya
memetik hasil dari alam tanpa menanamnya.
Perubahan
mata pencarian saat ini sangat membentuk karakter seseorang. Akan berbeda jika
membandingkan anak seorang petani dan PNS, pejabat pemerintahan. Seorang bapak
yang membanting tulang untuk biaya sekolah anaknya akan berbeda dengan karakter
anak yang membiayai sekolah dari dirnya atau hasil usahanya sendiri. Perbedaan
akan karakter seseorang tidak terlepas dari, keadaan geografis, mata pencarian,
dan latar belakang pendidikan dan keluarganya.
Petani
Sawah
Petani
sawa pada umumnya mempunyai sifat silider. Sifat ini menyebabkan mereka
memelihara, menjaga, merawat sawah mereka-hal ini kurang ada pada masyarakat
peramu. Pada masyarakat ini keharmonisan sangat dijaga. Mereka juga menjaga
ketenangan batin. Keharmonisan dan ketenangan diperoleh di tempat mereka
berada. Fisik, kedudukan dalam masyarakat sangat mendapat respek dalam
masyarakat ini. Misalnya dalam masyarakat Jawa; bahasa Jawa orang tua disapa
dengan sebutan romo. Keharmonisan dan
respek sangat penting bagi mereka, sehingga tidak heran jika pada saat lebaran
banyak orang pulang kampung untuk bersilahturami. Bagi masyarakat Jawa hubungan
ketetanggaan sangat penting. Nrimo adalah
hal yang sangat dijunjung dalam kehidupan bermasyarakat. Pertentangan, konflik
merupakan suatu perjuangan untuk mencapai ketenangan batin. Dalam hal
penyelesaian suatu permasalahan atau menyampaikan emosi, tidak boleh bicara
dengan keras dan kasar. Semestinya itu disampaikan secara halus sehingga orang
dapat menerimanya.
Pandangan
Tentang Semesta
Hal
yang bermain peranan penting bagi masyarakat ini adalah irigasi. Ini membuat
individu tetap tinggal pada sebidang tanah miliknya. Ia mengolah tanahnya
secara menetap. Dengan cara hidup seperti itu mereka menjadi manusia yang ulet.
Manusia yang ulet itu tidak bisa melakukan sesuatu sendiri, ia membutuhkan
orang lain untuk mengalirkan irigasi pada sawahnya. Sehingga dengan demikian
lingkungan itu menciptakan manusia. Bagi mereka tetangga amatlah penting.
Sehingga dalam kehidupan mereka membangun hubungan yang baik dengan
tetangga-tetangganya. Disamping itu juga hubungan genealogi sangatlah penting.
Tempat mereka tinggal merupakan sentrum dan feri-feri. Mereka ada dalam kosmos,
dan itu menuntut mereka untuk saling menjaga. Hal ini menimbulkan masyarakat
feodal. Berada di luar tata kemasyaraktan itu, berarti berada di tempat yang tidak
aman. Mereka aman dalam tempatnya. Hal tersebut menimbulkan rasa kedekatan pada
lingkungan.
Bagi
mereka tempat tinggal dan sawah begitu penting. Mereka membangun relasi dengan
orang-orang yang ada di sekitar. Mereka bisa bekerja sama, namun itu dilandasi
oleh orang-orang yang punya tempat tinggal yang sama, dan tujuan yang
sama.-bukan berdasarkan relasi ipar, keluarga, kerabat. Kebersamaan sifatnya
fungsional.
Pandangan
Tentang Sesama
Kekerabatan
bersifat unilateral-bilateral,
matrilineal cross crousingg artinya bahwa; perkawinan dilakukan berdasarkan
garis keturunan ibu (ibu punya saudara punya anak)-hal ini menyebabkan sering
terjadi perceraian. Bagi mereka kekerabatan tidak begitu penting sehingga
kadang relasi begitu renggang. Dalam hal pendidikan anak, secara memaksa tanpa
paksaan. Mereka menanamkan rasa malu pada anak. Misalnya, menyalami dengan
tangan kiri tidak diperbolehkan, itu dinggap tidak sopan. Hal itu membuat sikap
respek terhadap orang tua dan sesama. Mereka selalu nrimo.
Pandangan
Tentang Alam Baka
Mereka
sangat menekan hal-hal fisik sebagai penentu akan adanya hal-hal rohani,
ketenangan batin. Bagi mereka hal-hal fisik merupakan sarana mencapai
ketenangan batin. Mereka akan berada di dekat yang Ilahi. Kemolesan,
kecantikan, kegantengan merupakan hal yang dapat mendekatkan mereka pada yang
Ilahi.
Bali
Orang
Bali sangat menghormati Sang Yang Kudus. Ia hadir sebagai Trimurti[58].
Mereka percaya kepada dewa/i dan alam semesta yang menyimpan roh-roh. Mereka
menaruh rasa hormat terhadap alam semesta. Ajaran orang Bali ini termaktub
dalam kitab Veda. Ada hal yang unik
di Bali. Pada setiap perkampungan ada pura-pura. Dalam pura itu tersimpan
tulisan-tulisan tentang tata perkampungan. Rasa hormat kepada Yang Kudus
diungkapkan melalui ritus-ritus penyembahan, upacara-upacara kurban. Mereka
sangat memegang erat tradisi ini. Walaupun mereka berkontak dengan budaya lain.
Nilai-nilai tradisional tetap mereka hayati. Penghayatan itu juga diwujudkan
dalam rumah-rumah. Setiap rumah ada kuilnya, tempat menghormati dewa/i, roh-roh leluhur yang telah mati. Hal ini
menandakan bahwa penghayatan religius mereka sangat tinggi. Satu hal yang
menarik juga bahwa budaya kremasi[59]
mereka anut.
Jawa
Ada
tiga beberapa paham yang dianut oleh masyarakat Jawa; Kejawen[60],
Priyayi[61],
Islam. Dalam tradisi Jawa mereka biasanya merayakan slametan. Ada juga upacara-upacara untuk mengundang roh-roh
arwah-arwah nenek moyang mereka atau orang yang telah meninggal. Mereka
mengundang tetangga-tetangga. Tujuan dari itu adalah untuk mencari kedamaian,
ketenangan batin. Mereka juga kuat dengan budaya keraton Jawa.Agama-agama lain
seperti Hindu dan Budha masuk ke Jawa, namun itu disaring. Agama-agama itu
tidak murni. Artinya bahwa Jawa dengan Frame
Of Referencenya menyaring semuannya itu. Ajaran-ajaran yang cocok diterima,
diambil dan dijadikan bagian dari agama mereka. Mereka mempunyai satu kerinduan
untuk bersatu dengan yang Ilahi.
Banyak
hal kita mengambil alih-Misalnya, jabatan tangan dalam budaya Jawa, cium
tangan. Paling menonjol adalah priayi.
Sekarang dipersonifikasi dengan pegawai, yang menjadi model pemimpin. Kita juga
mengambil cara berpolitik di era demokrasi ini seperti Top Down Policy; politik dari atas ke bawa/kebijakan bukan dari
bawa tetapi dari atas. Ini melahirkan paradigma pembangunan yang mengarah pada
modernisasi dan kapitalistis yang sangat menekankan modal dan penguasaan ilmu
pengetahuan. Mereka yang mempunyai modal dan pengetahuanlah yang berkuasa atas
alat-alat produksi. Misalnya, PT. FREEPORT, masyarakat yang tidak mempunyai IP
tersingkir, tanah mereka dibeli oleh para kapitalis/pemilik modal.
Masyarakat
Pesisir
Pada
abad 14-18 perdagangan rempah-rempah begitu marak di Indonesia. Disamping itu
sambil berdagang agama juga disebarkan. Agama Islam menjadi agama populer.
Bugis, Buton Makasar (BBM) menggiatkan perdagangan. Mereka berlayar kemana saja
dituju.
Masyarakat
ini mempunyai pandangan terhadap alam. Bagi mereka alam adalah sumber daya yang
bisa digarap. Tujuan dari garapan itu adalah diperdagangkan. Hasil garapan itu
ditukar dengan uang. Hal itu membuat mereka sangat ulet. Mereka mengadakan
mobilisasi. Bergerak dari tempat yang satu ke tempat lain. Mereka mencari
kemana saja. Tetapi dengan maksud yang jelas untuk kebutuhan mereka. Hal ini
memperlihatkan persaingan yang amat sangat tinggi. Persaingan untuk mendapatkan
kewibawaan, harta benda dan lain sebagainya.
Perkawinan
mereka bersifat endogamy[62],
ditentukan oleh orang tua. Kadang dikalangan mereka terjadi kawin lari.
Perempuan sangat agresif. Pada umumnya perceraian terjadi karena tidak ada
anak. Kalau ada poligami bisa terjadi perang. Mereka juga mudah tersinggung dan
jika berhadapan dengan orang-orang yang sama karakter dengan mereka bisa
terjadi perang/konflik.
Bab Tiga
Indonesia Modern
Modernisasi
pola-pola hidup Indonesia
Modrnisasi
berkembang malaui dua jalur, yakni; jalur perubahan zaman dan jalur ketahanan
diri. Orang menghadapi masalah dan encari solusi, amatir atau profesional,
tanpa perencanaan dan dengan perencanaan. Amatir insider emosional dan
profesional outsider netral. Pola pikir ini dipraktekan oleh kaum peramu dan
petani, namun lebih amatir. Sebaliknya modern menggunakan pola pikir analitis
untuk mengubah dunianya.
Modernisasi
dalam pola hidup kaum peramu bertolak dari beberapa suku di Irian jaya. Dunia
modern masuk, pemerintahan kolonial dan kerasulan agama. Pemerintah
mengusahakan keamanan sedangkan misi mewatakan ajaran kristiani. Mulai
didirikan sentra-sentra; sekolah, kantor dan gereja. Hadirnya mereka merubah
mentalitas masyarakt peramu, kini mulai produktif, pemerintahan mulai berubah,
ada kepala desa, rumah-rumah kini mulai di tata. Penghormatan kepada wujud
tertiggi mulai hilang diganti dengan agama. Mereka mulai tercabut dari latar
belakang kehidupan bebas. Pandangan hidup mereka mulai diganti dengan pandangan
baru, jaran-ajaran baru mulai mempengaruhi pola pikir mereka.
[5]Tekege Fransiskus, Pembunuhan Habel oleh Kain dan relevansinya dengan Pembunuhan Koyeidaba
oleh para leluhur mitis suku Mee, Makalah, STFT”FT” 2006. Hal. 30-31.
[12] Tekege Fransiskus, Pembunuhan Habel oleh Kain dan relevansinya dengan Pembunuhan Koyeidaba
oleh para leluhur mitis suku Mee, Makalah, STFT”FT” 2006. Hal. 32-34.
[17] Drs. Yobee, Andreas, M. Hum. Struktur Cerita Rakyat dalam Kehidupan
Masyarakat suku Mee Papua. Arga
puji Mataram Lombok, 2006, hal. 264.
[34]Kudiai, Pieter
Viktor, Religi Suku Mee, Skripsi Sarjana
Mudah, Universitas Cendrawasih Jayapura, 1978
hal 5
[35]Magda Pigome, Majala suara Fajar Timur Mitos
Koyeidaba berkristologi dalam Konteks budaya Jayapura April 1969hal 1-3
[36]Bunai Yosep, Aji
dan Mobu Skripsi: Keselamatan Inisial dan Kekal Menurut Pemahaman orang Mee,STFT”FT”
Jayapura 200 hal 1-2
[37] Alua Agus, Gambaran makluk ideal
dalam Mitos-mitos Irian
sebelum dan sesudah
bertemu dengan kristus
Karya tulis Ilmiah hal 3
[40] Alua A
Agus, Mitos-mitos irian makluk
ideal sesudah dan sebelum
bertemu dengan Kristus
[41] Magda
pigome berkristologi dalam konteks budaya
[42] Paulus Talentino Edoway, T,
Inkulturasi Liturgi Perkawinan Dalam
Upacara Perkawinan Adat Suku Mee, (Jayapuara, STFT “Fajar Timur”, 1999),
Hal
[43] Bdk., Koentjaraningrat dkk, Irian Jaya membangun masyarakat
majemuk., ( Djambatan 1992), hal 245.
[44] Ibid.,
[45] Ibid., 246.
[46] Hasil wawancara bersama saudara Rinto Dumatubun asal keuskupan
Timika, di wisma Tiga Raja, tgl 22-09-2011.
[47] Koentjaraningrat dkk., Op
cit., hal 247-248.
[48] Aprianus Iyai., Makalah Mengenai Perkawinan suku Mee,
jayapura 2008.
[49] Bdk., Koentjaraningrat., Ibid.,
hal.248.
[50] Ibid., hal. 249.
[51] Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote asal keuskupan Timika,
bertempat di wisma Tiga Raja, tgl 15-09-2011.
[52] Koentjaraningrat dkk., Op
Cit., hal. 251.
[53] Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote asal keuskupan Timika,
bertempat di wisma Tiga Raja, tgl 15-09-2011.
[54]Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote asal keuskupan Timika,
bertempat di wisma Tiga Raja, tgl 16-09-2011.
[55] Koentjaraningrat dkk., Op
Cit., hal.252.
[56] Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote, bertempat di wisma Tiga
Raja, pada tgl,16-09- 2011.
[57] Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote, bertempat di wisma Tiga
Raja, pada tgl,16-09-2011.
[58] Tiga Dewa, KBBI, Gita
Media Press, hal. 769
[59] Pengabuan mayat
[60] Segala yang berhubungan
dengan adat dan kepercayaan Jawa
[61] Orang yang termasuk dalam
kelas terhormat (golongan menengah ke atas)
[62] M.Dahlan Yacub Al-barry, Adat
atau prinsip perkawinan yang mengharuskan anggota dalam suatu masyarakat atau
kelompok untuk mencari mencari jodoh dalam kelompok, kasta, golongan, puak dan
sebagainya sendiri, Kamus Sosiologi Antropolgi, , Yogyakarta, Medio 2000.
hal. 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar