Minggu, 01 Oktober 2017

SPRITUAL OWAADA






OLEH : MAIKEL GOBAI
Spiritualitas Owaada

LATAR BELAKANG
Kita mau berbicara mengenai Spiritualitas Owaada. Tetapi apakah ‘Owaada’ itu? Apakah ‘Owaada’ itu sesuatu yang kelihatan, ataukah tidak kelihatan dan ada karena diupayakan atau ada dengan sendirinya? Dari manakah lahir atau datangnya Spiritualitas Owaada? Dengan cara manakah Spiritualitas Owaada tersebut lahir? Kapan dan di manakah Spiritualitas Owaada itu lahir? Siapakah yang melahirkannya? Siapakah tokoh utama dari Spiritualitas Owaada? Apakah Spiritualitas Owaada itu masih ada dan terpelihara sampai dengan saat ini? Bagaimana orang memelihara Spiritualitas Owaada tersebut? Apakah Spiritualitas ini dipelihara oleh semua keluarga dan merupakan kewajiban? Jikalau dipelihara oleh semua keluarga, mengapa dipelihara? Apakah maksud-tujuan keluarga-keluarga memelihara Spiritualitas Owaada? Apakah hakikat inti sari dari Spiritualitas Owaada? Bagaimana Spiritualitas Owaada dihayati dan diamalkan oleh keluarga-keluarga? Bagaimana keluarga-keluarga menghayati dan mengamalkannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini ada di latar belakang dan ada bersama Spiritualitas Owaada. Tanpa pertanyaan-pertanyaan ini, tiada pula Spiritualitas Owaada. Tanpa pertanyaan-pertanyaan ini, Spiritualitas Owaada tidak mempunyai eksistensinya. Spiritualitas Owaada ada, mengada dan menjadi Spiritualitas Owaada atas dasar dan kebersatuan dengan pertanyaan-pertanyaan itu. itulah sebabnya dalam tulisan berikut ini, yang mau dikaji dan diulas, dipikirkan dan direnungkan ialah menyangkut isi yang terkandung di dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jadi hasil refleksi yang mendalam atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang mau dicoba untuk dikemukakan dan disajikan dalam tulisan berikut ini.

DI MANAKAH TEMPAT LAHIRNYA SPIRITUALITAS OWAADA?
Menurut ceritera para orang tua, Spiritualitas Owaada itu telah ada bersamaan dengan adanya ‘Leluhur Orang Mee’, ada terus mengikuti ke mana mereka pergi dan di mana mereka tinggal semenjak dahulu kala. Jadi Spiritualitas Owaada ada dan hidup bersama dengan adanya dan hidupnya orang Mee, entah di mana dan kapan pun.
Namun menurut para orang tua pula, Spiritualitas Owaada itu betul-betul diikrarkan sebagai suatu Spiritual dengan telah terjadinya peristiwa agung Koyeidabe di Idakebo, di Lembah Kamuu (sekarang menjadi ibukota Distrik Ikrar).

KAPAN SPIRITUALITAS OWAADA LAHIR?
Spiritualitas Owaada ada bersamaan dengan adanya leluhur orang Mee dan ada terus bersama adanya orang Mee. Menurut ceritera para orang-orang tua, pertumbuhan dan perkembangan Spiritualitas Owaada dalam lintasan sejarah kehidupan orang Mee dapat dibedakan ke dalam dua era atau pun tendensi, yaitu Spiritualitas Owaada sebelum peristiwa Koyeidaba dan sesudahnya. Terakhir dikatakan bahwa kedatangan dan masuknya Injil di Paniai di antara orang-orang Mee ketika orang Mee sedang berada dalam situasi sedang menghayati dan mengamalkan kehidupannya dan berpusat pada Spiritualitas Owaada; dengan Touye Manaa sebagai Sabda-sabda tentang kehidupan dan Owaada sebagai Tabernakel Makanan-Minuman Kehidupan!


TOKOH SPIRITUALITAS OWAADA

Tokoh Spiritualitas Owaada adalah Koyeidaba, yaitu Sang Koyei yang kecil, jelek penampakannya, miskin kekayaannya, namun bersahaja hidupnya. Ketika Ia hidup, Ia berjalan dari kampung ke kampung melakukan banyak perbuatan ajaib dan mengajarkan Touye Manaa, yaitu suatu ajaran mengenai hidup yang selalu terjaga dan terbangun tanpa tidur. Singkatnya, ajaran kehidupan.
Ketika Koyeidaba masih hidup, sesungguhnya Ia tidak pernah mengatakan dan mengajarkan bahwa Ia akan mengadakan, melahirkan atau pun menciptakan suatu Spiritualitas yang bernama Spiritualitas Owaada. Sebaliknya yang Ia ajarkan ialah hanya mengenai Touye Manaa. Spiritualitas Owaada itu, muncul di kemudian hari setelah kematian Koyeidaba, di antara orang-orang Mee dalam perjalanan perkembangan kehidupannya.

PERISTIWA KEMATIAN KOYEIDABA
Peristiwa sekitar kematian Koyeidaba, diceriterakan oleh Dr. Benny Giay dalam buku Zakheus Pakage and His Communities, sebagai berikut:

Koyeidaba’s Settlement in Idakebo
After choosing Idakebo as his dwelling place, Koyeidaba started his activities. Idakebo or Makewapa is also the places where the leaders of the Wege Manaa of the Kamu Valley grew up and live to day. Idakebo is a holy place because it is the place which Koyeidaba chose to live and carried out his activities. It is generally believed that Koyeidaba will return to this place to judge the world.

Miraculous Work of Koyeidaba
He performed many extraordinary things such as: creating food just by rubbing his hand and other parts of his body when the people were in critical times of hunger. He fed the people who came in search of food. The people from the whole region flocked to Idakebo and followed him to wherever he went. Others say, Koyeidaba also healed the sick.


The Killing of Koyeidaba in Odiyaidimi
Not all people admired Koyeidaba. There were people who were jealous, seeing him having no difficulty in obtaining food and having many followers. Those who were jealous formed a plot and finally killed him.

The People Who Participated in the Killing
Some of the Mee clan names today were given after the role they played in the killing of Koyeidaba

Agapa
From ‘aagai’ which means to spit; the one split up his body.
Goo
From ‘gou’ which means to drag; he who dragged him (Koyeidaba) out the house to the place where he has killed.
Dou
From ‘dou’ which means to see; the one who saw where Koyeidaba was before he was killed.
Pigai
From ‘pigai’ which means to slice; the one who participated in the killing by cutting up his fingers.
Tebai
From ‘teba’ which means to palm; the one who cut Koyeidaba’s hand and feet into pierces.
Mote
From ‘motii’ which means to take; the one who betrayed Koyeidaba by taking a bribe and hand over Koyeidaba to the plotters who was after Koyeidaba.

Koyeidaba’s Last Words Before His Death
Before breathing his last breath, Koyeidaba said his last words:


Pituwo ko pituwouda,
Waguwo ko waguwouda,
Wado akadoo tai tage.

We will meet each other or
I will return
After seven or eight generations!


These last words of Koyeidaba are viewed as a revelation of an even which will take place in the near future; and therefore Koyeidaba is expected to return to Idakebo or the Paniai region. The people argue that when he returns he will punish those who had prevented him from carrying on his activities by killing them. Furthermore, he will judge all mankind regardless of their cultural or religions background and inaugurate a new era. The last words of Koyeidaba are believed to be taking place in the near future. This is based on the assumption that the words of dying men and women is a revelation of the spirit regarding the destiny of those who are present when such words are pronounced. Dying men’s words such as these are believed to be unfolding future events for those who are present. Koyeidaba’s words before his death are taken as a prediction of the future not only for one single individual or family, clan or tribe, but for the whole mankind!

HAL-HAL YANG TERJADI SETELAH KEMATIAN KOYEIDABA
Setelah Koyeidaba meninggal, menghembuskan nafasnya yang terakhir, telah terjadi banyak peristiwa, kejadian dan perihal. Beberapa di antaranya diceriterakan oleh Dr. Benny Giay sebagai berikut:

Koyeidaba Sisters
Koyeidaba had two sisters: Nooku and Jegaku. They were not at home when Koyeidaba was dragged away to the place where he was killed. Shortly after Koyeidaba’s killing, Nooku and Jegaku returned home. When they arrived in Odiyaidimi, a hill behind Idakebo, the two sisters heard the commotion and learned that their brother has been killed. As the began to wail, the people started to pursue them, to kill them too. Nooku and Jegaku fled. Jegaku went to eastern or northern direction (Siriwo). While her sister Nooku went to the southern or western direction. Nooku took along the ‘Touye Manaa’, the lost word or teaching, the lost knowledge about secret of prosperous life.

The Changes of Some Parts of Koyeidaba’s Body
Some parts of Koyeidaba’s body changes and became food which the Mee cultivate in their garden today:


Koyeidaba’s eyes
Became uguubo / digionaapa, an  edible green (Rungia klossii).
His ribs
Became kugou, bananas (Musa paradisiacal).
His shin
Became muuti, a special of sugar cane.
His lips
Became bemu, a special edible mushroom.
His brains
Became nomo, taro and … etc.

Koyeidaba’s Blood
The blood of Koyeidaba became a pool known as ‘emo peku’ – pool of blood. This pool was still there in Idakebo, but there is no more water in the pool since a big canal was made by the Catholics in the early 1970s to provide more land for the people of Kamuu valley for cultivation.


Koyeidaba’s Curse
Koyeidaba cursed the people and the land ‘gaaga kabu, didi kabu, bokaa kabu kou ma umitou tai’ – which means ‘you will live in sorrow, trouble, sickness and death’.

Koyeidaba Took Away the Real Food
Some say that after Koyeidaba’s killing, he took away the real food; he also changed the true ‘nomo’, taro (coloscasia) to ‘nomo kebaya’, wild taro – today grown in the swampy areas; and he changes the true eto, sugar cane (saccharum officinarium) became ‘pagimo’ – a wild grass that looks like sugar cane, etc.
When Koyeidaba died all kinds of food disappeared. Some say he took food with him, while others claim that the food the cultivated today in the Paniai region are not the real food, because the real food disappearsed after Koyeidaba was killed.

PROSES PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SPIRITUALITAS OWAADA
Setelah kematian Koyeidaba, bertalian dengan ceritera tentang jenis-jenis tumbuhan tanaman makanan terdapat dua versi. Versi pertama berceritera bahwa setelah Koyeidaba meninggal, Ia telah menghilangkan sejumlah jenis tumbuhan tanaman makanan dan yang lainnya diubah menjadi jenis-jenis tumbuhan yang mirip dengan tanaman makanan tetapi tidak dapat dimakan seperti tanaman ‘nomo’ atau ‘keladi’ diubah menjadi ‘nomo kebaya’ serta tanaman tebu ‘eto’, diubah menjadi ‘pagimo’.
Sementara itu, versi yang lain menceriterakan bahwa dari anggota-anggota tubuh Koyeidaba itu, telah berubah menjadi berbagai jenis tumbuhan tanaman makanan dan jenis-jenis tanaman makanan tersebut masih ada dan terus terpelihara sampai dengan saat sekarang.
Dengan cara atau jalan apakah dapat dibuktikan bahwa jenis-jenis tanaman makanan yang berasal dari anggota-anggota tubuh Koyeidaba itu betul-betul masih ada dan terus terpelihara sampai saat kini?
Konon menurut ceritera para orang tua-tua, setelah Koyeidaba meninggal, tubuhnya dipotong-potong lalu dibuang-buang secara sembarangan ke berbagai arah dan tempat. Tetapi beberapa waktu kemudian mereka melihat bahwa dari anggota-anggota tubuh itu bertumbuhlah berbagai jenis tumbuhan tanaman secara ajaib dan tiba-tiba, yang kemudian menjadi tanaman-tanaman makanan.
Peristiwa terjadinya perubahan anggota-anggota tubuh Koyeidaba menjadi tumbuhan tanaman makanan itu merupakan peristiwa sangat ajaib, luar biasa, penuh keanehan, amat menakjubkan dan sungguh-sungguh mengherankan. Namun demikian, yang kemudian amat lebih mengherankan lagi adalah:

Koyeidaba yang telah dibunuh, yang badanya dipotong-potong menjadi potongan yang kecil-kecil, yang kemudian dibuang-buang secara sembarangan ke segala tempat, yang selanjutnya berubah menjadi berbagai jenis tumbuh-tumbuhan tanaman makanan itu, secara sangat ajaib tersusun dan terbentuk kembali menjadi seorang manusia Koyeidaba yang bangkit dan hidup kembali dari kematian yang mengerikan dan tak terperikan itu. sesaat kemudian sebelum Koyeidaba meninggalkan mereka pergi, Ia berkata: Kamu akan hidup terus-menerus di dalam kesusahan dan penderitaan, kesakitan dan kematian sampai aku datang kembali di antara kamu. Sesudah berkata demikian, Koyeidaba meninggalkan mereka dengan sekejap mata secara ajaib dan misteri”.

Sementara itu, orang tua-tua yang lain berceritera bahwa sesaat sebelum Koyeidaba pergi menghilang secara ajaib, Koyeidaba berpesan kepada orang-orang yang berada di tempat itu agar mereka terus menjaga, memperhatikan dan memelihara semua jenis tanaman makanan yang telah bertumbuh secara ajaib dari anggota-anggota tubuhnya itu, karena Ia akan datang kembali melalui dan di dalam jenis-jenis tanaman makanan itu.
Selanjutnya, atas dasar pesan dan amanat inilah orang-orang Mee menanam, memelihara, memperhatikan dan terus menjaga jenis-jenis tanaman makanan itu (Tootaiyo) di dalam tempat khusus yang khados dan kudus ‘Owaada’ yang masih terus dihayati, diamini, diimani dan diamalkan dalam kehidupan...


HAKIKAT INTI SARI SPIRITUALITAS OWAADA
Hakikat inti sari Spiritualitas Owaada berpusat pada peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum menjelang, pada saat terjadi dan pula sesudah terjadinya ‘kematian dan kebangkitan Koyeidaba’.

Peristiwa-peristiwa Sebelum Kematian dan Kebangkitan
Beberapa peristiwa atau hal yang dinilai sebagai sangat penting sebelum kematian dan kebangkitan Koyeidaba ialah sebagai berikut:
Mukjizat pengadaan makanan oleh Koyeidaba, dari tangannya yang hampa, pada saat orang-orang mengalami rasa lapar di musim kelaparan sehingga banyak orang dapat memperoleh makanan dan datang dari berbagai kampung di sekitarnya untuk tujuan yang sama, yaitu mendapat bagian makanan.
Mukjizat penyembuhan yaitu mukjizat yang dilakukan oleh Koyeidaba untuk menyembuhkan orang-orang sakit.
Kata-kata terakhir yang disampaikan oleh Koyeidaba, yang merupakan kata-kata janji bahwa Ia akan datang kembali kelak nanti, yaitu setelah tujuh atau delapan generasi terlewati. Bermula sejak itu dan juga sampai dengan saat ini, karena kata-kata janji itu belum tergenapi, maka masih sedang ditunggu dan dinanti-nantikan penggenapannya.

Hal-hal Penting yang Terjadi Pada Saat Koyeidaba Dibunuh dan Mati
Berkaitan dengan ceritera tentang pembunuhan dan kematian Koyeidaba, kiranya sangat perlu untuk dicatat hal-hal sebagai berikut ini:
Perbuatan-perbuatan ajaib yang dilakukan oleh Koyeidaba. Menyaksikan keunggulan-keunggulan ini, ada kelompok orang yang iri hati terhadapnya. Kelompok orang ini kemudian membentuk satu komplotan yang berencana untuk membunuh Koyeidaba.
Untuk melaksanakan rencana pembunuhan itu, Koyeidaba dijadikan seolah-oleh sebagai benda sehingga ‘diperjualbelikan’, jadi ada yang bertindak sebagai penjual dan pula sebagai pembeli.
Setelah kontrak jual-beli dilakukan, ada yang ternyata ditugaskan untuk memata-matai keberadaan yang sesungguhnya dari Koyeidaba. Ia didapati sedang berada di sebuah rumah, di rumahnya sendiri.
Komplotan menerima laporan bahwa Koyeidaba sedang berada di rumah maka mereka pun mulai bergerak. Setibanya mereka di rumah, Koyeidaba diikat dengan tali. Ia ditarik-tarik sambil memukulnya hingga di tempat pembunuhan.
Ternyata, orang-orang yang akan membunuh Koyeidaba telah siap pula untuk melakukan tugasnya. Koyeidaba dibunuh, dipotong-potong anggota tubuhnya. Jari-jemari kaki dan tangan dilepas satu persatu dari kesatuannya. Juga kulit telapak kaki-tangannya dilepas dan dikupas-kupas. Tulang-tulangnya dipatahkan dan dihancur-hancurkan hingga menjadi kecil-kecil lalu dibuang-buang ke sana sini, ke mana-mana, ke segala arah.

Hal-hal penting yang Terjadi Sesudah Kematian
Koyeidaba telah dbunuh dan mati. Tubuhnya telah dipotong-potong dan tulangnya telah dipatah-patah lalu dihancur-hancur. Anggota-anggota tubuhnya yang sedemikian itu telah dibuang sembarang bagai sesuatu benda yang tak bernilai bahkan betul-betul yang sedikit pun tak bernilai dari antara semua barang atau segala sesuatu yang sedikit pun tak bernilai sama sekali. Itulah nasib yang telah ditentukan baginya, yang memang harus dialaminya dan sudah betul-betul dijalaninya tanpa sikap melawan, memberontak dan dendam kesumat, melainkan secara bebas dan berpasrah. Lalu, apakah yang telah terjadi setelah semua itu berlalu?
Pertama, dari anggota-anggota tubuhnya itu telah bertumbuh berbagai jenis tetumbuhan yang berguna bagi kehidupan manusia baik berupa tumbuhan tanaman yang dapat dimakan oleh manusia maupun yang tak dapat dimakan, yakni antara lain:

Biji mata
Menjadi sayur hijau, ‘uguubo’ atau ‘digio naapoo’.
Tulang rusuk
Menjadi pisang ‘kugou’, jenis pisang yang harus dibakar karena tidak dapat menjadi tua dan masak di pohon.
Tulang kering
Menjadi tebu ‘muuti’.
Sumsum otak
Menjadi beberapa jenis keladi, ‘toota nomo’.
Daging
Menjadi beberapa jenis petatas, ‘toota notaa’.
Air darah
Menjadi sayur lilin merah, ‘dege yatuu’, ‘dege idaya’ atau bayam merah, dan pohon Udee berwarna merah, ‘dege udee’ atau ‘daagu’.
Cairan tubuh
Menjadi sayur lilin putih, ‘nakuubo yatuu’, sayur bayam putih, ‘idaya’, dan pohon Udee hijau polos, ‘udee’.
Bibir
Menjadi bemu, tumbuhan spora (jamur) jenis putih yang dapat dimakan.
Lain-lain
Menjadi berbagai jenis tumbuhan lain.

Kedua, walaupun Koyeidaba telah dibunuh, dihancurkan, anggota tubuhnya dibuang-buang, lalu dari buangan dan injakan anggota-anggota tubuh itu telah menjadi berbagai jenis tumbuhan, setelah beberapa waktu berlalu Ia bangkit, hidup kembali seperti semual dan tampil memperlihatkan dirinya kepada orang-orang yang telah membunuhnya dan juga kepada orang-orang yang lain.
Ketiga, berita kebangkitan dan kehidupan kembali Koyeidaba itu kemudian diberitakan oleh orang ke mana-mana lalu menjadi tersiar di kalangan seluruh masyarakat etnik Mee di Paniai, di saat itu.

Keempat, dari kalangan orang-orang yang telah mendengan berita tentang kebangkitan dan kehidupan kembali Koyeidaba itu, kemudian datanglah mereka dari berbagai kampung di sekitarnya untuk membuktikan kebenarannya dengan jalan melihat dengan mata kepala sendiri.
Kelima, kemudian kepada semua orang yang datang dari berbagai kampung dan yang ada di tempat itu, Koyeidaba mengatakan kata-kata terakhirnya sebagai berikut:


Kou doogaa iyootumaido kou ko,
Anii tine-puneido.
Okai kou iyoo tumaido kou,
Epi munee – epi doutoo tai,
Epeepi eda kabageida awiiyake,
Diyo doo wadoo tai!
Koai kou ko,
Anii kidi touda,
Anii kidi uwi-yawi itaa!
Kou kodo,
Umi-woya, tou-woya!


Semua jenis tumbuhan yang kamu baru lihat ini adalah
bagian dari anggota-anggota tubuhku.
Dari semua jenis tumbuhan ini,
perhatikan dan peliharalah
dengan sebaik-baiknya
di dalam suatu batasan yang khusus
dan jagalah kesucian-kekudusannya!
Semua ini adalah
Tempat aku mengada dan hidup,
jalan Aku datang-pergi
untuk selama-lamanya!

Setelah Koyeidaba menyampaikan kalimat pesan itu, Ia meneruskan perkataannya sebagai berikut:



Ikeepa, Anii manaa umina kiteega.
Okai kou, manaido kou diyo dou!

Diyo tedoo wadoo tiipa ko,
didii kabu – gaagaa kabu,
wane kabu – bunita kabu,
duwa-duwa kabu – bokaa kabu ma, ume-wado too wado taitaa!


Kepada kamu, saya telah menyampaikan banyak kata.
Akan semua hal-hal itu, kamu hendaklah memelihara kesucian!
Kalau kamu tidak menjaga kesucian,
kesakitan dan kesusahan,
kebodohan dan kegelapan,
kekurangan dan kematian
akan menyertai kehidupanmu terus-menerus selama-lamanya!

Selanjutnya, Koyeidaba mengatakan banyak pesan yang lain pula. Lalu sebagai kata pesan terakhir, Koyeidaba berjanji demikian:



Kii kabu – kou kabu nako,
kabu gake-gake ko,
pituwo ko, pituwouda
waguwo ko, waguwouda
woo akadoo, wado akadoo taitaage!

Bilamana dihitung-hitung era,
Era-era ini dan era-era itu
Satu era tujuh kali tujuh kali atau
Satu era delapan kali delapan kali,
Kita akan saling melihat dan bertemu
Atau
Saya akan datang kembali untuk ‘melihat kamu dengan mataku’

Keenam, setelah Koyeidaba menyampaikan pesan-pesan dan janji-janjinya itu, Ia pergi menghilang dengan sekejab, entah ke mana, meninggalkan semua orang yang dengan asyik dan tertegun, dalam aneka campuran perasaan, mendengarkan perkataan-perkataannya itu.
Ketujuh, setelah meninggalkan mereka pergi, semua orang pulang kembali ke rumah dan kampung mereka masing-masing sambil menceriterakan segala sesuatu yang mereka lihat, dengar dan alami dari seluruh ‘peristiwa’ yang berkaitan, entah langsung maupun tidak langsung, dengan Sang Koyeidaba tersebut.
Kedelapan, berita dan ceritera-ceritera tentang ‘peristiwa Koyeidaba’ kemudian tersiar hingga ke seluruh pelosok kampung di mana masyarakat Mee tinggal dan hidup, yakni di antara kampung Makataka di ujung timur dan di kampung Kegata di ujung barat.
Kesembilan, inilah ‘inti sari isi Spiritualitas Owaada’ yang berawal-mula sejak saat itu dan yang telah berlangsung sepanjang lintasan sejarah suku bangsa Mee yang telah dihayati dan diamalkan dalam ketenangan-kesunyian-keterpencilan dan ketertutupannya, yang juga pada saat ini ‘terang cahayanya’ masih bersinar di tengah dunia yang tidak selalu rela terhadap terbitnya keakraban persaudaraan sejati anak-anak manusia se-bapak Penyayang manusia.
    


ARTI  KOHEIDABA  / KESELAMATAN  MENURUT  SUKU  MEE
Pribadi   Koheidaba
Setiap orang senantiasa  dilahirkan  melalui  rahim ibu  sebagai  tanda ungkapan  cinta manusia suami  istri di tengah  sebuah keluarga. Bayi tersebut  dirawat [1] dibesarkan  dalam  keluarga, maka ia bergantung penuh  pada keluarga. Ia  pun membutukan bantuan  dari  orang lain  untuk  hidup  dalam  pertumbuha-Nya.
 Akan  tetapi  Koyeidaba  dilahirkan  amat unik  dengan  manusia  yang  lain  dalam konteks  kelahiran orang bayi. Bila dibandingkan dengan bayi-bayi  lainya, Koheidaba  bukan di lahirkan seperti seorang bayi manusia dari kandungan mamanya, melainkan  ia muncul melalui” air kencing berwarna merah dari mamanya Kibiwo” ia dirawat dibesarkan dalam keluarga yang miskin perkembangan semakin hari semakin besar dalam hidup, baik itu  hidup  keluarga  maupun hidup bermasyarakat. Pribadi  Koheidaba yang  nyata  dilihat  oleh seorang  tokoh membuat  mujizat berupa memperoduksikan makanan. Hal itu juga ia seorang yang agung-agungkan oleh suku Mee, dimana ia  menunjukan keselamatan dan kemampuan pada dirinya  sebagai  penyelamat  suku  Mee. Oleh  karena  itu  pada bagian  pertama ini  kami beberkan identitas, yakni asal usul dan bagaimana perananya dalam hidup  bermasyarakat.[2]
Arti kata   Koheidaba
          Koyei”adalah nama singkat dari Koheidaba. Sebuah nama orang tua angkatnya. Artinya nama Koheidaba adalah manusia yang berbadan kecil, mulus, tetap sehat, sedangkan makna sendirinya:”Manusia yang tidak terpandang dalam masyarakat”.Pada awal  Koyeidaba sesungguh-Nya” “Ahahoka”. Makna yang  tersirat dalam Aha hoka adalah  anak  banyangan, anak  roh  yang  diberikan ayah Yokaa.
          Dikatakan ahahoka karena muncullah kehadiran Koyei tanpa dilahirkan seperti  manusia pada umumnya, dan akan, diciptakan, oleh Allah. Kehadiran Tuhan  lewat air  kemih darah  Ibu Kibiwo  dalam  masyarakat  suku  Mee.[3]
Pemberian nama kedua yaitu Koyeidaba akibat tidak makan, tidak minum selama enam bulan, tetapi badanya tetap sehat dan merupakan nama kebanggaan  ahah hoka artinya  anak roh. Penyebutan tokoh cerita Kohei bisa disapa  secara  singkat yaitu”Kohei”, seperti judul diatas. Maka penulis  tetap meyapa Kohei, karena dia bukan  tidemee, artiya  dia bukan orang bisa atau tidak  terpandang, justru  kehadiran-Nya dalam  keluarga  Kibiwo  yang  miskin, sebagai  pembawa  keselamatan.
Sebelum  cerita Kohei terbentuk, setiap marga Suku Mee belum ada, yang hanyalah  nama diri seseorang, Makituma, Wodapatuma, Jinatuma Mogotuma. Suku“Mee”, pada saat menjelang pembunuhan, sesudah terbentuk marga-marga suku Mee sesuai dengan sikap perilaku masing-masing orang. Selain pembentukan marga lain marga itu, dalam kehidupan Suku Mee sebelum cerita Kohei, banyak yang di tantang  hidup  Kohei. Misalnya  kelaparan  yang  dasyat, ekonomi  lemah  Relasi  kurang  antara alam dan manusia. Kehidupan mereka tertutup ketika mereka bunuh kohei muncullah  makanan dan marga-marga yang ada sekitar itu untuk memperolehnya. Ketika mereka memperoleh keselamatan  maksud  mereka  tidak mengenal dunia luar  atau suku  bangsa lain, sebab anggapan Suku Mee terhadap suku bangsa lain adalah bukan manusia biasa, tetapi sama dengan makluk halus. Buktinya: sewaktu penyebar Agama Khatolik mulai memasuk di daerah Wisel meren diterima oleh Bapak  Auki  Tekege di Kokonao,  sehingga mereka mulai memasuki  daerah Wisel Meren. Penyebarkan Agama pertama Pater Tillemans asal Belanda, dan dua orang guru Andreas Maturbongs  Ingnasius Materay Asal Key (Maluku) ketiga mereka hanpir dibunuh. Anggapan  mereka  bertinga  adalah  makluk  halus  yang  bisanya  hidup di dalam air  sebab  mereka  berbadan putih. [4]
Makanan mereka selama mereka penyebaran Agama di Wisel Meren adalah makanan asli yang diproduksikan oleh Kohei di daerah itu, makanan pokok mereka selama  penyebaran gereja di Wisel Meren pertama, Kadakega, artinya (petatas) Muti artinya (Tebu) “Digiho Napo”atinya (Sayur hitam) Mege, artinya (Kulit Kerang / Kulit bia) Ekina, artinya (Babi) dan makanan lain. Cerita itu sangat sakral, Kesadaran akan hadirnya Kohei, sebagai  pembahwa keselamatan bagi suku Mee. Sehingga sekarang suku Mee memperoleh keselamatan  dalam  hidup  ahii artinya  hidup  kekal. [5]
Asa Usul  Koyeidaba
Pada zaman itu di kampung  Pugomoma  hidup sebuah  keluarga  miskin  yang  terdiri  dari ada tiga  orang, yakni, hagetoko dan Kibiwo. Adalah  bapa  keluarga), Kibiwo adalah mama keluarga), serta anak-anak Neneidaba, Nouku, hageku. Mereka  hidup  serba  susah dalam hal memperoleh makanan sehari-hari, karena  pada  saat  itu terjadi musibah, kelaparan yang dasyat, maka terpaksa  mereka  makan  tanah, dan tempat itu di sebut Maki notaida. Kondisi seperti ini tidak selamanya sehingga secara nyata, tetapi waktu itu akan ada  perubahan secara besar-besaran  melalui  keluarga  itu dengan kehadiran  makluk  ideal  yang  bernama” Koyeidaba”.
 Kronologi  muncullah  Koyeidaba: pada sore  hari  menjelang  malam, ibu Kibiwo mesara buang  air  di pnggir  rumah. Setelah  terdengar air  kencing  berwarna  merah yang tidak merasa apa-apa Kibiwo, masuk  ke  rumah  karena  malam. Ketika  seluruh anggota keluarga  dan  tentangga  yang berada  dalam  rumah  itu  tidak  seorang pun  yang berjalan-jalan bertemu. Beberapa saat kemudia terdengarlah suara darimana datangnya tangisan seorang bayi  ternayata terdenagar tagisan orang  bayi di sekitara rumah  mereka. Kibiwo  dan suami cepat  keluar  dari  arah di amana  Kibiwo buang air  kencin.
Sebelum angkat anak bayi, diselidiki baik-baik dirumah tentangga dan kampung terdekat, jangan sampai ada keluarga yang membaung-Nya. Tetapi  tidak ada yang  mengakui  kehilangan  seorang anak satupun. Oleh karena  itu  bukan  dari  keluarga  yang  lain, maka  suami-Nya menemai  dia eniya yoka berarti  anak setan dia  aya yokaa yang berarti  anak  roh” artinya Koyeidaba dilahirkan  secara ajaib dia anggap namanya  yokaa, di beri nama anak  roh”. Anak  roh dalam  bahasa suku Mee  berarti  aya yokaa, karena  itu  pemberian  nama aya  yokaa.  Pada  diri  Kibiwo tidak  ada tanda-tanda  khusus hanya  saja Kibiwo membuang air kecil berwarna sedangkan ayahnya memberi nama eniya yokaa, sebab sebelum dia  hadir  di tengah-tengah  keluarga  menunjukan  tanda-tanda  bagi  keluarga-Nya. Maka ayahnya ingin membunuh, mengagkat lalu meyelamatkan. Keluarga  menyebut dia  sebagai anak  amoye artinya anak  bungsu. Koyei  dalam bahasa Mee terdiri dari dua kosa kata yakni Koyei sendiri Daba sendiri berarti orang kecil orang  miskin orang sederhana, kata dabaa  tidak terbatas pada sebutan miskin dan  memperhatikan hidup  orang lain. Dia tidak  mementingkan diri  sendiri karena ia muncul secara nyata. [6]

Peranan  Koyeidaba  dalam Keluarga dan  masyarakat
Koyeidaba semakin hari berpengaruh dalam kehidupan keluarga maupun dalam hidup masyarakat. Ia mengembangkan diri sebagai seorang fugur yang mampu “memproduksikan makanan” masyarakat suku Mee. Semua orang supaya  harapan untuk  perwujudan  itu  hidup teratur, aman damai, rukun  tenteram, melalui  karya  keselamatan  dalam  hidup  sosial yang  lebih akfit. Yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Tiga hal pokok dari pribadi Koyeidaba selama masih hidup bersama masyarakat yakni: Pribadi Koyeidaba, Produksi  makanan, dan tokoh  pemikir  ulung  pembaharuan dan memperoleh keselamatan norma-norma adat-istiadat, dan nilai sosial sebagai ajaran-Nya. Keempat hal ini menjadi pokok pembahasan maka dasar bagi kehidupan suku Mee, Koyeidaba memperkenalkan diri  sebagai  tokoh  dalam  adat  suku  Mee.[7]
Isi  Cerita
Disebuah kampung daerah suku Mee hiduplah satu keluarga yang  miskin. Ibunya  bernama Kibiwo sedangkan anak-anaknya masing-masing bernama Neneidaba, Nookuu, dan yegaku. Pada zaman itu terjadilah kelaparan  yang  sangat  besar  di daerah  itu. Pada  suatu kali  Kibiwo  buang air kencing dipinggir rumah yang berwarna merah. Kemudian dia masuk kedalam rumah. Ketika seluruh anggota keluarga Kibiwo ada didalam rumah, terdengar tangisan seorang anak kecil diluar. Karena itu Kibiwa  suaminya  keluar  dari  rumah untuk melihat datangnya tangisan itu dari mana dan dari siapa. Setelah mereka keluar ternyata tangisan itu datang dari arah dimana Kibiwo kencing. Melihat hal itu mereka  mendekatinya, ternyata  ada  seorang bayi laki-laki. Mereka mengira  anak  itu  dibuang  dari tetangga dan setelah diselidiki ternyata tidak ada yang  membuang   merasa kehilangan seorang anak kecilpun. Karena itu suami dari Kibiwo melarang dan memeluknya untuk menyelamatkan. Kemudian  keluarga itu mengangkat  anak sebagai anak mereka. Suami  dari Kibiwo member  nama AYA YOKA (artinya anak setan atau  anak roh). Anak itu selama enam bulan tidak makan dan minum. Pada bulan yang keenam AYA YOKA buang kotoran yang besar yang keluar adalah  sejumlah makanan dan minuman. Hal ini di ketahui  oleh  mama  dan  saudara-saudara lain. Karena  itu ayahnya memberi nama KOYEIDABA. Alasan pemberian nama KOYEIDABA karena ialah yang membawah keselamatan bagi keluarga itu sehingga keluarga itu bebas dari kemiskinan. Berita  tentang KOYEIDABA semakin  terbesar  dalam  masyarakat. Setelah beberapa  lama ayah dan mama dari keluarga itu meninggal. Oleh karena mama dan bapa dari keluarga itu meninggal, maka segala keluarga diatur dan ditangani oleh KOYEIDABA. Mulai saat itu KOYEIDABA banyak memproduksi  makanan  dan barang-barang seperti  kulit  kerang (mege). Pada suatu saat ia memproduksi  dua  ekor  babi. Mereka  tinggal  terkurung  dalam rumah yang  dipagari. Sepanjang  hari KOYEIDABA tinggal di rumah dan diproduksi makana barang yang lain. Pada suatu saat Yegaku mengintip dia  lalu  menyebarkan  berita  kepada  dua  saudara lain. Akhirnya  berita  itu  tersebar  luas dalam  masyarakat.[8]
Pada waktu itu keluarga KOYEIDABA hidup berkelimpahan  sedangkan orang  lain  sedang  dalam kelaparan  besar. Karena itu KOYEIDABA mulai dicurigai orang  bahwa ialah yang merampas semua bahan makanan untuk keluarganya. Karena orang bersepakat  membunuhnya. Pada saat itu keluarga Neneidaba , Nookuu diperintahkan oleh KOYEIDABA pergi mengambil Touye Kapogeiye artinya buku kehidupan (Touye kapogeiye sekarang dipandang sama dengan Kitab Suci) di tempat yang jahu. Waktu mereka pergi tiba-tiba rumah mereka dikepung, oleh  KOYEIDABA  melarikan  diri  kesuatu bukit namun orang berhasil memanahnya membunuh di tempat itu. Sebelum menghembuskan nafas yang  terakhir  KOYEIDABA berkat:
Saya  meu  memberikan  kamu  makanan  dan  kekayaan  namun  kamu tidak  mengerti saya dan kamu membunuhku karena itu sekarang berusahalah  dengan  susah  payah.
Peliharalah dua  ekor  babi  itu baik-baik.
Akan tetapi  sejumlah orang kembali kerumah KOYEIDABA untuk membunuh kedua ekor babi. Mereka mengambil kedua ekor babi  memotongnya  bersama-sama  dengan  mayat  KOYEIDABA. Lalu dimasak kecuali bagian kepala dari KOYEIDABA dan  babi. Sementara itu Neneidaba dan Nookuu pulang dengan membawa Touye Kapogeiye artinya buku kehidupan. Dari kejahuan terdengar tangisan yageku. Setelah sampai di rumah mereka dikampung oleh masyarakat. Neneidaba lari ke arah Barat melalui suatu lorong goa. Sedangkan Nookuu dengan Touye  Kapogeiya melarikan diri kearah Timur. Namun di tengah jalan  ia  berhasil  menyerahkan  diri  ke Barat  dengan  syarat di panah ia berteriak “saya tinggalkan segala hal yang tidak baik” (tookabu toogookabu  kiyayaikaine). Walaupun ia dipanah namun ia tidak panah  meninggalkan  segala kekayaan, kemudian ia  melarikan  diri  ke arah Mapia. Versi  ceritera  ini  mengatakan ia masuk  ke  dalam  gua  lalu  tembus ke dunia lain. Orang-orang mengejar dari arah Barat, Timur kembali ke tempat pemotongan  KOYEIDABA. [9]
Kepala  KOYEIDABA dan  perut  babi  menutupi  lobang  bagian Timur  kepala  babi  yang satunya dengan perut koyeidaba menutupi lobang goa di sebelah Barat. Setelah itu orang-orang  membunuh KOYEIDABA pulang  kerumah dengan sorak sorai (yuuwaita).
Maksud  mereka  membunuh KOYEIDABA untuk mengambil dan memiliki rahasia kekuatan-Nya demi kepentingan mereka karena jantungnya diperiksa lebih dahulu untuk menyelidiki apakah jantungnya berbeda dengan jantung yang mormal. Setelah di periksa  ternyata jantungnya  normal. Pada  siang hari  terjadi kegelapan dan malam harinya  terjadi gempa bumi yang dasyat. Dulunya situasi aman namun sejak  itu situasi menjadi kacau  penuh  dengan peperangan, kematian dan penderitaan.
Pada waktu KOYEIDABA hidup ia punya rahasia. Benda rahasia itu ia tinggalkan dalam bentuk bungkisan, pada masa itu orang berusaha mencari bungkusan dalam aliran utoumana, bahkan Misionaris Belanda datang membahwa Gereja di Wisel Meren untuk  menyelamatkan  umatnya.
Neneidaba dan  nookuu akhirnya mereka menerima, dan menyerahkan kepada  orang-orang Belanda tentang  buku kehidupan (Touye Kapogeiye) sehingga  mereka  mengetahui  rahasianya sehingga mereka lebih maju dari pada kita. Tetapi Touye kapogeiye  yang mereka dapat itu (orang Belanda) terima hanya lembaran kecilnya saja sedangkan buku aslinya masih  tersembunyi  disekitar  itu. Karena  itulah  orang  Belanda  mencarinya.
 Keselamatan dalam budaya suku Mee dapat kami rumuskan di bawah ini secara kontras. Keselamatan itu sendiri tidak terjadinya kelaparan, peperangan, kemiskinaan, penderitaan.Sedangkan kesengsaraan berarti terjadinya kekacauan, peperangan, kemiskinaan, penderitaan, hidup dalam ketidakamanan, dalam ketidak tertiban, ketidakdamaian, ketidatenangan, permusuhan (perang suku) kelaparan. Seperti yang telah dikatakan pada sejarah bahwa pada waktu itu KOYEIDABA masih  hidup  ia  menghasilkan benda-benda seperti makanan, babi, mege (kulit kerang sebagai uang), dan lain-lain. Ia punya rencana  untuk membebaskan mereka dari situasi kesengsaraan, namun mereka terlanjur membunuh dia. Ia juga meniggalkan babi unntuk dipelihara oleh mereka namun hal itu tidak dilaksanakan. Setelah KOYEIDABA meninggal terjadilah kesengsaraan. Karena itu mereka  mendambahkan keselamatan  pada masa  sekarang. Keselamatan itu nanti akan di bawah oleh KOYEIDABA.[10]
Kegiatan itu dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya (dalam aliran Utoumana)  dengan  mempertahankan  benda-benda asli seperti petatas (kadakaga), babi  dan  beberapa jenis makanan lainya. Sebab menurut mareka semua jenis makanan lain hilang kecuali makanan yang ada  pada  waktu  KOYEIDABA masih hidup (makanan asli). Kemudian juga manjaga keberhasilan, hidup ketenangan, hidup berkelompok, saling membantu, tidak membuat keributan perkara. Semuanya itu dilakukan dibawah bimbingan perintah dari  Nookuu. Dalam versi lain dikatakan bahwa keselamatan akan diberikan oleh KOYEIDABA dengan cara memberikan kemerdekaan dan kekeyaaan kepada mereka. Jadi  dapat  dikatakan  bahwa  yang  menjadi  pembawah  keselamatan adalah KOYEIDABA. 
Suku Mee  tokoh yang diyakini sebagai Koyeidaba. Karena itu KOYEIDABA sering disamakan dengan. Atau dengan kata lain Yeusu diberi  gelar KOYEIDABA. Bahwa diyakini sebagai Yesus adalah KOYEIDABA. Dengan demikian tetap ada perbedaan dan  kesamaan. Perbedaan  kesamaannya  sebagai  berikut.
KOYEIDABA lahir dalam  situasi orang sedang  menderita. Dalam situasi  itu mereka lahir untuk menyelamatkan manusia. Itulah yang menjadi tujuan utama. Walaupun  demikian  dalam  hal ini keduanya tetap berbeda  secara  hakiki. KOYEIDABA memproduksi  makanan dan barang-barang dalam rangka meyelamatkan mereka di dunia ini.
Selain dalam hal keselamatan  juga  dalam  hal mukjizat. Baik KOYEIDABA maupun Yesus melakukan Mukjizat. Munkjizat yang dilakukan oleh KOYEIDABA antara lain memproduksi barang-barang. Demikian pula halnya dengan Yesus melakukan banyak mukjizat. Walaupun  demikian fungsi mukjizat yang dilakukan oleh keduanya ialah berbeda. Mukjizat yang dilakuka oleh Yesus mau mendukung  perkataan-Nya  bahwa  kerejaan Allah   sudah  hadir  sekarang. Sedangkan mukjizat  yang  dilakukan  oleh  KOYEIDABA berfungsi untuk  melepaskan  orang  Mee dari  kekurangan  dan  kelaparang  yang  mereka  alami.[11]
Demikan juga dalam hal tubuh mereka yang dijadikan makanan. KOYEIDABA  tubuhnya dipotong-potong, di bagi-bagi dimakan. Sama halnya juga dengan Yesus, bahwa dalam perayaan ekaristi kita mengenangkan tuhunya. Tubuh KOYEIDABA adalah dagingnya yang dimakan, sedangkan tubuh Yesus dimaksudkan sebagai lambang kenangan akan Dia dan Karya-karya  keselamat dalam ajaran Gereja katolik. Ketika  KOYEIDABA dibunuh  ia  tidak melawan dengan kekerasan. Begitu  pula  Yesus ketika  ditangkap dan dibunuh, ia tidak  melawan dengan  kekerasan.
Bahkan waktu KOYEIDABA mau meninggal muncullah, Gempa bumi yang dasyat dengan melihat hal itu  nesehat-nasehat  kepada  mereka. Maka, lebih lengkap lagi terdapat dalam buku yang dikenal dengan  nama Totamana. Ini sering dianggap injilnya. Sebab dalam  ajaran tentang bagaimana  mereka  harus hidup. Di dalam injil itu terdapat nasehat-nasihat yang berkaitan dengan kerajaan Allah, sedangkan ajaran KOYEIDABA (Totamana) menyangkut bagaimana cara hidup di dunia agar  lebih  baik. Hal  lain yang dapat  disamakan  adalah ketika KOYEIDABA meninggal terjadi kegelapan gempa bumi. Demikian  halnya  ketika Yesus  meninggal  terjadi   hal  yang  sama.





Peristiwa  Pembunuhan  Koyeidaba
Arti  kata  bunuh
Dalam bahasa suku Mee kata tewagi berarti jangan membunuh sama manusia. Kata Metewagi makai berarti lebih khusus di mengerti sebagai laragan atas perbuatan dan menghilangkan nyawa secara seseorang. Karena itu Meetewagi makai berarti jangan  membunuh  manusia  siapapun. Iya  berarti  hidup  Iyamee  bararti  manusia  yang hidup iya Mee tawagi  Makai berarti  janganlah  membunuh manusia yang hidup.[12]
Tahap-tahap pembunuhan
Dalam tahap pembunuhan ini terjadi, ada  dua  versi  penilaian  atas  pembunuhan Koyeidaba  dalam budaya  suku Mee kedua  penilaian atas  pembunuhan  tertentu  dan sangat berbeda, yang di dasarkan pertimbangan masyarakat atas tindakan kejahatan  yang  dilakukan itu. Penilaian  pertama ialah  pembunuhan   secara bijksana  dengan  tindakan  yang  adil  dan  di terima  masyarakat  kerana permintahan  dari  senidiri  pihak  koban.  Maka  pembunuhan  Koyeidaba  yang  didasarkan  pada  kehendak  sendiri  dan hidup  mewujudkan  harapan yaitu membebaskan orang-orang Mee  dari  segala  penderitaan. Sedangkan  penilain  kedua adalah  pembunuhan  yang terjadi  sebaliknya,  yakni  pembunuhan  yang  tidak  di dasarkan  pada  permohonan bukan  karena  permintahan  korban, melainkan  kehendaknya  dari  sekelompok  leluhur mitis  untuk membunuh  koban dengan cara  memiliki tindakan  yang  jahat untuk  menghilangkan  nyawanya  secara tak adil. Kedua tahap ini dapat menguraikan. [13]
Permitahan   terjadi atas  permintahan  Koyeidaba
Koyeidaba  mempuyai impian  khusus  pada masa depan hidup bersama  masyarakat  dalam melangalami masalah-masalah sosial ekonomi dalam hidup kominitas yang ada. Keselamatan dinantikan oleh masyarakat diperjuangkan Koyeidaba melalui pengorbanan  nyawa  untuk membebaskan  masyarakat  dari penderitaan  yang  di alami. Dengan  harapan  membebaskan  dari  penderitaan. Ia  relakan diri  berkorban  dan  meminta dibunuh  melalui  mamnya. Yang pertama: Koyeidaba menghendaki semua orang keluar dari tubuhnya penderitaan itu akibat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, maka ia menghendaki kemulian tata ekonomi baru melalui memproduksikan makanan dari sejatera, sebab melalui pengorbanan nyawa  ia   berkehendak  mewujudkan  keselamatan  kepada  masyarakat.
Prosos  pembunuhan  Koyeidaba  ini  terjadi  bukan  karena  iri  hati  pihak  lain, melaingkan permintahan Koyeidaba  sendiri, agar  mencapai  tujuan untuk menentukan  nasib hidup masyarakat. Hal ini dikatakan demikian karena pengorbanan dilakukan berdasrkan  suara hati Koyeidaba sendiri. Permintahan Koyeidaba adalah berupa pertayaan  demi  kepentingan masyarakat. Oleh  karena  itu  atas  kehendak  bebas  yang  dimiliki, dan  memutuskan  untuk  dibunuh  karena desakan  dari  dalam  dirinya, maka  ia  tak  menahan  diri melihat semua  persoalan  hidup dalam  masyarakat merupakan  solusi yang  terbaik untuk  memulihkan  segala penderitaan  masyarakat.[14]
Proses  pembunuhan
Dalam  mitos Para  leluhur  mitis  mempunyai  dua  maksud  ideal  yang  hendak  mereka  mencapai  melalui  pembunuhan  Koyeidaba  ialah satu: apabila  Koyeidaba  mati melalui pembunuhan bararti berkat bagi mereka untuk “mengambil, memilki rahasia kekuatan  demi  kepentingan hidup mereka” kedua apabila Koyeidaba dibunuh berarti  semua tanaman tumbuhan dengan subur  beternak  berkembang dengan baik sehingga  memperoleh  hasil  yang  berlimpah. Kedua hal inilah  yang  mendorong  para  leluhur  mitis   masuk dalam tindakan  kejahatan  demi  mencapai  tujuan  hidup mereka,  tetapi  hanya sebuah  lukisan  dalam pikiran perasaan batin belaka, tujuan yang mereka capai tidak berasil, malah  mendatangkan  penderitaan  hidup  masyarakat  secara  nyata.
 Kronologisnya pembunuhan Koyeidaba bukanlah  secara tiba-tiba dipukuli sampai mati, melainkan  pembunuhan  terencana melalui beberapa tahap . beberapa  tahap  tersebut. 
Hidup  keluarga  Koyeidaba
Dalam Kehidupan keluarga Koyeidaba di sekitarnya. Hal-hal  yang dominan  menjadi  pokok penilaian kemampuan  untuk  memproduksikan makanan  barang-barang yang lain di curigai secara menipulasi dan bersifat umaum. Aturan atau ajaran yang dalam  masyarakat  dinilai  sebagai menipulasi  politik bersifat magis dan lingkup ajaran yang sangat sesat untuk mengejar kuasa kememimpinan.Dalam suasana hidup demikian, Koyeidaba mengajak masyarakat untuk bekerja keras, agar memperoleh barang  melaui hasil keringat sendiri   peryataaan  dinilai sebagai  suatu  usaha yang  sia-sia.
Bila  dibanding  dengan  keluarga  lain, hidup  keluarga  Koyeidaba,   mejamin dalam hal memperoleh makanan. Juga para leluhur mitis  menggangap  dia memiliki  barang-barang  yang akan  dianggap  sebagai  hasil  curian secara  sembunyi dengan caranya  sendiri  pula. Kerena semua hal yang dibuat oleh Koyeidaba bersifat struktur, karena tidak  menghitungkan masyarakat, maka dinilai merusak tanaman komunitas sosial di masyarakat. Penilaian-penilain ini  selalu muncul  secara benar. Koyeidaba  dapat  dinilai  sebagai  orang tidak  baik  yang  hidup dianatara  mereka, maka  mereka  merunding  bersama  untuk menghabisnya. Hal itu dilakukan karena bila ia hidup kondisi ekonomi tidak akan membaik, maka  disepakati  bahwa  harus di bunuh.[15]
Tahap rangcangan
Pembubuhan Koyeidaba bukan terjadi secera tiba-tiba, melainkan telah lama dipikirkan oleh warga masyarakat setempat berdasarkan beberapa  kepentingan mereka. Pembunuhan Koyeidaba dia, mancari kesempatan yang baik untuk melakukan rencana mereka. Mereka  merencanakan  pembunuhan  Koyeidaba secara rahasia  tanpa diketahui  Koyeidaba sendiri  dan keluarga  serta  para  pembelah Koyeidaba  satu  orang pun. O rang-orang yang hadir dalam perencanaan pembunuhan ini pada umumnya mendukung  Koyeidaba  dibunuh, sehingga mengambil  kepeutusan  bersama  untuk  membunuh.
Karena  itu sekelompok  pelaku  pembunuh  membuat  suatu  kesepakatan  di mana, kapan dan dimana  tempat  yang baik  membunuhnya. Alasan utama Koyeidaba  memilki  kemampuan untuk membuat mujizat lewat batas daripada orang lain. Dengan demikian  mereka harus mempertimbangkan kesempatan dimana yang cocok untuk membunhunya. Saat mana  masyarakat atau keluarga tidak ada  di sekitarnya. Juga  orang  mempelajari kelemahan Koyeidaba kira-kira saat mana dia tak berdaya melainkan,  sehingga  melalui  pengamatan  pelaku  pada  saat  sepi  di  sekitar  rumah dan  di sekitar  kampung, termasuk para pembelah di saat-saat  itulah  kesempakatan baik untuk  memanfaatnya.

Koyeidaba  adalah tokoh pemikir   ulung
Dapat dikatakan  bahwa  Koyeidaba  sebagai  dimi  Yago Mee (orang  yang  memiliki  pemikir), berarti  ia berpikir dengan sadar  berbicara  bertindak  bersikap  secara  bijksana.  Ia  melandaskan  hidupnya  pada kebijaksaanan yang mengandung membawa unsur pemahaman, mempertimbangkan keputusan praktis dalam  seluruh  dimensi  hidupnya.  Koyeidaba  adalah  gaya (seorang  pemikir) yang  senantiasa  berpkir luas tentang hidup  masyarakat. Ia  hidup pada  masa  pribadi  dimana  ia  hendak  mewujudkan  visinya  sebagai  tokoh  penyelamat,  bagi orang  Mee dari segala penderitaan  hidup yang  dialami  oleh  tokoh  pemulihan  maka, tanaman. Sedangkan misinya adalah  ia  hendak  mempersatukan  semua  tanaman  komunitas  sosial  yang  sebelumnya  hidup  terpisah  menjadi  induvidu  disatukan  menjadi  secara  baik.
Semua hal itu masyarakat dapat diatur  bersama  dalam  kelompok, agar  menciptakan  hidup yang harmonis  membangun relasi yang  baik terhadap, manusia dan juga  kepercayaan  terhadap Ugatamee (Allah). Keyataanya  Koyeidaba  ini  sangat  peduli  dengan  masyarakat untuk  mereka memperoleh keselamatan masyarakat serta memperoleh sosial  ekonomi dalam  rumah  mereka.[16]
Pembunuhan   terjadi  Klayak  ramai (Mee Uminaida  Make  Wagita)
 Mee Uminaida make Wagita Pembunuhan terjadi klayak ramai. Secara harapiah Meeuminaida  make  wagita  berati  pembunuhan  tejadi  klayak  ramai. Pembunuhan  terjadi  ramai merupakan pembunuhan yang tidak dapat dibenarnarkan diterima serta kebijaksanaan. Sekelompok pelaku  membunuh Koyeidaba  dengan  harapan  bahwa, bilamana ia  mati  akan  terjadi  perubahan dari segi ekonomi  struktur  sosial. Tetapi  bila tidak tercapai  apa  yang mereka pikirkan, maka akan muncul suatu kejahatan yang besar. Setelah pembunuhan  hanyalah  suasana  hidup  mereka  yang  berubah, yakni  harapan beru.
 Masa pembunuhan koyeidaba dimulai dari Badimo samapai kegata (dari ujung Timur hingga Barat), semua  klen menyetujuhui dan  bersepakat untuk Koyeidaba  harus di bunuh dari pada ia hidup sebagai orang yang berkuasa ia sendiri yang akan  menjadi”tonowi” baik  dalam bidang ekonomi maupun dalam strukur kepemimpinan. Banyak sebutan tonowi” (orang yang kekayaan banyak), yape tonowi orang tampil dalam perang). Para lawan Koyeidaba mengapa semua status tonowi di kuasai, maka banyak klen tertib dalam  masyarakat  disekitar  kampung. Peranan  dan perilaku  tindakan  kejahatan  yang  di lakukan  oleh masyarakat disekitar itu. Masing-masing  klen ambil  bagian dalam pembunuhan  supaya kemampuan Koyeidaba  masuk  secara  otomatis  juga  dalam  hidup-Nya.[17]
Marga-marga yang terlibat dalam pembunuhan Koyeidaba yakni Fam Mote, meneriam Mege atau kulit bia dan mengkianati Koyeidaba Fam Dou melaporkan  keberadaan  Koyeidaba sebelum pembunuhan Fam Goo menarik Koyeidaba dari rumah  di bawah tempat  pembunuhan Fam Agapa memotong tubuh mayat Koyei, Fam Pigai mengirisi-risi jari Koyeidaba, Fam Tebai mengirisi  memotong  kaki dan tangan Koyeidaba.
 Marga-marga ini yang terlibat dalam  pembunuhan Koyeidaba dan Fam-Fam  lain  kira-kira sembilan puluh sembilan persen amat mendukung nyawa Koyeidaba harus di musnakan, kecuali Fam Waine dan ke tiga saudarinya Neneidabaa, Yageku dan Nouku. Mereka  berusaha keras  membelah Koyeidaba  untuk tidak di bunuh, karena ia tidak  terbukti  melakukan kesalahan dalam hidup. Ada saat pembunuhan mereka melawan musuh  Koyeidaba, tetapi  pihak  lain  pembela. Maka  kemampuan  untuk  membela  sangat  terbatas  dari  pada  musuh  Koyeidaba  jumlahnya  banyak.[18]
Koyeidaba  sebagai  tokoh Owadaa Emaawa sebagai Kabo orang Mee
Peradabaan  hidup  orang  Mee  sebagai  megalami  perubahan  hidup di dalam  goa-goa  mulai  berpikir untuk mengadirkan  rumah. Orang Mee melihat, berpikir kemudian mulai  membangun rumah. Atab rumah dari  rumput. Dindingnya  dari  kayu, dilapisi dengan  kulit kayu  atau jubi supaya  ruangan  dalam rumah  dapat menjadi  hangat. Lantainya  dari  kayu   ditambah jubi  sedangkan  tikarnya dibuat  dari  anyaman daun  pandan. Ditengah-tengah  ruangan  terdapat  tungku api yang  di gunakan  untuk  masak  dan  menghangatkan  badan  karena  suhu  daerah  orang Mee sebagai  kebiasaan mereka.
Batas  rumahnya di pagari  dengan  kayu, bagian atas pagar  direntangkan  kayu  yang  diikat dengan rotang dan sering diatasnya di letakan akar- akar  dari rumput-rumput. Halaman  sekirtar  rumah  itulah  yang mereka gunakan  untuk bercocok tanam dan memelihara ternak yang dapat mereka komsumsikan demi mempertahankan kelanjutan hidup mereka. Kadangkala, mereka  juga  membuka lahan  perkebunan  di hutan.
Rumah  yang  sangat  sederhana  dan  halaman  yang  ditanami  tumbuhan dan t ernak  itulah  yang  menjadi dasar  bagi orang  Mee, muncullah  kehidupan orangt  Mee  sebab dari rumah itulah dengan sukacita mereka dapat  menikmati  hasil  keringatnya  bersama  keluarga dan memperbanyak keturuna. Orang Mee yang memiliki Emawa dan Owadaa dapat  dikatakan sebagai orang-orang Tonowi terdapat  penyakit, Tonowi terhadap kelaparan  tonowi  terhadap  cuaca yang  tidak menentu. Artinya  bahwa dengan adanya  Emawa  dan Owadaa  kemunkinan  mereka  tidak  akan  mengalami sakit  karena memiliki  rumah dan  makanan  baik berupa tanaman maupun ternak dan juga tidak akan terkena panas, hujan kedinginan karena memiliki rumah lengkap dengan tungku api itu ditengah untuk menghangatkan  badan. Sehingga dalam itu kehadiran Koyeibada sebagai salah-satu jalan membahwa keselamatan dalam kehidupan orang Mee. Oleh karena itu perlu ditumbuhkan,  kembangkan  dan kerja sama  yang baik antara keluarga  dan sekitarnya. Dengan  adanya  kerja sama dan saling menghargai maka tumbuhlah cinta kasih yang tertus menerus mempereratkan  kehidupan  rumah tangganya.[19]
Emawaa Owadaa ahkirnya dilihat  sebagai sebuah dasar adat istiadat orang  Mee. Oramg  Mee  juga  memiliki  larangan-larang  jika  dilanggar maka kehidupan  mereka  dapat  terancam baik oleh  penyakit,  kelaparan. Sehingga hanya dari Emawaa  dan Owadaa itu  saja  mereka dapat menjalangkan kehidupan  sambil  menjaga  diri  dengan  baik tanpa menlanggar adat-istiadat mereka dalam bahasa Mee di sebut” dio Douw”. Dengan memiliki Emawaa  Owadaa  orang  Mee  memiliki  sedikit  kemungkinan untuk melanggar adat- istiadatnya  jika  melihat  hal itu  emawaa owadaa merupakan  dasar hidup orang Mee yang  dapat  membahwa kebahagiaan dalam hidup dan memperoleh keselamatan.
Namun orang Mee harus menyadari  bahwa  mereka bukan hidup hanya dari  tanaman  dan  ternak  yang  mereka  piara yang nikmati tetapi  ketika Koyeidaba  di bunuh  di daerah itu terjadilah keselamatan. Juga  karena  kepatuhan  mereka dalam mematuhui perintah Allah  seperti  jawaban  Yesus saat  di cabai  oleh iblis untuk  mengubah batu  itu  menjadi  roti hal  yang sama juga bahwah  ketika Koyeidaba masih hidup di daerah  itu terjadilah  kelapaparan, dengan  ketimbang hal itu  mereka  di bunuh di potong-potong dan  memperoleh keselamatan di daerah itu. Tetapi lebih  jelas bahwa  dalam  kehidupan  manusia  ada banyak  hal yang perlu  peratikan bahwa “manusia  menjadi  bukan hidup hanya  roti  saja  tetapi dari Firmanya yang di keluar  dari  mulut Allah.”
Paham  Keselamatan  Secara  Umum  dalam  Kehidupan  Suku  Mee
Keselamatan bagi suku Mee merupakan sesuatu yang sangat penting didambakan  oleh setiap  manusia.[20] Keselamatan  yang  di dambakan  adalah  soal keselamatan  pada  masa    kehidupan  harian mereka. Suku  Mee  tidak  prnah  berpkir  tentang keselamatan  pada  masa  yang  akan datang. Keselamatan  yang  diharapkan oleh orang Mee adalah  situasi yang  harus  dialami dinikmati dalam  setiap  aspek  kehidupan  mereka.
Melihat  realitas  seperti itu  bukanlah  suatu  yang  mengherangkan  jika  manusia  suku Mee meliaht  keselamatan dalam  setiap aspek  kehidupan  secara  berbeda. Oleh  karena  itu  pada  bagian ini,  kami  ingin  menggankat  dan  menguraikan  secara  garis  besar  paham  keselamatan manusia suku Mee dalam  beberapa aspek kehidupannya. Aspek  ini  yang  kami  maksudkan  adalah dalam aspek  sosial  budaya, ekonomi, politik dan religius. Aspek  soasial  budaya,  ekonomi politik dan religius  dijadikan sebagai bagian dari hidup manusia. Manusia sadar bahwa setiap aspek kehidupan tersebut mempunyai  nilai-nilai sakral  sebagai misteri yang harus dicari di pertahankan demi keselamatan secara perorangan maupun secara  kelompok.[21]
Konsep  Keselamatan
Dengan mempelajari  mitos  yang  hidup dalam religius suku  Mee  di atas, kita  dapat  menyelami makna mitos tersebut. Namun untuk memahami, pengertian dan pemahaman  unsur keselamatan dalam mitos, sebagai mana yang  dihayati oleh  suku Mee, kami  merasa lebih  dahuluh perlu  tiadaan  sesuatu  tinjauan  atas  mitos  tersebut.
 Untuk melihat peranan mitologi perlu dilakukan  untuk  melihat  dan  memperhatikan  peranan-peranan para tokoh  mitologi, setelah  itu  kita  dapat  melihat  konsep  keselamatan dan  kemalangan, sebagai kesimpulanya. Oleh  karena  itu, kami  ingin  menampilkan  lebih dahuluh tokoh-tokoh mitologi dengan perananya masing-masing. Dengan demikian pada ahkirnya kita dapat melihat konsep keselamatan dan kemalangan yang hadir dan hidup  dalam  kehidupan  harian suku  Mee.[22]
Koyeidaba  hadirnya  sebagai  Nota  di pengunungan  Tengah
Menurut  Koyeidaba sebagai seorang  sejarah  kehidupan  mereka. Dengan  keadiran Koyeidaba muncullah  makanan yang berlimpah di daerah pengunungan, maka tahun 1200 di daerah itu mulai perkembangan perkebunan. Setelah mengenal secara singkat, Koyeidaba   hadirnya sebagai “nota”di pengunungan Tengah, ada  baiknya  bila kita menerima Koyeidaba  hadir sebagai nota.
Secara  jelas bahwa penanaman bibit  nota  biasanya di lakukan setelah tanah diolah menjadi lahan kebun membuat bedeng-bedeng bagian itu nota, ditanami secara bibit, Kadakaga, selain itu Keladi, Tebuh, jangung, wolter sayuran. Selain itu  juga lahan  baru  yang  akan buka dihutan disebut sebagai  Buguwa taida disebut  kebun hutan bibit tanaman yang  di tanami sebagai Kadakaga,(Petatas) Digiyo napoo( Sayur hitam) Eto pogiye( tebuh)  Mapi (pisang).
Pekerjaan penanman bitbit sangat membutukan energi, kesabaran keahlian khusus. Energi yang di butukan selama menanam bibit sangat banyak. Maka  perlu  membuka dan  menggali tanah untuk menanamkan nota. Ubi jalar noto dibedeng-bedengan lumpur yang dinaikan dari rawa-rawa didasar lembah. Namun ada juga yang membuat kebun di hutan. Pada saat yang sama, perkebunan dilereng-lereng  gunung-gunung  juga terus di lakukan,  daerah itu hortikultural sendiri, Koyeidaba hadir sebagai keselamata bagi suku Mee di  daerah Meuwodide, disebut Wisel Meren.[23]
Koyeidaba  sebagai  Nota  (petatas)
Nota”adalah makanan (pokok) harian suku Mee.” Nota kata yang digunakan oleh   suku Mee, untuk  menyebut ubi jalar atau petatas. Ubi jalar  “nota” petatas  adalah  tumbuhan yang memiliki  dan mebesarkan kehidupan mereka.
          Ubi jalar (nota) adalah bagian tumbuhan yang bertumbuh di bahwa tanah yang membesarkan, disebabkan oleh pemupuk, merawat, dan menjaga. Dikenal dua macam , yakni  ada umbi yang menyimpan makanan dalam bagian batang ada juga pula umbi yang menyimpan makanan demi  perkembangannya.
Umbi  umbian di  bagi  atas  dua  golongan  pertama adalah  golongan umbi-umbian yang terus dicuci terlebih dahuluh sebelum di konsumsikan. Golongan kedua, adalah  mengenai umbi-ubi  yang  dapat  dikomsumsikan  makanan  tanpa di cuci lebih  dahuluh .Ubi  jalar (nota), talas, kentang. Umbi  yang akan  menjadi perahatian dalam seluruh kehidupan suku Mee ialah dapat dikomsumsikan (dimakan) tanpa harus di cuci lebih dahuluh, maka  nota tersebut dikenal  dalam arti  banyak  tanaman oleh  suku Mee.[24]

Koyeidaba  sebagai  Nomo  (keladi)
Keladi sebagai “nomo” dalam kehidupan suku Mee hidup sebagai suatu yang khas unik untuk memperoleh keselamatan. Akan tetapi memeliharah, memupuk, merawat, menjaga, yakni  kebun  yang  mereka gunakan  dalam tradisi mereka  yakni  ada dua:  pertma, membuka lahan di  hutan, ketika membuka lahan baru Buguwa  taida  dan  Bugidaka  taida yang dimaksud dengan Buguwaka taida tanaman yang  ditanam di  kebun itu. Maka makanan itu tua, ia memanen dan mengundang teman-teman untuk makan bersama  di dalam rumah laki-laki karena adanya relasi. Kedua, keladi yang ditanam dalam Owadaa mereka akan   melihat tanaman  yang ditanam  didalam owadaa  sebagai nyata.[25]
Koyeidaba  sebagai  digiyo Napao (Sayur  Hitam)
Digiyo “napo” artinya (sayur hitam), merupakan sayaur asli, Pada khusunya suku Mee, mengenal “Digiyo napoo” sebagai makanan pokok dalam kehidupan mereka.Untuk  cara menam, merawat, memupuk, dan menjaga tanaman itu. Suku  Mee menanam “digiyo napo”artinya (sayur hitam) hanya dilahan yang baru yang dibuka di hutan, ketika  mereka menam, memupuk dan menjaga sampai tua. Ketika saat panen seorang tua itu dia  memanggil orang-orang  tua  untuk  mereka  makan bersama-sama di  rumah  adat.
Ketika mereka makan bersama-sama dengan orang-orang tua, di kampung mereka  membicarakan ha-hal kehidupan mereka kedepan, dengan harapan mereka suku Mee membentuk suatu ikatan atau  persaudaraan dalam kehidupan. Baik  itu hubungan keluarga maupun  dengan  hubungan relasi antara teman-dengan  teman.
Koyeidaba  sebagai  Etoo Pugiyee  (Tebu)
“Etoo Pugiyee”artinya (Tebuh) pada khususnya suku Mee mengenal  tebuh sebagai makanan asli, sukuMee biasanya percaya bahwa Kehadiran Koyeidaba membahwa perubahan dalam hidup untuk memperoleh keselamatan. Hal yang sangat fundamental ialah Etoo Pugiyee (tebuh) biasanya mereka mengunakan pada saat mereka istirahat, seperti mereka menyelesaikan Kebun, atau mereka menyesalesaikan masalah-masalah, saat itu mereka gunakan.
Hal  lain juga  bahwa suku Mee percaya bahwa  (“Etoo Pugiyee”) merupakan  suatu yang unik, dalam membangun relasi, persaudaraan, maka  hal tersebut. Perlu mengenal diri dengan kehidupan mereka. Pada dasarnya suku Mee memahami kehadiran teman-teman sebagai  suatu  yang  memberikan keselamatan dalam  hidup.  [26]
Keselamatan  dalam Kehidupan Sosial  Budaya
Manusia  Mee  adalah  manusia  yang  berbudaya. Dalam  kebudayaan  mereka  juga  berusha  untuk  menampilkan dirinya sebagai  manusia sejati  yang  dapat  dihargai  pula oleh  manusia. Dalam kehidupan sosial budaya  manusia  suku  Mee, mereka  selalu bersaha  untuk  hidup  dengan  baik  berusaha  suku Mee menjaga  keharmonisan relasi antara sesama.   Suku Mee  sangat  erat kaitanya  dengan  adat isiadat mereka, karena  melalui  adat  istiadat  itulah  mereka  memperdayakan  budinya  untuk  memperoleh suatu hidup  yang  lebih  baik.
          Kebudayaan manusia  suku Mee  sangat  nampak  dalam  pola pikir prilaku hidupnya  di  mana setiap  orang  dituntut  untuk menghargai adat istiadat itulah suku Mee  budinya  dan  memberdayakan  segala kemampuan  untuk  mengisi hidup mereka  ditanah  leluhur mereka. Dengan demikian setiap manusia suku Mee akan sadar pada keadaan dirinya dalam  budayanya kondisi itu menuntut  dirinya  untuk bertindak  sesuai norma-norma yang berlaku agar  mereka  dapat mengembangkan  hidupnya dalam  berbagai aspek kehidupan  sebagai  manusia. 
Keselamatan  akan  dipelajari sebagai  hadia  akan  kepatuhan  mereka pada  nilai dan  norma  hidup  yang. Perlu  dicacat  bahwa  nilai  dan  norma  seolah-olah  merupakan  posisi ingin  memperoleh  dengan  hidup ajii keselamatan itu harus  mematuhui dengan  nilai-nilai  norma hidup yang sudah  ada dalam  budaya mereka.
Keselamatan  dalam  Ekonomi
Kehidupan  Ekonomi  merupakan  suatu aspek  yang  sangat  penting  dan  menjadi  sentral dalam kehidupan manusia secara manusia pada umumnya  dan  aspek dalam  ekonomi  mempuyai  pengaruhui yang kuat untuk mengukur aspek  kehidupan  yang lainya. Kehidupan  ekonomi  ini  sangat  berkaitan  langsung  dengan  kelangsungan  hidup  manusia. Kehidupan ekonomi yang dimaksud disini adalah kemampuan untuk memenuhui kebutuhan hidup  berupa, bagimana  orang dapat  makan  cukup tiap  hari, bagimana mereka  mempuyai  rumah  yang  baik, mempuyai  kebun  yang luas dan ternak  yang  cukup,  merupakan  bagian  dari inti  kehidupan ekonomi  bagi  manusia.
Bagi  suku  Mee, setiap  orang  yang mampu memenuhui  kebutuhan  hidupnya  mantap  dalam  kehidupan  ekonomi  telah  memperoleh  keselamatan  yang sesungguhnya pada  saat  ini. Keselamatan  dalam kehidupan ekonomi hanya  dapat  diukur dengan  hal-hal  yang  telah disebut diatas. Suku Mee akan merasa dirinya sebagai  memperoleh keselamatan dalam  kehidupan ekonomi ketika ia dapat memenuhui segala kebutuhan  hidup, ketika semua  kebutuhan terpenuhui, pada saat itulah situasi ajii hadir dialami secara nyata dalam  kehidupan  manusia  suku Mee.[27]
Keselamatan  dalam  kehidupan  politik
Untuk  kita berbicara  tentang keselamatan  dalam kehidupan politik  suku  Mee  akan mengatakan bahwa jangan simpan dendam, bertengkar  berperang, agar  kita  hidup  dengan  baik, aman  karena itulah  yang  terbaik. Setiap  orang  hidup dengan  aman, bebas tenpa ada  tekanan  dari siapapun.
          Keselamatan  bila  dipahami  dari  sisi  politik  maka, yang dikejar  adalah  situasi ajii dalam  arti  siatusi  yang  aman. Unutk  menciptakan situasi  yang aman,  setiap manusia suku Mee mempuyai kewajiban yang aman. Oleh  karena itu bukalah sesuatu yang aman mengherangkan bila dari  setiap  orang  dituntut  untuk   menghargai  sesama  sebagaimana ia  menghargai dirinya . [28]
Keselamatan dalam Kehidupan Religius
Dalam kehidupan religus suku Mee  dapat  dijadikan  sebagai titik sentral atau fokus  dari  segala aspek  kehidupan  mereka. Kami  berpendapat  demikian  karena setiap aspek  kehidupan suku Mee semuanya  bersumber dan  bermuarah pada  kehiduan  religiusnya  suku Mee selalu berhubungan dengan masa lampau yang bersumber pada mitos Koyeidaba. Dengan demikian  kehidupan religius  manusia  nampak dalam bentuk-bentuk perilaku secara simbolis, yang  mengahubungkan manusia  dengan  sesuatu  yang  ada  di luar  dirinya, yang diyakini sebagai sumber dari segala kehidupan (pencipta) mitos-mitos yang telah  uraikan diatas  pertama mau memberikan  gambaran  yang  tidak  dapat  sangkal  bahwa suku  Mee  mempuyai dasar  kepercayaan  atas  realitas  tertinggi. Melalui  mitos Koyeidaba  itu pula  suku Mee  mengakui  adanya  unsur-unsur adikodrti dalam dunia  yang  mempuyai pengaruh  secara langsung  maupun  tidak  langsung  bagi  hidup  manusia.
Mitos yang telah  kami  uraikan pada  bagian  pertama  diatas  mempuyai  pengaruh  yang  sangat  kuat pada  kehidupan religius  suku  Mee, karena  mitos itulah  yang sekaligus  menjadi dasar religius. Dengan  demikian menjadi  mitos  sebagai  dasar  religis, maka  suku Mee  mau menunjukan  suatu kesetiaan, keyakinan  kepercayaan dalam pengunggkapkan  suatu kelestarian, sehingga mitos dapat mewujudkan pengalaman religius  dalam rupa simbol, kiasan  penyingkapan, bertolak  dari  mitos  tersebut, kini  suku Mee  berusaha  untuk  hidup  baik untuk menciptakan keselamatan dalam hidup pada masa ini. Untuk  kepercayaan akan  keadiran  roh-roh  para  leluhur  menjadi ciri  pokok dalam  kehidupan  religius. Kepercayaan  dan  penyembahan  pada  arwa  leluhur  suku  Mee  merupakan  jalan  yang  terbaik untuk  memperoleh keselamatan, berupa hidup dalam  situasi ajii artinya keselamatan antara  sesama  manusia, alam dan leluhur baik.[29]
Paham  Keselamatan  Secara Khusus dalam  Kehidupan Suku  Mee
Pada  bagian ini pertama dari  pokok tentang  unsur  keselamatan  menurut suku  Mee, secara garis  besar  telah kami  mencoba  untuk  mengangkat  dan  menguraikan  secara garis  besar  atau secara umum keselamatan dalam  beberapa  aspek  kehidupan suku  Mee. Setelah menguraikan  pemahaman  secara  umum, pada  bagian   kedua ini ingin menguraikan  unsur  keselamatan menurut suku Mee memahami bahwa keselamatan (secara khusus) dalam kehidupan. Hal ini dirasakan oleh suku  Mee dan  menyakini  keselamatan  adalah sesuatu  yang harus diperlukan dan harus dinikmati pada saat ini, disini, tidak  seperti yang  diajarkan  dan  diwartakan  oleh agama kristen.
Unsur  keselamatan secara  khusus bagi suku Mee adalah  berkaitan dengan  apa  yang dialami dirasakan saat ini, disini. Oleh  karena  itu, baiklah  kalau kami uraikan  bagaimana keselamatan  itu dipahami dalam  kehidupan  harian  suku  Mee. Berkaitan dengan  itu kita akan  melihat  bagaimana kelimpahan  dalam hidup  suku Mee dilihat sebagai wujud nyata dalam  keselamatan  bagaimana keselamatan  di pahami  diukur dalam  hidup harian mereka.
Kelimpahan hidup ( Keselamatan Iahiriah)
Dalama  buku,  agama-agama Malanesia,  menurut D. Whiteman dan E. Mantovoni, ditulis” kelimpahan hidup  adalah  satu  aspek penting  dalam kehidupan  masyarakat dan agama orang  Malanesia. Sehingaa  bukanlah  untuk  mencapai hidup  yang  bermakna dan berkelimpahan hiudup bertolak  dari pernyataan tersebut, suku  Mee  pun  menyadari  bahwa hal tersebut memang baenar beralasan. Agama  asli  menusia  suku  Mee  pun mengajarkan  kepada  mereka  untuk berusaha  memeperoleh  keslamatan. Dan  keselamatan adalah  situasi dan  kondisi  hidup  suku Mee  dalam  kelimpahan. Kelimpahan  dalam  hidup  suku  Mee itulah  yang  akan  menjadi  tolak  ukur  bagi  keselamatan.
Sebagai  konsekkuensinya, siapa  pun dia  yang  hidup  dalam  kekuarangan  tidak  akan  pernah  mengalami  keselamatan. Oleh  karena itu  setiap  suku Mee  ditangtang  untuk  berjuang berusaha untuk memperbaiki hidupnya dalam kelimpahan, sebagai satu-satuhnya jalan masuk keselamatan, dimana ia tidak  dicapai  lebih dengan  cara  yang  begitu sederhana dan  kongkrit dari  pada  secara  keselamatan.
Dalam konteks Papua agama dan kebuadayaan dipandangan sebagai tentang kehidupan  yang  berlimpah  atau  kesejatraan  hidup  merupakan  hal  yang  sangat  penting  bagi  masyarakat papua. Ide  ini  diungkapkan  dalam  berbagai  bentuk, baik  dahulu maupun  sekarang suku Mee melihat keselamatan yang dialami sebagai akibat kehidupan yang berlimpahkan, secara nyata dapat dilihat juga dan dirasakan dalam hasil kebun yang berlimpah  dan  ternak  piaraa yang  banyak.[30]
Hasil  Kebun yang   berlimpah
Hasil  kebun yang  berlimpah,  sebagai wujud  bahwa  suku  Mee ada  dalam  keadaan selamat. Keselamatan diperioleh berkat kelimpahan hasil kebun, yang menunjukan perjuangan  usaha yang  telah  dilakukan oleh suku Mee secara sungguh-sungguh. Suku  Mee  sebagai orang yang  berlatar b elakang  hal petani sebagai  mata  pencarian  hidup  mereka  sangat  berlimpah.  Akan  merasa  sangat  kecewa  ketika penyesalan jika  ladang  atau  kebun  yang  ia  kerjakan  tidak  memberikan hasil  yang  memuaskan. Penyesalan itu muncul karena  perasaan  tidak puas mereka akan berasil. Hal itu  terjadi karena mereka sadar bahwa  mereka akan hasil mengalami kekurang menderita kalaparan. Perasaan tidak pua ketika menggangu batin mereka mengantar mereka pada perasaan bahwa mereka belum bisa memperoleh keslamatan. [31]
Setiap  keluaga  memiliki  kebun
Keadiran  Koyeidaba  sebagai  pembawah keselamatan. Oleh karena  hidup  mereka bergantung pada hasil kebun, maka setiap keluarga memliki kebun. Biasanya mereka  membuat kebun  didua  tempat  yakni: di lereng gunung  dan  di lembah. Baik  kebun  yang ada  di lereng  maupun  di lembah,  dimiliki oleh  setiap keluarga. Di kebun tersebut, tanaman  utama  yang  di tanami oleh  masyarakat adalah  nota. Dari  nota  yang  mereka tanami, selain  berfunsi untuk pemenuhan dan kebutuhan  hidup harian, juga untuk  ternak pemeliharaan  mereka sebagai Ekina (Babi)
Ternak  piarah yang  berlimpah
Hidup yang melimpah dalam kehidupan suku  Mee  tidak diukur dari  satu aspek  saja. Aspek lain juga turut mempengaruhui kelimpahan dalam hidup suku Mee adalah  banyaknya ternak piaraan (terutama babi ekinaa). Unsur ternak  (babi) dalam kehiduan suku  Mee  sangat  dibutukan  dalam  kaitan  dengan saat pesta-pesta atau  perayaan-perayaan seputar hidup mereka. Ternak yang banyak melimpah menggambarkan  suatu peternak  hewan (babi), tetapi manusia yang biasa piara ternak (babi). Walaupun demikian, suku Mee yang  mempuyai jumlah  ternak (babi) yang banyak akan  puas dengan  hidupnya, karena  tidak  ada  hal  yang  kurang, yang  dapat menggangu suasana hidupnya.
Ternak babi yang  banyak, ahkirnya akam   mengantar suku  Mee  untuk  mengadakan pesta-pesta sebagai ungkapan  syukur atas segala kelimpahan  yang  sudah  dan  sedang  ia  perlulah, sekaligus sebagai sarana ungkapan  harapan untuk  terus hidup dalam  situasi seperti itu. Harapan tentang kelimpahan hidup sering diungkapkan melalui pesta-pesta dengan pengorbanan ternak (babi) yang begitu banyak dalam perayaan-perayaan itu. Perayaan-perayaan  itu masih  berlangsung  terus sampai saat  ini  untuk mengungkapkan  tidak hanya kelangsungan hidup semata-mata melaingkan juga mengalaminya secara berlimpah  memuaskan hidup, kenyataan seperti itulah yang sudah dan sementara terjadi dalam  kehidupan  suku Mee.  Hidup  yang  berlimpah  harus  dirasakan , karena  itulah  keselamatan  yang  sementara  dirasakan  sesama.[32]
Nota  memberikan  daya  kehidupan
Sebagai makanan yang menghidupkan manusia, Nota memiliki beberapa unsur  kepentingan untuk memperoleh keselamatan manusia dalam  kehidupan, tersebut  diperatikan  dan dapat dilihat dari beberapa kebun, nota disimpan dalam noken  baik-baik, pada  saat makan  nota secara  spontan  mereka diam, dan  nota  memberi daya  kehidupan baru.
Nota  Sebagai  Daya Kehidupan Baru
“Nota” yang dimakan  oleh manusia, memberika sejumlah  daya hidup  baru  yang  menghidupkan tubuh  manusia yang  telah  memakan ubi nota yang  dimasak. Sejumlah  daya  kehidupan  ini dihasilkan setelah nota dimakan oleh manusia, seperti: tubuh dikuatkan dari kelemahan karena lapar, tubuh ditegakkan kembali dari nota. Melalui nota yang dimakan terbentuk kembali tenaga atau  energi  yang  mulai  kendor. Dari  situ, menimbulkan  kembali daya kerjaan otak untuk berpikir mengingat, memikirkan,dan merencanan, mengaktifkan daya kerja hati untuk berasaan dan senang, menderita, marah, gembira takut karena  kehadiran Koyeidaba sebagai keselamatan, secara normal, dan darinya manusia dapat bekerja menerima dan mengeluarkan informasih demi perkembangan hidup manusia sendiri  maupun  secara sosial.
Kita  dapat  membayangkan  apa  yang  akan terjadi bila  tubuh manusia tidak  di isi dengan makanan. Tentu rasa lapar akan menguasai diri  dan menyebabkan  sejumlah aktivitas  pada  tubuh manusia melembangkan bahkan dapat mati. Dari rasa lapar akan membuat  badan  atau  otot-otot pada  tubuh  manusia  akan  menjadi lemas  tak  dapat berbuat apa-apa. Nota yang ditanam di dikonsumsikan oleh manusia suku Mee, sangat berarti dalam seluruh kelangsungan hidup di  muka  bumi  kini dan  disini.[33]
Keselamatan  dalam hidup  harian (Keselamatan Batiniah)
Unsur keselamatan dalam hidup harian suku Mee, keselamatan secara batiniah,. Berkaiatan dengan pokok tersebut suku Mee dalam kehidupan harian memahami keselamatan  sebagai  suatu saat dimana  mereka  terhindar dari  marah bahaya saat di mana  mereka  hidup  dalam  suasana  damai  bahagia. Kedua  situasi  ini  mengantar  untuk  melihat  keselamatan  sebagai situasi yang  mengantar  mereka untuk  melihat  keselamtan.
Terhindar  suatu masalah, penderitaan  mengantar  suku  Mee  untuk  merasa suasana hati yang aman, tenang, bahagia damai. Semua itu  merupakan suasana batin  yang hanya  dirasakan agak sulit untuk  diungkapkan. Dalam  suasana  demikian mereka  bergerak  bebas tanpa ada hambatan, sungguh-sunggu bila  dirayakan. Situasi  seperti   aman, bahagia, tenang, damai, tercipta pada saat  tidak ada  perselisihan  pertentangan  antara  sesama, tidak  ada bencana, hasil kebun ternak yang berlimpah. Pada saat seperti itulah suku Mee  merasakan dirinya mengalami  makna kehidupan yang  sebenarnya. Suasana bantinya tenang, dan tidak ada  beban.















Mitos Ugatame dan Koyeidaba
Sebagai  Dasar  Kepercayaan  Masyarakat  Suku Mee

Latar belakang
Suku Mee mendiami daerah pengunungan tengah bagian barat, tepatnya di pedalaman  Kabupaten Paniai dan empat Kabupaten dari, Kabupaten  Nabire. Dalam mitos Ugatame dan Koyeidaba ini, Ugatamee adalah pencipta, dan Koyeidaba dikatakan bahwa pada waktu KOYEIDABA masih hidup ia mengasilkan benda-benda sepereti makanan, babi, mege (kulit kerang yang berfunsi sebagai uang) dan lain-lain. Ia punya rencana untuk membebaskan mereka dari situasi pensengsaraan, namun mereka berlanjur membunuh dia. Ia juga meninggalkan  babi untuk dipeliara oleh mereka namun hal itu mereka tidak dilaksanakan. Setelah KOYEIDABA meninggalkan terjadilah kesengsaraan.Karena itu mereka mendabahkan keselamatan pada sekarang. Keselamatan itu nanti akan di bahwa oleh KOYEIDABA.[34]
          Nooukuu yang membimbin mereka dalam hidup mereka sekarang ini hanya menyiapkan kedatangan KOYEIDABA berfunsi sebagai pengantara sementara. Padasaatnya  KOYEIDABA  sendiri akan datang untuk memberikan kekayaan dan kemerdekaan. Dalam rangka itulah Nooukuu menyiapkan kedatangan KOYEIDABA. Kegiatan ini dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya (dalam aliran Utoumana) dengan mempertahakan benda-benda asli seperti petatas (Kadakaga), babi dan beberapa jenis makanan lainya. Sebab menurut mereka semua jenis  makanan  akan  hilan  kecuali makanan  yang  ada  waktu KOYEIDABA masih hidup(makanan asli). Kemudian juga menjaga kebersihan, hidup dalam ketenagaan, hidup berkelompok, saling membantu, tidak membuat keributan dan perkara. Hidup dalam ketenangan, hidup  berkelompok, saling membantu, membuat keributan dan perkara. Semua itu dilakukan di bahwa bimbingan dan  perintah dari Nookuu.
Dalam versi lain dikatakan bahwa keselamatan akan diberikan oleh KOYEIDABA dengan cara memberikankemerdekaan kekayaan kepada mereka. Jadi dapat dikatakan bahwa yang menjadipembawa keselamatan  adalaha KOYEIDABA.[35]Mata pencarian masyarakat suku Mee adalah bertani atau bercocok tanam secara menetap. Dalam buku Etnografi Irian Jaya Agus Alua melukiskan,”Kebudayaan merupakan ungkapan nilai hidup dihayati,diperjuangkandiharapkan dalam pergumulan hidup keselamatan.Nilai hidup yang perjuangkan orang Mee adalah hidup aman dan hidup berkelimpahan.Kedua nilai Ugatame dan Koyeidaba itu merupakan puncak kehidupan orang Mee”Ugatamee sebagai pencipta, dan Koyeidaba adalah pembawah keselamatan, hidup. Sisi lain  juga  Orang Mee merasa dan terancam dari bahaya roh-roh jahat, magi-magi hitam dari orang lain.Selanjutnya ia mengatakan situasi aman dibutukan orang dapat mencapai kelimpahan hidup yang menjamin kesejateran dan kebahagiaan”.Selain itu juga suku Mee menaati nilai dan norma yang mengatur hubungan dengan sesama manusia, alam roh-roh dan pada ahkirnya dengan Ilahi, dalam bahasa Mee disebut Ugatame(pencipta). Semuanya ini ditaati dengan sadar dan tahu,demi hidup yang aman, damai dan bahagia.Suku  Mee yakin Koyeidaba membahwa keselamatan.Sebab itu orang Mee mesti memperjuangkan melalui kerja keras dan merayakan upacara-upacara untuk memperoleh kebehagiaan kini dan disini.Lebih jelas lagi Misionaris masuk di wilayah Paniai membawah Touye mana, kabar gembira, pemahaman seperti ini berlaku sebelum masuknya perubahan dikalangan suku Mee.Mengingat akan penggeseran nilai seperti yang diuraikan di atas, ini penulis sebagai orang Mee merasa terdorong untuk  mengapdikan konsep mitos Ugatame dan Koyeidaba dalam tulisan ini.[36]
Koyeidaba dilahirkan dalam keluarga miskin, tetapi dalam perkembangan kemuadian iasangat berpaengaruh dalam hal ekonomi dalam keluarga maupun di kalangan masyarakat umum. Makanan berkelimpahan  di rumah keluarga Koyeidaba, sementara  masyarakat yang lain hidup dalam kekuaranganmasyarakat lain melihat kondisi hidup keluarga Koyeidaba sangat  baik, maka orang lain mencurigai Koyeidaba merampas semau kekayaan untukkeluarganya. Namuntindakan demuikian, koyeidaba hadir ditengah masyarakat untuk mendatangkan makanan bagi semua suku Mee.Dengan kecurigaan dari para leluhur Mitos suku, Mee, maka mereka bersepakati bersama untuk membinuhnya. Orang banyak  berdatangan  untuk  mengepung rumah Koyeidaba, dan ia melarikan diri menuju ke arah bukit, namun orang berhasil menahan dan  membunuhnya.[37]
Demikian pula dalam hal pemberian tubuh mereka yang dijadikan sebagai makanan atau santapan.KOYEIDABA tubuhnya dipotong- potong, dibagi- bagi dan dimakan.Sama halnya dengan Yesus, bahwa dalam Perayaan Ekaristi kita menyantap atau makan tubuh-Nya.Tetapi tetap saja ada perbedaan antara keduanya. Tubuh KOYEIDABA adalah dagingnya yang dimakan, sedangkan tubuh Yesus dimaksudkan sebagai lambang kenangan akan Dia dalam rupa Roti dan Anggur.


Perumusan  Masalah
Masalah yang akan digumuli dalam Tulisan  ini adalah konsep mitos Ugatame dan  Koyeidaba  sebagai dasar kepercayaan masyarakat suku Mee. Persoalan pertama dan pokokadalah mengapa mitos ini dikatakandasar kepercayaan?Bagaimana pola Penunturanya? Siapa-siapakah berwenang dalam penanganan masalah ini?sebagaimanayang terungkap dalam istilah Mitos Ugatame dan Koyeidaba. Penulis membatasi pada konsep mitos Ugatame dan Koyeidaba sebagai
membawah keselamatan bagi suku mee sebagaimana yang dipahami secara tradisiona,konsep mitos Ugatame dan Koyeidaba dalam masyarakat masih bertahan saat ini.akan ditinjau secara antropologis.
Tiga  pertanyaan  yang akan  menjadi sorotan utama dalam tulisan  ini adalah:
Apa  yang  dimaksud  dengan konsep mitos  Ugatame  dan Koyeidaba?
Bagimana  caranya  orang Mee memperjuangkan mitos Ugatame  dan Koyeidaba?
Dan bagaimana pengakuan terhadap orang yang mengalami musibah mitos Ugatame  danKoyeidaba  sebagai dasar  membahwa keselamatan?
Tujan dan manfaat penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah unuk mengangkat dan mengapdikan Mitos Ugatame dan Koyeidaba yang dihayati sebagai dasar  kepercayaan masyarakat suku Mee, secara tradisional.
a). Tulisan ini akan bermanfaat bagi generasi muda orang Mee, dalam  upaya memahami pentinya nilai Mitos Ugatame dan Koyeidaba yang terdapat dalam kebudayaan asalnya.
a). membantu dan memberikan inprasi mengenai mitos Ugatame dan Koyeidaba kepada  masyarakat dan setiap pastoralnya, dalam pelayanan pastoral yang sesuai dengan pemahaman konsep keselamatan  local dalam kebudayaan Mee.
D.Metode  Penulisan
Dalam metode penulisan skripsi ini,kami menggunakan tiga metode pengumpulan data-data. Adapun metode tersebut adalah  sebagai berikut:
Studi Kepustakaan (Liberary).Melaluimetode ini, penulis membaca beberapa buku,majalah-majalah dan skripsi yang ada kaitanya dengan mitos Ugatame dan Keyeidaba keselamatan menurut  suku Mee.
Wawancara (Iterview) metode ini saya gunakan untuk wawancarai tiga orang Mee di  jayapura, yang cukup, mengetahui tentang konsep mitos Ugatame dan Koyeidaba  sebagai keselamatan orang Mee/ tradisional. Ketiga  orangtersebut adalah antara lain, Pilipus Bipai Degei adalah mantan MRP di Expo,Thomas Bunai sebagai sebagai pegawai negeri di kantor Pengadilan Tinggi Negara di Kali  acai.
Fefleksi pengalaman pribadi sebagai orang Mee dalam mengayati mitos Ugatame dan Koyeidaba pembahwa keselamatan orang Mee.
E .Sistematika  penulisan
Tulisan ini akan dibuat dengan mengikuti sistematika terdiri atas empat bab sebagai berikut:
Bab I,merupakan Bab pendahuluhan. Bab  ini memuat tntang latar belakang, perumusan masalah, tujuan , metode dan  sistematika  Penulisan.
Bab II,ini penulis akan menguraikan keselamatan mitos Ugatame dan Koyeidaba sebagai dasar kepercayaan Masyarakat suku Mee, suatu konsep tradisional
Bab III, Penulisakan membeberkan tentang bagaimana orang Mee berjuang dan memperolehnya mitos Ugatame dan Koyeidaba  ini adalah pembawah keselamatan
Bab IV, Penulis mempaparkan pengakuan terhadap orang yang mengalami keselamatan
Tulisan ini akan diakhiri Bab Penutup yang akan berisikan kesimpulan dan saran
F.   Daftar   Pustaka
Buku-buku
Daftar   Primer
Susanto  P, S, hari,  Mitos  menurut   pemikiran  Mircea  eliad,  Kanisius  Yagjakart, 1987
 Strauss,  Claudius  Levi,  Mitos  dukun, shir,  kanisius  Jakarta
Gavin D, Costa, Mempertimbangkan  Kembali  Keunikan  Agama Kristen, Mitos  Teologi  Pluralistis  Agama-agama   Cetak 1- Jakarta: Gunung  Mulia, 2002
George  Kirch berger dan Jon, M, Prior, Yesus  Kritus  Penyelamat misi  pelayananya  di Asia.
Agus A, Alua, Gambaran makluk  ideal dalam Mitos-mitos Irian sebelum dan  sesudah  bertemu  dengan  kristus  Karya  tulis  Ilmiah
Daftar  Sekunder
Fransiskus  Tekege  Makalah  ahkir , Mitos  Pembunuhan  Koyeidaba STFT”FT”
Bikmut  Aquino  Uropmabin, Skripsi  Mitos Awi dan  KAKA I ASE,   Suatu  dasar  Kepercayaan  suku  Ngalum
Agapa  Bosco, Skripsi:Utoumana ,menurut  pandangan  Suku  Mee
Albertus  Jhon  Bunai:Yesus  Nota  kehidupan  dan Keselamatan  orang Mee
Yoseph Bunai, Aji  dan Mobu Skripsi: Keselamatan  inisial dan Kekal  Menurut  Pemahaman orang  Mee STFT,FT’ Jayapura 2000

Artikel
Magda Pigome: Majalah suara Fajar Timur, Mitos Koyeidaba Berkristologi Dalam Konteks  Budaya  April  1969
Gaya Keuskupan Timika, Paham Keselamatan Budaya Meeoktober  2009






MITOS   UGATAMEE   DAN   KOYEIDABA
SEBAGAI   DASAR  KEPERCAYAAN  MASYARAKAT   SUKU MEE


DSCN1123
 






Dosen   Pengasuh


Jhohanes  Maturbongs M,Hum
OLEH
NAMA            :           Yance   Yanuarius   Yogi
N I M :           08010300
Tugas :           Mid Semester

SEKOLAH   TINGGI  FILSAFAT  TEOLOGI “FAJAR  TIMUR”
ABERURA-JAYAPURA
PAPUA-2011
























Ada  beberapa  faktor yang  menjadi alasan utama  bagi penulis, pertama  adalah  demi mengembangkan gereja lokal, juga untuk mengembangkan  gereja lokal yang  sarananya  barsal dari daerah setempat. Pengembangan gereja di daerah paniai, sebagai bagian intergral dari  gereja universal turut berperatian  terhadap perkembagangan segala bidang. Perkembagan itu  mengakibatkan  masyarakat kecil menjadi korban. Karena  itu  penulis  merasa  perlu  menyediakan  sarana berpastoral  dalam  bentuk  tulisan  kecil   ini. Salah satu gejala pribumian gereja dewasa ini  adalah  ini kulturasi yang  bertujuan untuk  mengankat  mertabat  manusia dan harga diri  warga  gerejanya. Gereja  kristus  di daerah paniai pun sedang gelanda dengan  gerakan inkulturasi ini. Gereja  di daerah paniai justru menerima  baik  gereja dengan wajah inkulturatif ini, namun  mengalami  kesulitan  dari  tenaga potensial maupun sarana pendukung lanya. Untuk  mendukung  gereja dalam  upaya membangun  gereja  yang  berwaja   inkulturatif  ini. [38].
Kedua ,tulisan ini bersifat “intro bagi pembaca yang hendak  berkarya di  daerah  paniai. Untuk  mengenal  manusia  Mee dan mencintai  merek, dan  untuk  diterima oleh manusia Mee, menyatu dengan budaya orang  Mee  maka perlu  diadakan  perkenalan  awal. Salah  satu jalurnya melalui  masa media seperti  tulisan kecil ini
Ketiga kencangnya modernisasi, mengakibatkan krisis di berbagai aspek kehidupan manusia. Era globalisasi dan informasi  di Papua pada  umumnya dan  pada khususnya di daerah Paniai  masuknya  perusahan-perusahan  besar  wisatawan asing  yang  meningkat, arus  teransminggrasi dan migrant yang  semakin meningkat, semuanya  mengakibatkan krisis  identita, struktur social, norma-norma kehidupan yang telah  berdarah daging, system-sistem kehidupan ekonomi, politik, sosial, religi yang  kosmologis, tanah  adat dan kebiasaan  hidup  yang telah normatif, semuanya ini  berada  di  ambang  kehancuran  dan gigantikan dengan pola dan  bentuk  yang baru, yang  sangat  meragukan  mengancam seluruh perbedaan mereka. Masa depan bagi mereka sedemikian  curam. Para  pemilik  moda, pengetahuan, uang  dan  pengalaman  melihat kondisi social  budaya yang  ada  sebagai  kesempatan  untuk  mengembangkan  kariernya.
Penduduk  di Papua  pada umumnya  dan  suku Mee  pada  khususnya kini berada  persimpanagan  jalan. Mereka  sendiri  merasa  diri belum siap namun pengaruh luar masuk dan   dan  memaksa mereka untuk menerima dengan  kehadiranya sambil menolak tradisinya yang  merupakan  bagian  dari  dirinya  sendiri. Penduduk setempat  dengan rela mau menerima kehadiran  pengaruh luar, dengan  rela melepaskan  pula kebiasaan-kebiasaan lama, tetapi tetap mereka bingung. Diantara  ketiga  bidang  itu yang lebih menonjol adalah masalah ekonomi  karena seluruh  daerah  paniai  mengalami musibah kelaparan . pada  masa  kelaparan  ini  tersebut, hadirlah  makluk ideal  yang disebut sebagai tokoh ini. Disatu  piak Koyeidaba  dipandang sebagai kisah mitos dan  dilain pihak  dipandang  sebagai kisah kenyataan  yang terjadi  dalam  masyarakat  pada masa  lampau.
Koyeidaba  dilahirkan  dalam  keluarga  miskin, tetapi dalam  perkembangan  kemuadian  ia  sangat  berpaengaruh dalam hal  ekonomi  dalam  keluarga  maupun  di kalangan  masyarakat umum. Makanan  berkelimpahan  di rumah  keluarga  Koyeidab, sementara  masyarakat yang  lain  hidup dalam  kekuarangan. [39][40]masyarakat  lain  melihat kondisi hidup keluarga keoyeidaba sangat  baik, maka  orang  lain mencurigai Koyeidaba merampas semau kekayaan  untuk  keluarganya. Namun  tindakan  demuikian, koyeidaba  hadir  ditengah masyarakat untuk  mendatangkan makanan  bagi  semua orang  Mee. Dengan  kecurigaan  dari para  leluhur  Mitos orang  ,Mee, maka  mereka bersepakati bersama untuk3.[41]membinihnya. Orang  banyak  berdatangan  untuk  mengepung rumah Koyeidaba, dan  ia  melarikan diri menuju ke  arah bukit, namun orang berhasil  menahan  dan  membunuhnya.
Penulis  mengankat  masalah  mitos Koyeidaba  sebagai  dasar  kepercayaan  Masyaraka  Suku  Mee  Koyeidaba  ini, karena  karya  tulis  ini  merupakan  topic baru  atau  masalah  yang  belum pernah  ditelitih oleh  para  pendahuluh  tetapi  hanya  mereka  mengambarkan  secara garis besar, sehingga  penulis  mentuangkan  lebih mendalam, tetapi  pendahuluh  yang  pernah kuliah STFT”FTn”  dalam  skripsinya Agus  A, Alua dan Magda Pigome dan Skripsi Bosco Agapa, pernah  menyingung tentang mitos Koyeidaba, dan  dalam Makalah ahkir  Fransiskus  Tekege juga  pernah menyingun  tentang  pembunuhan Koyeidaba  tapi  tidak jelaskan  secara  khusus tentang  peristiwa  Mitos  Koyeidaba. Maka  kini  penulis menggarap  mitos Koyeidaba, dan  sebagai dasar  kepercayaan Suku Mee.

KEBUDAYAAN
UPACARA PERKAWINAN DI RUMAH LAKI-LAKI DALAM TRADISI SUKU MEE

1. PENDAHULUAN

1. 1. LATAR BELAKANG
Perkawinan menurut masyarakat adat suku Mee adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita (suami-isteri) sampai mati dengan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia berdasarkan nilai hidup yang dimiliki oleh suku Mee. Untuk mempertahankan meneruskan  menurut ke-bapa-an, karena sistem keluarga suku Mee ialah patrilinear (hubungan melalui garis kerabat pria saja, Bapak), maka upacara perkawinan selalu diadakan di rumah laki. Ini menjadi tradisi dalam suku Mee. Menurut pandangan suku Mee sahnya perkawinan apabila telah mengadakan upacara perkawinan dalam memberi dan menerima harta mas kawin mege (kulit biah) dan mengadakan upacara-upacara perkawinan di rumah laki-laki, agar keluarga hidup dalam keadaan yang aman, jika anak laki-laki untuk mempertahankan atau menurunkan marganya. Kenyataan menunjukkan bahwa peranan wanita, kehidupan wanita dan citra simbolis wanita pada waktu yang berbeda-beda tempat, mulai tampak dengan jelas dan kegiatan upacara perkawinan diadakan secara serius mengenai dunia wanita. Dalam hal ini wanita dalam tradisi suku Mee dijunjung tinggi karena pada zaman sebelum mengenal kemajuan secara adat ekonominya rendah dan ketika mengenal kemajuan adat dapat dikuasai ekonomi oleh wanita.

1. 2. MAKNA PERKAWINAN DALAM DALAM TRADISI SUKU MEE
Pekawinan dalam tradisi suku Mee mulai terjadi saat calon pasangan suami-isteri keluar dari rumah orang tuanya atau marganya. Kemudian perkawinan menjadi sah setelah pihak kerabat wanita menerima mas kawin sesuai dengan permintaannya kepada pihak kerabat lelaki. Upacara-upacara yang telah dibuat itu besifat peneguhan saja. Upacara-upacara ini selalu menampilkan segi religius dari perkawinan.
Perkawinan dalam tradisi suku Mee mempunyai suatu cita-cita yang Religius. Upacara dalam tradisi suku Mee selalu dilaksanakan dalam suatu ritus atau upacara. Ada beberapa hal yang menjadi dasar perkawinan adat dalam budaya suku Mee, yaitu persetujuan kedua fam (fam suami disatu pihak dengan fam isteri dipihak lain); Pemberian harta mas kawin yang dituju kedua fam; Adanya keturunan.

2. UPACARA PERKAWINAN
Sebelum melaksanakan  upacara perkawinan ini ada beberapa hal yang harus dilalui, yaitu:
2. 1. Persiapan
Persiapan dalam perkawinan dalam tradisi suku Mee, bahwa pihak lelaki harus mempersiapakan atau mengumpulkan harta mas kawin, dan mempersiapkan tempat  untuk mengadakan pelaksanaan upacara perkawinan. Kedua hal ini mengetahui secara bersama-sama dalam masyarakat umum kampung itu, yaitu:
Persiapan dalam pengumpulan harta maskawin, keluarga calon suami ini memberitahukan kepada kerabat-kerabatnya dan juga orang-orang dari kampung itu untuk membicarakan dan mengumpulkan harta maskawin yang telah ditentukan oleh pihak perempuan itu. Apa yang mereka telah kumpulkan, baik dari kerabatnya maupun dari orang lain itu besifat hutang (Iyoweta). Hutang itu sebagai tabungan kepada anak-anak laki-lakinya. Hutang itu akan diambil oleh anak laki-laki pada saat anak perempuan dari kedua pasangan baru yang akan  dilangsungkan ini diambil pada saat anak perempuannya itu kawin. Kalau pasangan baru ini, apabila anak-anaknya laki-laki saja, maka hutang-hutang (Iyoweta-iyoweta) itu dikembalikan dari anak-anaknya tersebut.
Persiapan tempat dalam rumah atau di halam rumah, dalam tradisi suku Mee rumah atau halaman rumah sudah dikhususkan untuk menyelesaikan masalah-masalah besar termasuk, upacara perkawinan ini. Dan tidak sembarangan tempat, maka dilaksanakan atau diselesaikan di rumah laki-laki (Emaa Owa atau Yameka Owa) atau halaman rumah laki-laki “yameka owa yibuda” disebut juga sebagai tempat sakral untuk menyelesaikan masalah-masalah atau hal-hal besar. Rumah laki-laki (Emaa Owa atau Yameka Owa) atau yameka owa yibuda disebut sebagai tempat sakral karena tempat menimbah pikiran-pikiran sehat dan nasehat-nasihat yang bersifat sakral dari orang tua. Dengan demikian hal perkawinan juga dianggap bahwa masalah yang besar, maka perkawinan harus diselesaikan dan saksikan secara bersama-sama dan tempat yang sakral.

2. 2. Penjemputan calon isteri baru dan pihak perempuan.
Penjemputan kepada calon isteri baru dan pihak orang tua perempuan, dijemput oleh kedua oarng tua laki-laki dan beberapa kerabatnya. Tujuan  dari penjemputan kedua orang tua dan beberapa kerabatnya perempuan yang sama umurnya dengan calon isteri baru tersebut, ini mempunyai fungsinya masing-masing. Fungsi dari ayah, memberi nasihat kepada calon isteri baru itu, agar dia pepang pada nasihat dan menjadi pegangan hidup dalam kehidupan keluarganya; fungsi dari ibu, memadamkan semua ketakutan dan ketegangan (meda dimii yadaimaii) yang ada dalam diri calon isteri baru tersebut; dan fungsi dari beberapa kerabatnya, menghibur dan mengajak cerita kepada calon isteri baru tersebut. Agar tidak merasa malas dalam penjemputannya.

2. 3. Peserta
Dalam pelaksanaan upcara perkawinan dalam tradisi suku Mee diartikan sebagai hubungan dua orang berbeda jenis kelamin yang mempersatukan mereka dalam segala aspek. Dengan adanya kesatuan ini mereka tidak lagi terikat pada orang tua melainkan hidup secara mandiri dan bertanggung jawab atas keluarganya. Hubungan pria dan wanita ini diakui oleh kerabat dan masyarakat umum. Dalam hal ini masyarakat mendukung hubungan atau perkawinan tersebut, maka perkawinan menjadi suatu lembaga yang sah. Perkawinan  adalah suatu lembaga yang sah, maka dalam pelaksanaan upacara perkawinan, harus diketahui secara masyarakat umum dan dilaksanakan tempat terbuka yang dinyatakan sakral, yaitu “Ema Owaa” atau “Ema Owaa yibuda” (di rumah atau di halaman laki-laki). Untuk itu ada orang tua kedua belah pihak, para saksi, dan keluarga atau kerabat lain dari kedua belah pihak tersebut. Ketiga hal tersebut akan dijelaskan di bawah ini.
Orang tua kedua belah pihak ini, sebagai subjek utama dalam pemberi dan penerima. Dan juga titik penentu untuk kedua calon ini jadi suami-isteri atau tidak.
Para saksi, saksi ini orang-orang yang lebih tua atau yang sudah berpengalaman dalam berbagai hal yang mewakili dari kedua belah pihak lelaki dan perempuan. Kemudian kedua calon baru ini akan sumpah janji di hadapan umum lebih khususnya di hadapan para saksi ketika upacara perkawinan berlangsung. Dengan dilakukan ini supaya keluarga yang sah.
Keluarga atau kerabat lain dari kedua belah pihak, kerabat pihak lelaki ini dengan tujuannya hanya menyaksikan sahnya bagi kedua calon baru tersebut. Sedangkan kerabat pihak perempuan ini dengan tujuan menerima harta mas kawin sekaligus menyaksikan pelaksanaan upacara tersebut.

2. 4. Tesis.
        Dalam kebudayaan upacara perkawinan di rumah laki-laki, perlu dikenal dan diangkat nilai-nilai kebudayaan dalam suku Mee. Hal-hal di atas inilah yang harus dilakukan atau ditempuh oleh pihak lelaki untuk membentuk keluarga baru.

3. PELAKSANAAN UPACARA PERKAWINAN DALAM TRADISI SUKU MEE[42]
Pelaksanaan upacara perkawinan dalam tradisi suku Mee dilaksanakan setelah kerabat kedua belah pihak menyepakati bersama besarnya mas kawin. Kemudian pihak kerabat pihak kerabat wanita menerima maskawin tersebut, sesuai dengan permintaannya. Upacara ini menampilkan segi Religius dari perkawinan. Upacara ini berhubungan erat dengan Sang Pengusaha “Ugatame” (Tuhan atau Pencipta) yang diyakini sebagai Pencita, Pengelenggara, Pelindung, dan Pemelihara manusia dan alam semesta. Sering pula upacara ini ditunjukkan kepada roh-roh termasuk roh nenek moyangnya. Agar mereka melindungi, memelihara, dan memberi kesuburan dalam perkawinan tersebut.
Alasan mereka melaksanakan upacara perkawinan ini kepada “Ugatame” (Tuhan atau Pencipta) karena Ugatame (Tuhan atau Pencipta) dianggap sebagai pengatur kehidupan. Kemudian mereka juga menghormati dan memuja roh-roh nenek moyang agar tidak merusak kehidupan perkawinannya melainkan justru melindunginya. Dengan demikian dalam perkawinan ini mereka menyerahkan kepada Ugatame (Tuhan atau Pencipta) supaya hidup mereka tetap dilindungi, aman, dan tetap utuh.

3. 1. Upacara Pembukaan
Pertama-tama kedua pasangan baru mengambil tempat yang telah disediahka. Tempatnya entah di rumah atau di halaman umum. Pokoknya tempat tersebut dianggapnya suci atau sakral. Mereka diapit oleh kaum kerabat laki-laki yang menempati posisi bagian kanan dari pasangan baru tersebut. Dan kaum kerabat perempuan  yang menempati bagian kiri dari pasangan tersebut. Sebagai pembukaan dan upacara ini, musik kaido dibunyikan oleh beberapa orang yang lebih ditunjuk dan dipercayai oleh orang-orang terkemuka. Musik ini dibunyikan selama lima menit. Musik ini dibunyikan pada awal upcara ini dengan tujuan untuk menghadirkan Ugatame (Tuhan atau Pencipta) yang diyakini sebagai pencipta, pengelenggara, dan pemelihara kehidupkan mereka. Kaido adalah alat tradisional dari suku Mee yang dibuat dari batang jubii.

3. 2. Upacara Pemberian Mas Kawin
Dalam tradisi suku Mee, unsur yang sangat penting dalam perkawinan adatnya adalah “Mas Kawin” atau “pemberian harta”. Harta mas kawin yang telah dikumpulkan oleh pihak lelaki itu, diberikan oleh pihak lelaki kepada pihak perempuan. Kemudian pihak perempuan menerima dan menghitung secara bersama-sama sekaligus memilih mege  (kulit bia) yang bermutu dan tidak bermutu. Yang tidak bermutu itu dipisahkan dan dikembalikannya. Besarnya jumlah yang dikembalikan itu meminta kembali dengan jumlah yang sama dalam bentuk mege (kulit bia) yang bermutu, seperti Bodia, yoo, dan kubawii itu yang dikategorikan mege (kulit bia) yang bermutu. Setelah terjadi demikian, pihak lelaki membicarakan bersama untuk mengumpulkan harta mas kawin yang dikembaliakan itu secara tiba-taba. Jika mege  yang baru kumpul itu apabila kekurangan, maka terjadi tawar menawar antara kedua belah pihak. Akhirnya pihak perempuan merasa, bahwa sebagai manusia mereka menerima sesuai kemampuan yang telah dikumpulkannya itu. Mas kawin ini bermaksud pula untuk memantapakan dan mempersulit, baik poligami maupun perceraian. Mas kawin ini bukan “harga beli” untuk memperoleh isteri sebagai “milik”. Mas kawin terlebih sebagai suatu kompensasi (ganti rugi) atau suatu kekuatan sosio ekonomis perempuan yang pindah ke kelompok lain  (patrilineal) sehingga asal perempuan secara sosio ekonomis diperlemah (terutama dalam kesuburan dan tenaga kerja). Bahwa isteri tidak “diberi” ternyata hal: suami tidak berhak menjual istrinya. Dalam budaya suku Mee hal yang paling menentukan sah-tidaknya suatu perkawinan adalah pemberian mas kawin.

3. 3. Upacara Peneguhan
Pada tahap ini kepala suku atau kepala adat memberi komentar bersifat nasihat dan peneguhan-peneguhan. Nasihat dan peneguhan ini bertujuan untuk memberikan pengertian kepada pasangan baru itu, agar mereka sadar bahwa, mereka bukan lagi anak kecil yang selalu berada dibawah bimbingan dan pengawasan orang tua, tetapi sekarang  sudah kawin, berarti mereka sudah melepaskan diri dari orang tua dan hidup mandiri dengan membentuk keluarga sendiri. Selanjutnya kepala suku atau ketua adat melanjutkan dengan pemberian bekal hidup dan alat kerja kepada pasangan baru tersebut.

3. 3. Peneguhan dalam Bentuk Pemberian Simbol-Simbol Perkawinan.
Pemberian simbol-simbol ini diadakan oleh kepala adat. Kepala adat memberi simbol-simbol ini pertama-tama demi mengikuti patokan-patokan hidup yang berlalu dalam adat dan demi memperkuat Kabo (Dasar) perkawinan adat, serta demi membentuk dasar bisnis, dasar kesuburan serta sebagai perkembangan keturunan.
Mege bugaiya (pasangan uang atau pasangan kulit Bia: Mege betina, dan jantang) yang telah diikat melambangkan ikatan kesetiaan antara kedua mempelai. Ketua adat mengukuhkan mereka dengan simbol ikatan mege (kulit bia) ini dengan maksud agar mereka tetap setia pada ikatan perkawinannya dan terhindar dari budaya Mogai taii (berbuat cabul), akhirnya yang dapat mengakibatkan kehilangan nyawa bagi pasangan yang telah melakukan mogai (cabul) tersebut. Melalui simbol ini pula marga dan kaum kerabat pria disatukan pihak marga dan serta kaum kerabat perempuan dilain pihak diikat menjadi satu keluarga. Peneguhan dalam rupa ikatan mee (kulit bia) ini juga merupakan peletakan dasar dan kekuatan untuk berbisnis dalam kehidupan selanjutnya.
Kemudian pemberian bibit-bibit tanaman, seperti bibit petatas, bibit tebuh, bibit sayuran, dan bibit ternak. Ini merupakan juga peletakan dasar dan kekuatan hidup dan berbisnis pula. Peneguhan yang ditandai pemberian simbol ini dilakukan pula sebagai peletakan dasar kesuburan tanaman dan ternak mereka, agar dengan kesuburan itu mereka mampu membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan sehat sampai dewasa.
Pemberian “patau” (sikop dari kayu), “maumii”(kampak dari baru) dan anak-panah (uka-mapega) ini sebagai bekal untuk kerja dan untuk melindungi dan menjaga keamanan keluarga dari bahaya-bahaya yang datang dari luar.
Uka-mapega (anak-panah) ini sebagai menaru pikiran laki-laki, menunjuk sebagai laki-laki, dan menjadi kekuatan dalam mencari kebutuhan keluarga di tanah orang (dua-yawii).
Pemberian lokasi, orang tua nembagi lokasi untuk berkebun. Kedua pasangan baru ini tidak lepas dari orang tua dalam arti membantu orang tua, baik membersihkan dan membuat kebun, mencari kayu, dan menyiapkan makanan kepada orang tuanya.

3. 5. Mimpi Pada Haid Pertama (Tikago Dawapa Bagume)
Mimpi yang dialami oleh pengantin wanita pada haid pertama (tikago dapawa bagume) merupakan salah satu hal yang paling penting dalam perkawinan dalam tradisi suku Mee dan harus diungkapkan ketika upacara perkawinan berlangsung.
Hal-hal yang telah dialami oleh pasangan penganting dalam mimpi tersebut menentukan masa depan keluarga tersebut. Sukses-tidaknya kehidupan keluarga, mengenai kematian salah satu anggota keluarga, mengenai pengelewengan salah satu pasangan dan lain-lain, pokoknya seluruh seluk-beluk kehidupan yang keluarga akan dialami dalam mimpi tersebut. Hal-hal di atas tersebut diketahui setelah mimpi tersebut ditafsirkan oleh para penafsir mimpi. Apabila ternyata si perempuan tersebut mengalami mimpi buruk, maka keseekokan harinya mereka mengadakan Witogai (Ritus pengucian). Hal ini dilakukan agar pasangan ini terhindar dari bahaya yang dialami oleh si wanita dalam mimpi tersebut.

3. 6. Upacara Penutup
Upacara ini diakhiri dengan musik kaido. Dan selanjutnya dilanjutkan dengan cerita dongen. Cerita-cerita ini diberikan oleh para penatua  dari masyarakat setempat. Kemudian keesokan harinya kerabat wanita meninggalkan rumah lelaki, lalu pulang kerumah mereka masing-masing.

3. 7. Tujuan Upacara Perkawinan Dalam Suku Mee.
Mengenal dan mengankat nilai-nilai kebudayaan pada suku Mee. Agar generasi kegenerasi  dapat menanamkan nilai-nilai budaya aslinya. Bagi setiap orang yang hidup dalam budayanya, maka orang mudah mengenal budaya orang lain.

4. PENUTUP
Upacara perkawinan dalam suku Mee merupakan budaya yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lebih khususnya dalam kehidupan keluarga. Karena keluarga tidak terlepas dari budaya aslinya. Budaya upacara perkawinan tradisi suku Mee ini ada beberapa upacara yang harus dilaksanakan di rumah laki-laki untuk menjadi suami-isteri. Hal-hal yang harus dilaksanakan sampai menjadi suami isteri adalah mulai dari persiapan sampai upacara penutup. Dalam persiapan ini pihak lelaki harus berusaha untuk mengumpulkan harta mas kawin, rumah atau tempat untuk pelaksanaan upacara perkawinan, penjemputan calon isteri baru oleh kedua orang tua lelaki dan beberapa saudari kerabatnya. Peserta  yang harus hadir dalam upacara perkawinan ini, baik saksi dari kedua belah pihak, kerabat lain dari kedua belah pihak, dan keluarga lain. Dan langkah berikutnya yaitu pelaksanaan upacara perkawinan. Inilah yang inti dalam upacara perkawinan dalam tradisi suku Mee. Upacara perkawinan dalam tradisi suku Mee ini, ada beberapa ada beberapa hal yang perlu lalui bersama berdasarkan nilai-nilai budaya dan nilai-nilai agama. Yang menjadi utama dalam upacara ini berhubungan erat dengan Sang Pengusaha Ugatame yang diyakini sebagai Pencipta, Pelindung,  dan Pemelihara manusia dan alam semesta. Dalam upacara perkawinan ini langkah-langkahnya harus yang harus dilalui adalah upacara pembukaan, upacara pemberian mas kawin, upacara peneguhan, upacara dalam bentuk pemberian simbol-simbol perkawinan, mimpi pada haid pertama (tikago dawapa bagume) dan upacara penutup. Itu semua menjadi dasar dalam langkah awal untuk menjadi suami isteri dalam hidup keluarga. Dengan upacara-upacara inilah mengakhiri perkawinan dalam tradisi suku Mee.



PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Makna  Perkawinan dalam tradisi suku Mee

UPACARA PERKAWINAN.
Persiapan
Penjemputan calon isteri baru.
Peserta
Orang tua dari kedua belah pihak.
Saksi dari kedua belah pihak.
Keluarga atau kerabat lain dari kedua belah pihak.
 2. 4. Tesis
3. PELAKSANAAN UPACARA PERKAWINAN DALAM TRADISI SUKU MEE
Upacara pembukaan
Upacara pemberian mas kawin
Upacara peneguhan
3.4.Upacara peneguhan dalam bentuk pemberian simbol-simbol perkawinan
Mimpi pada haid pertama (Tikago dawapa bagume)
 Upacara penutup
3.7.Tujuan perkawinan dalam tradisi suku Mee
      4 .  PENUTUP


PENGENALAN TENTANG SUKU MEE  DI  PEDALAMAN  PAPUA

Nama dan Bahasa
Nama Suku

          Masyarakat Paniai menyebut dirinya sebagai Suku Mee atau sering di sebut juga Ani Mee atau Ani Makodo Mee. Sebutan ini membedakan sebutan dari luar suku yaitu Suku Moni  yang biasanya menyebut Suku Mee dengan sebutan Suku Ekagi atau Ekari. Dan orang Pantai dalam hal ini Suku Kamoro yang menyebut Suku Mee Kapauku  (Orang Gunung). Kedua sebutan ini, secara umum tidak diterima oleh Suku Mee, karena berkonotasi negatif [43].
Suku Mee terdiri dari kurang lebih 136 marga/fam. Marga atau fam inilah yang mendiami seluruh wilayah Paniai secara umum.                       
         Manusia Mee artinya “Manusia sejati”.
Bahasa

          Bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi sehari-hari adalah bahasa Mee. Namun dalam pemakain gaya bahasanya mengikuti tiga dialeg besar yaitu : Dialeg Mapiah, Dialeg Tigi dan Kamuu, serta Dialeg Paniai (Enagotadi).
Misalnya : Sapaan Kata Selamat: Orang Mapiah menyebut Koha, Orang Kamuu dengan Tigi menyebut Koha dan Orang Paniai (Enagotadi) menyebutnya koya “Amanai.[44]







Pengenalan Letak Geografis[45]
lokasi
          Suku Mee mendiami jatung pulau Papua yang berbentuk burung Mambruk ini. Dan tempat kediamannya secara umum disebut Paniai. Kini daerah ini terdiri dari tiga Kabupaten yaitu : Kabupaten Paniai (Enagotagi), Kabupaten Deyai (Wakeitei/Waghete), dan Kabupaten Dogiyai (Moanemani). Daerah Paniai memimiliki tiga danau besar yaitu : Danau Paniai, Danau Tage, dan Danau Tigi. Ketiga danau ini, terletak di Kabupaten Paniai dan Kabupaten Deyai. Sedangkan di Kabupaten Dogiyai terdapat juga dua Danau Kecil yaitu : Danau Makomo dan Danau Pekawagi. Kedua danau inilah yang mengiri sepajang Lembah Kamuu sampai di Kali Uta Kokonau Kabupaten Mimika.
          Secara  agraris pusat daerah Kabupaten Dogiyai adalah daerah yang subur. Karena letak wilayah ini pada umumnya lembah yang dikelilingi oleh perbukitan dan gunung yang tinggi. Dan sering di kenal dengan sebut Lembah Kamuu Yang Hijau (Kamuu Green Valley). Sedangkan Kabupaten Paniai dengan Kabupaten Deiyai memiliki daerah yang terdiri dari perbukitan dan pegunungan. Dan merupakan tempat hunian masyarakat. Dan secara agraris kedua daerah ini “kurang subur”.
Untuk menempuh ketiga kabupaten ini, biasanya ditempuh dengan menggunakan Transportasi Darat dan Transportasi Udara.
Perbatasan berdasarkan letak geografis Suku Mee menunjukan, bahwa di wilayah Paniai bagian Timur berbatasan dengan Suku Moni. Sedangakan bagian Barat berbatasan dengan Suku Kamoro (Mimika). Dan bagian Selatan berbatasan dengan Suku Amungme (Agimuga), bagian Utara berbatasan dengan salah satu suku asli Nabire/pesisir pantai yang biasanya orang mee menyebutnya dengan istilah orang buna (Nabire).
Dearah Suku Mee merupakan wilayah pelayanan kegerejaan Keuskupan Timika, yang di bagi dalam dua Dekenat yakni Dekenat Paniai dan Dekenat Kamuu-Mapiah. Dekenat Paniai membawai 9 paroki. Sedangkan  Dekenat Kamuu-Mapiah membawai 6 paroki, [46]
Daerah Suku Mee merupakan basis pekabaran Injil bukan hanya Agama Katolik, melainkan Agama Kristen Protestan (Gereja Kingmi Injili). Kedua agama ini mejadi mayoritas di seluruh daerah Suku Mee.
Sistem mata pencarian tradisional
Mata pencarian orang Mee yang pokok adalah bercocok tanam di ladang. Mereka mengenal sistim pembagian kerja antara wanita, pria, dan anak-anak, dalam kegiatan-kegiatan social seperti berladang, berburu, mengasuh anak, dan mengatur ekonomi rumah tangga.
          Pembagian kerja ini Nampak dari cara mengerjakan kebun, yang mula-mula dilakukan oleh pria ( yaitu pekerjaan membersihkan alang-alang, menebang pohon, membakar belukar, batang-batang, serta dahan-dahan kering, dan menggali parit sekeliling lahan ). Kemudian kaum wanita mengumpulkan sisa-sisa kayu, yang mereka bawa pulang untuk kayu bakar, mencungkil tanah dengan sekop, dan menanam beberapa jenis tanaman untuk makanan pokok mereka, yaitu nota,( ubi rambat/jalar ).
          Di samping memelihara babi ( Ekina ), orang Mee juga berburu kuskus pohon (Woda) dan kuskus tanah serta jenis-jenis hewan liar seperti babi hutan, burung kasuari, mambruk, maleo, dan jenis-jenis binatang lainnya.
          Orang Mee juga menangkap ikan dan udang di danau dan sungai. Pekerjaan ini mereka lakukan pada pagi, sore, dan malam hari dengan menggunakan (ebai), yang mereka benamkan di dasar danau selama dua-tiga jam, bahkan bermalam.
          Peralatan berburu orang Mee terdiri dari parang ( Mawai ), panah ( ukaa ), dan jerat pohon, dan di samping itu mereka juga dibantu oleh anjing untuk memburu binatang buruannya. Dengan ilmu gaib mereka mengharapkan dapat memanggil dan menangkap binatang. Orang Mee menagkap kuskus pohon dengan cara memasang semacam perangkap di atas dahan yang selalu dilalui oleh binatang tersebut.[47]

Organisasi   Sosial

Perkawinan
                      Perkawinan menurut masyarakat suku Mee adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita atau suami dan isteri hingga mati. Dengan bertujuan untuk membentuk suatu rumah tangga yang bahagia berdasarkan nilai hidup yang dimiliki oleh suku Mee. Untuk mempertahankan dan meneruskan warisan menurut kebapaan, karena system keluarga suku Mee ialah partilinear      (hubungan melalui system garis pria atau yang disebut Bapak ). Menurut pandangan suku Mee, secara khusunya perkawinan adalah mengadakan atau  memberi dan menerima harta maskawin dalam bahasa Mee disebut Mege Makii dengan Kulit biah dan dedege.[48]
                      Rumah tangga orang Mee biasanya terdiri dari suatu keluarga luas. Ada keluarga inti senior dengan beberapa keluarga yunior, yaitu keluarga inti anak pria 1-2 keluarga inti uxorial dari menantu, atau keuarga uxorilokal senior dari isteri saudara tua pria ayah. Dengan demikian suatu rumah tangga kadang-kadang terdiri dari 3-4 keluarga inti.[49]
         
Keluarga inti dan rumah tangga
          Dasar masyarakat Mee adalah keluarga inti monogam. Dalam masyarakat ini tampak gejala bahwa keluarga inti hanya terdiri dari seorang ibu serta anak-anaknya saja. Keluarga matrifokal yang banyak terdapat dalam masyarakat Mee agaknya disebabkan karena kaum prianya banyak merantau. Pada umumnya, tujuan daripada seorang pria merantau tersebut tidak lain adalah, untuk mencari nafkah/kebutuhan hidup bagi keluarganya. Memang banyak rencana atau tujuan dari seorang pria/sebagai bapa dalam merantau, namun semuanya demi kelangsungan hidup. Apa saja yang ia dapat di sana, entah kus-kus (Woda), Mege/dedege, dll.tersebut bila ada kelebihannya, maka ia tetap pergi menjualnya  atau berbisnis di daerah-daerah lain, mis, ia pegi menjual dalam keluaga, tetangganya (ke Kamuu, Mapiah, Paniai: Enarotali-Obano, bahkan sampai diNabire dan Jayapura).



Pemimpin Masyarakat 
          Pemimpin masyarakat Mee yang dipilih oleh pemerintah yakni Ondowafi, sedangkan pimpinan adat disebut Tonowi/Tonawi. Berbagai faktor menentukan apakah ondowafi atau tonowi yang lebih dominan. Seorang Tonowi akan memperoleh dukungan yang lebih besar apabila ia memiliki ciri-ciri yang disenangi oleh penduduk. Kewibawaannya biasanya tinggi apabila ia kaya, memiliki banyak babi dan tanah garapan, beristeri lebih dari satu, ramah, pandai berbicara dan berpidato, dan suka menolong orang lain. Sedangkan Ondowafi memiliki kekuatan pada kekuasaan yang dipaksakan kepada penduduk dengan dukungan yang diperolehnya dari atas.[50]
 ( Religi )
Sistem Kepercayaan Akan Allah
          Masyarakat Suku Mee, mengakui dan meyakini adanya Allah baik sebelum dan sesudah adanya agama sejarah. Sebelum adanya agama mereka menyebut Allah sebagai : Wado-ME (Yang Atas)/ Menaka-Mee ( Bapa Semua Manusia)/ Mepoya-mee (bapa yang kudus). Setelah adanya agama disebut Ugata-Me (Allah Pencipta), sedangkan Meyiwi (Roh Kudus). Dan Yesus di sebut Menaka[51].
          Suku Mee dalam budayanya menghayati agama asli yang terdapat didalamnya hukum-hukum Allah dalam Kitab Touyemana/ Touyekapogoye ( lembaran sabda/ lembaran kehidupan). Hukum-hukum Allah dalam kitab tersebut lebih dari sepuluh hukum yang terdapat dan di dalam ajaran Kristiani.

Upacara-upacara Daur hidup[52]
          Upacara-upacara ini dalam semua kebudayaan di dunia dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga. Orang Mee pun menyelenggarakan upacara-upacara yang dilakukan berhubung dengan kehamilan, kelahiran bayi, perkawinan, dan kematian. Seperti dalam banyak kebudayaan suku bangsa di dunia, masa hamil dalam masyarakat Mee juga dianggap sebagai masa krisis. Karena itu keluarga yang bersangkutan harus hidup hati-hati dan menaati berbagai pantangan makan, pantangan jasmaniah, pantangan rohaniah. Pada saat seorang wanita akan melahirkan, ia diasingkan ke suatu rumah yang terpisah. Proses kelahiran biasanya ditanggani oleh ibunya sendiri, atau oleh ibu mertuanya, dengan bantuan seorang dukun dari keturunan Mote Umagopa. Beberapa bulan setelah bayi lahir, diadakan upacara selamatan secara sederhana. Bayi harus mendapatkan Fam ayahnya.
Kesenian

          Masyarakat  suku Mee memiliki beragam seni dan budaya : 1. seni rupa ( anak panah dan busur) 2. seni tari ( tarian susu dan tarian koteka) 3. seni suara (14 jenis lagu seperti ; Gowai, Tupe, Wani, dll). 4. Seni Sastra (cerita-cerita adat dan mitos). Pesta budaya dalam suku Mee yang terkenal disebut Pesta Yuwo. Atribut adat suku Mee adalah koteka , moge (cawat untuk perempuan), amapa kagamapa (penutup dada), toyaagiya (noken anggrek), migabai (penutup kepala yang ukuranya sampai di pinggang tulang belakang), yato (selimut adat untuk perempuan). [53]




Pengenalan Suku Mee           
Prinsip Hidup Suku Mee
          Masyarakat Suku Mee secara umum mempunyai tiga prinsip hidup Yaitu : Dou (melihat), Yuwii (dengar), Gai (berpikir), Ekowai (bekerja). Keempat prinsip inilah yang mendasari persiarahan hidupnya. Atas dasar ini pula Suku Mee selalu berusaha memelihara keutuhan hidup melalui panca relasi : aku dengan Allah, aku dengan Diriku, aku dengan sesama, aku dengan alam semesta, dan aku dengan leluhur.
Relasi Dengan Alam Semesta
          Masyarakat suku Mee mimiliki ikatan kuat dengan makro kosmos. Hal ini tidak terlepas dari pandangan masyarakat terhadap makro kosmos itu sendiri. Masyarakat Mee memandang dan menyebut Tanah sebagai MAMA dan hewan dan tumbuh-tumbuhan ataupun pepohonan dipandang sebagai SAHABAT. Mereka ini adalah makluk hidup yang perlu dihargai karena diberi kenyamanan bagi hidup kita.
Langit dipandang sebagai tahta Allah (wadoMe) dan bumi kediaman Mama (Miyome). Dalam relasi misalnya diperlihatkan bahwa kalau masyarakat hendak melakukan perjalanan jauh, mereka  pamitan kepada langit (epa) sebagai bapa dan tanah (maki) sebagai mama agar perjalanannya selamat.
Suku Mee percaya bahwa pribadi yang memperhatikan kaidah-kaidah dalam relasi dengan alam akan mengalami keselamatan dalam hidup. Sementara bagi mereka yang tidak menjaga relasi dengan alam akan menuai malapetaka.
Relasi Dengan Leluhur
          Masyarakat suku Mee relasi dengan Leluhur merupakan salah satu unsur yang penting demi terciptanya kehidupan yang harmonis. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk upacara-upacara adat, memelihara wasiat-wasiat leluhur dan melaksanakan nilai-nilai hidup yang di wariskan oleh mereka. Masyarakat suku Mee percaya bahwa para leluhur yang baik (roh), mereka hidup di dunia ayauwouda/teneuwoda. Mereka yang menjalankan relasi baik dengan leluhur ini akan mengalami enaatene  dan karena itu hidupnya menjadi baik. Sebaliknya mereka yang relasinya buruk dengan leluhur akan mangalami peutene dan dengan demikian hidupnya menjadi kurang baik. Untuk hal ini harus di atasi dengan upacara perdamaian dan perhatian terhadap amanat yang mereka sampaikan. Dan amat itu tentunya sesuatu yang postif dan menyelamatkan.[54]
  Pendidikan
          Pendidikan adat bagi suku Mee tidak diatur secara formal dalam lembaga adat, melainkan ia berjalan sesuai dengan kebiasaannya yang sudah ada. Dalam hidupnya keluarga mendapat tempat yang sentral dalam pembentukan nilai-nilai dan norma-norma adat. Bagi anak laki-laki dia akan mendapatkan pendidikan dari ayahnya melalui nasehat-nasehat, keterlibatan dalam aktivitas sehari-hari, keterlibatan dalam aktivitas sosial, dan terutama teladan hidup ayahnya. Disini tidak mengurangi pula peran ibu dalam memperhatikan anaknya terutama pada usia pertumbuhan. Sedangkan anak perempuan mendapatkan pendidikan dari ibunya melalui nasehat-nasehat, keterlibatan dalam kegiatan sehari-hari, pembagian peran kerja, keterlibatan dalam kegiatan sosial, dan terutama teladan yang ditunjukan oleh ibunya.
Perubahan kebudayaan
          Karena letak pemukimannya yang terapit oleh deretan-deretan pegunungan yang tinggi dan lembah-lembah pegunungan yang dalam, maupun oleh sungai-sungai yang mengalir deras penuh jeram-jeram, maka daerah tempat tinggal orang Mee juga penuh dengan danau-danau besar-kecil dan rawa-rawa yang maha luas, di tenggah-tenggah hutan rimba tropik yang padat. Maka tak mengherankan bahwa upaya eksplorasi daerah itu baru terlaksana dalam tahun 1938, danau-danau itu di ekspedisi dibawah pimpinan F,J, Wissel dua tahun sebelumnya. Baru sejak tahun 1938 itulah orang Mee melihat orang yang berasal dari luar daerahnya, yaitu para penyiar agama katolik Belanda.
          Pengaruh perilaku dan cara berpikir yang serba asing tentu telah menyebabkan berbagai benturan nilai budaya. Dalam bidang agama, perubahan yang terjadi adalah bahwa masyarakat Mee sekarang telah menjalankan syarat-syarat ibadah  (Cara/aturan ibadah yang benar /sah). Dan proses penyesuaian dengan nilai asli lambat-laun terjadi juga.
          Setelah Irian Jaya menjadi bagian dari Republik Indonesia, orang Mee lebih banyak mengadakan kontak dengan dunia luar di berbagai bidang. Orang Mee dan penduduk wilayah pantai ( Pantai Selatan )  pada umumnya kini memeluk agama katolik dan agama kristen. Dengan pembangunan masyarakat desa, banyak kelompok Mee yang semula masih hidup mengembara lambat-laun  berubah dan tertarik untuk bermukim secara menetap di dalam desa-desa. [55]

Paham Tentang Kematian[56]
                      Paham tentang kematian menurut orang Mee sejak sediakala dipahaminya sebagai suatu peralihan dari dunia sementara yang biasanya di sebut dengan kedamakida menuju ke kehidupan abadi di dunia roh yang biasanya di sebut dengan imoumi imoutou makiyo (tempat abadi). Beradasarkan paham ini suku Mee berkayakinan adanya keselamatan bagi orang yang hidupnya baik, maka bagi mereka kematian tidak perlu untuk dikawatirkan. Keyakinan  ini dipertegu dengan penyampain pesan-pesan dari roh orang mati kepada orang yang hidup setelah mengalami kematian. Sedangkan bagi mereka yang hidupnya tidak baik di dunia kematian menjadi sesuatu yang menakutkan karena setelah mati rohnya akan mengalami malapetaka di peuteneuwouda. Roh yang demikian perlu adakan ritus perdamaian agar ia selamat serta keluarga yang masih  hidup tidak diganggu olehnya. Jadi, bagi orang suku Mee dunia ini adalah tempat sementara (kedaamaki) dan dunia penentuan (enama peuma witokaida) untuk kekekalan hidup di dunia roh. 
Paham Tentang Keselamatan[57]
                      Keselamaatan yang diperjuangkan oleh suku Mee adalah keselamatan kini dan keselamatan kelak. Paham tentang keselamatan ini dihayatinya dalam dua kata yang saling berhubungan yaitu Ayii dan Mobu. Kata ayii diistilahkan dengan selamat baik di dunia maupun di surga. Lalu, istilah kata mobu mengandung pengertian puas, kenyang, tidak mengalami kesusahan baik di dunia maupun kelak. Menurut orang Mee ayii dan mobu bukan sesuatu yang datang dengan sendiri melainkan harus diperoleh melalui usaha dan perjuangan manusia. Karena itu, orang Mee pada umumnya orang yang suka bekerja keras. Bagi orang Mee hidup ini tidak boleh santai-santai, malas-malas, dan masa bodoh dengan tugas dan kewajiban-kewajiban karena hidup demikian akan membuat orang menjadi daba-dabamee (orang yang/miskin kerdil). Hidup harus dijalaninya dengan serius menjalankan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban agar ia menjadi tonawimee, sehingga ayii dan mobu bisa diperoleh baik di dunia ketika ia masih hidup maupun di akhirat setelah beralih ke dunia kekal tempat roh-roh berkumpul. Akhirnya, masyarakat suku Mee menyadari bahwa Allah (Ugata-Me) adalah sumber kehidupan (umi tou ipuwe-Me).  Ugatame yang secara gratis memberi kehidupan maka hidup ini tidak boleh disia-siakan. Maka segala sesuatu harus dihadapinya atas dasar IPA (Kasih), MAAGAI (Iman), TEDEMAI (Bertobat) dan DIODOU (pantang dan puasa) dalam rangka mencapai AYII dan MOBU itu


Penutup

Kesimpulan

                      Secara keseluruhan makalah menyangkut suku yang berada di Papua terutama yang diteliti atau ditelusuri oleh saya yakni suku Mee “Manusia Sejati” yang berada di Pedalaman Papua.  Saya  menyadari bahwa dengan menyusun makalah ini dapat membantu wawasan saya sejauh mana yang bisa dapat dipahami oleh pribadi saya sendiri. Untuk menyususun makalah ini,  sebisa mungkin menimba informasi entah itu lewat pustaka ataupun melalui wawancara bersama narasumber yang dapat dipercaya dan diuji kebenarannya.
                      Ketika menyusun tulisan mengenai Suku Mee, saya melihat adanya perubahan yang lumayan banyak dilalui atau dijalani oleh manusia Mee dari tahun 1938 sampai masa kini. Dan dengan proses penyesuaian itulah manusia Mee dapat berkembang dengan sungguh-sungguh dari waktu-ke waktu.
                       Inti yang hendak digali dalam tulisan mengenai  manusia Mee yakni, etnografi yang jelas dan real untuk saman sekarang. Hal lainnya yakni, proses penyesuaian diri manusia Mee yang luar biasa terhadap perkembangan dunia pada saman ini atua lebih dikenal dengan budaya milenium abad 21.

Saran

Saran yang hendak di kemukakan oleh saya yaitu:
Pertama, kalau bisa suku-suku yang hendak ditelusuri oleh mahasiswa harus memiliki sumber yang cukup.
Kedua,  mahasiswa harus bekerja keras untuk mencari sumber entah itu harus mengeluarkan dana dan energi untuk tugas seperti ini.

Apa yang ditulis oleh kelompok suku Mee, ini merupakan gambaran singkat yang ditulis secara tematis. Hal-hal yang tidak ditulis dan dijelaskan dalam pembahasan ini merupakan PR (pekerjaan rumah) kita masing-masing untuk mempelajarinya secara lebih lanjut sesuai dengan cara kita masing-masing. IDEE UMINA (TERIMA KASIH BANYAK),… KOYA, KOHA, AMANAI!

BAGAIMANA   MENGHARGAI   BUDAYA  SETEMPAT
TIDAK  MENJELEKkAN  BUDAYA  ORANG  LAIN.
Menyadari bahwa budaya orang lain pun memiliki nilai-nilai luhur sebagai 
              bagian dari kekayaan  Indonesia dan anugerah Tuhan.     
            3.         Menanamkan sikap mencintai, menghormati, dan bangga akan budaya sendiri.








TUGAS MAKALAH ANTROPOLOGI PAPUA









Herman  Yoseph  Betu
       Tingkat   II  STFT  “Fajar Timur”
                   Pengenalan  Bersama  Suku   MEE  Papua




Daftar Isi
Nama dan bahasa
Nama
Bahasa

Pengenalan Letak Geografis
Lokasi

Sistem Mata Pencaharian Tradisional

Organisasi Sosial
Perkawinan
Keluarga Inti dan Rumah tangga
Pemimpin Masyarakat

Religi
Sistem kepercayaan Kepada Allah
Upacara-upacara Daur Hidup

Kesenian

Pengenalan Suku Mee
Prinsip Hidup suku Mee

Relasi dengan Alam Semesta

Relasi dengan Para Leluhur


Pendidikan

Perubahan Kebudayaan


Paham Tentang kematian

Paham Tentang Keselamatan

Penutup
Kesimpulan
Saran












kejadian tidak akan terjadi sama kedua kalinya
          Ringkasan Antropologi Budaya Indonesia      
Bab I. Beberapa Pengertian Umum
Antropologi Budaya Indonesia
Pada pokok ini ada tiga hal yang dibahas, yaitu; Antropologi, Kebudayaan dan Indonesia.
Istilah Antropologi berasal dari bahasa Yunani; Antropos (manusia) dan logos (akal, ilmu). Jadi Antropologi itu artinya ilmu tentang manusia. Tetapi ada banyak ilmu lain yang juga mengkaji tentang manusia, namun Antopologi berbeda dengan ilmu lain, menyangkut metodenya; yakni perbandingan satu etnis dengan etnis lain dan juga deskriptif.
Hal lain selain antropologi adalah budaya. Banyak definisi mengenai budaya, namun definsi itu berbeda pada penekanannya. Ada yang melihatnya sebagai kebiasaan, adat-istiadat, keyakinan, perilaku. Definisi mereka bertolak dari cara pandang tertentu. Misalanya ada  yang mengerti sebagai  perilaku spesifik manusiawi (proses belajar), ada yang melihatnya sebagai tingkah laku manusia sebagai anggota kelompok  dan ada yang melihatnya sebagai satu kompleks masalah.
Indonesia merupakan nama yang diberikan oleh orang luar kepada kepulauan Nusantara. Tahun 1850 bernama Indu-nesians/Malaya-nesians bagi penduduk Indian-Archipelago/Malayan-Archipelago (Earl, Inggris). Lorgan lebin menyukai nama Indonesia, karena sejalan dengan kepulaun Pasifik: Polinesia, Melanesia, Mikronesia. Bentuk definitif dari Bastian adalah Indonesia. Arti lain lagi bahwa Indonesia merujuk pada penduduk negara Hindia-Belanda. Penduduk pulau ini dari Asia, yang menduduki benua Asia dan Australia.  

Bentuk-Bentuk Kebudayaan Dan Pembentukan Kebudayaan
Ada beberapa faktor pembentuk kebudayaan: pertama adalah limgkingan geografis, antara pantai dan pengunungan/pedalaman, daerah yang berbatu dan yang berlimpah kayu. Kedua adalah faktor onduk bangsa juga turut berpengaruh, migarn yang masuk dalam satu kelompok bangsa (negroid, orang Minicopi, dan orang Topiro di Irian dan orang Weddid). Ketiga adalah faktor salig kontak dengan berbagai kebudayaan. Kontak memungkinkan pertahanan dan pengembangan. Perdangangan memungkinkan kontak kebudayaan terjadi.    
Pertumbuhan Menuju Kebudayaan Baru
Antropologi budaya sebelumnya disebut etnologi. Ilmu ini mempelajari bangsa-bangsa lain diluar Eropa. Hal ini menjadi keuntungan bagi bangasa barat demi tujuan praktis dan jelas menjadi politik kolonial, dimana mereka mempunyai pengetahuan tentang bangsa-bangsa jajahan. Antropologi juga sangat penting bagi zending dan missionaris. Dalam kontak antar budaya, ada hal-hal yang dipertahankan dan juga ada yang dikembangkan sesuai dengan frame of reference setempat. Sehubungan dengan kontak itu ada dua pengertian. Pertama: keduanya dibiarkan hidup berdampingan dengan pengandaian bahwa yang lemah akan hilang sendiri (Assimilasi). Dan yang kedua adalah bahwa dimana yang lebih akan mengambil beberapa elemen dari budaya yang lebih kuat (akkulturasi). Ada orang yang karena pengaruh pendidikan akan bertindak secara ke barat-baratan.  
Zaman Pre-historis dan zaman historis Indonesia
Kepulauan Indonesia terbentuk sejak zaman glausal wum. Daratan asia dulu dikenal dengan sunda, benua Asia-Autralia lebih. Hujan tidak merata disegala tempat. Tanah yang paling subur adalah tanah vulkan mudah yang dikeklilingi gunugn berapi.
Di Indonesia ditemukan 3 fosil manusia purba di,  lembah bengawan Solo, Pithecantropus Errectus, hidup dalam kelompok kecil, berburu (alatnya pemukul dan gumpalan batu yang diperjam, gua dekat Peking) dan meramu. Homo Soloensis, ia berevolusi menjadi manusia (menyerupai penduduk pribumi Australia). Sisa fosil ditemukan di distrik Wajak den diberi nama Wajakensis.
Persebaran bangsa-bangsa
Persebaran bangsa-bangsa dengan ciri-ciri Austro Melanesoid, Homo Wajakensis tersebar ke arah timur dan barat mencapai Irian. Mereka berburu dan meramu di Irian dan menduduki kepualauan melanesia. Mereka mampu membangun perahu bercadik, gemar lukis (Seram, Kei, Flores Barat dan Timor barat) . Yang membedakan orang Wajak sebelah barat dan Timur adalah kapak batu genggam  lonjong, mereka gemar makan binatang kerang. Ada pun pengearuh ciri-ciri Mongoloid. Ciri-ciri ini akibat percampuran antara manusia Mongoloid dengan Autro-Melanosoid. Sulawesi selatan dapat dipandang sebagai daerah pertemuan antara budaya Austro-Melanosoid dan Paleo-Mongoloid. Hal yang menyolok dari kelompok ini adalam mereka belum tahu bertani.
Penyebaran bangsa-bangsa pembawa kebudayaan neolitik. Mereka sudah mengenal bercocok tanam. Pertaniaannya ekstensif dan lat yang digunakan adalah kapak batu dan cangkul batu. Dari Cina selatan mereka tersebar ke bagian barat Laut, juga budaya maritim. Mereka tembus sampai di Taiwan, Filipina, sulawesi Utara, Halmahera dan Maluku Selatan dengan perahu bercadik. Rekontruksi penyebaran berdasarkan kapak lonjong yang juga terdapati di Irian Jaya, yang dikenal oleh orang Irian dari orang proto-Austronesia di Halmahera. Kelompok lain lagi datang dari Asia Tenggara tetapi masuk dari arah Barat. Mereka berciri fisik Mongoloid, bahasanya proto-Mongoloid dan disebut Austronesia. Mereka menggunakan kapak kecil dan besar (vierkantbeil). Mereka berasal dari Cina selatan dan berimigrasi ke semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara sampai ke Flores, Sulawesi lalu ke Filipina. Mereka tidak pernah sampai ke bagian Timur Indonesia.
Pengaruh corak-corak Kebudayaan dalam abad-abad Histori
Ada beberapa pengaruh. Pertama pengaruh kebudayaan Hindu. Bukti dari pengaruh ini adalah batu-batu bertulis di Indonesi seperti antara lain di Jawa Barat, Jakarta, Kalimantan. Selain itu pengarunya juga pada penggolongan masyarakat, dimana raja dipandang sebagai keturunan dewa, yang bersifat keramat di yang merupakan puncak dari alam semesta . pengaruh yang ke dau adalah pengaruh Islam yang dibawa masuk oleh pedagang-pedangan Parsi dan Gujarat. Islam mengandung unsur mistik. Tokoh penyebarnya adalah Narudin Araniri di Sumatera dan Sjech Siti Jenah di jawa. Pengaruh agama ini, lahirlah pesantren-pesantren, para santri yang taat menjalankan syariah islam. Selain itu lahirlah wali-wali/ penyiar agama islam di jawa. Pengaruh ke tiga adalah pengaruh dari kebudayaan Eropa. Pengaruh itu dimulai sejak masuknya orang Portugal yang memulai dangan usaha perdagangan dan penyebaran agama Kristen. Setelah itu hadir pula bangsa-bangsa barat lainya, Inggris, Belanda dengan VOCnya. Pengaruh Eropa menciptakan lapisan-lapisan sosial. Kaum buruh, kaum pengawai dan para elit pedangan/penguasa (orang Tionghoa dan Keturunannya. Mereka sangat mengabaikan pendidikan sehinggga banyak yang tidak tahu menulis dan membaca.
Bab Kedua Kepribadian Indonesia
Masyarakat barat dan bukan barat
Ada beberapa perbedaan antara masyarakat barat dan bukan barat. Pertama, masyarakat bukan barat umumnya tergantung pada alam. Mereka hidup dari makanan ang dikumpulkan dari alam, tidak menguasai teknik. Mereka disebut ‘naturvolk’ manusia alam. Kedua, masyarakat bukan barat mempunyai truktur yang sederhana dalam tingkat pembagian tugas, paling-paling amtara pria dan wanita saja, sedangkan barat ada pembagian tugas dan sangat fungsionaris. Ketiga, pada masyarakat ukan barat kelompok kecil mendpat arti. Kekerabatan atau tempat tinggal yang sama memainkan peran penting. Sedangkan masyarakat barat tidakalah dmikian, banyak aspek meiliki aspek mondial. Keempat adalah arti dari tulisan.pada masyarakat bukan barat, tidak menganl tulisan atau tanpa tulisan. Sedangkan pada masyarakat barat modern tulisan begitu penting sehingga dikenal.
Selain perbedaan masyarakat barat dan bukan barat, masyarakat Indonesia dibagi menjadi enam tipe, yakni: pertama, masyarakat berdasakan sistem berkebun yang amat sederhana, ubi, keladi, berburu dan meramu menjadi teman hidupnya. Kedua, masyarakat pedsesaan berdasarkan bercocok tanam di ladang atau di sawah dengan padi sebagai tanaman utama. Masayarakat ini bigai menjadi dua, bagian atas (halus dan beradab dekat kota) dan bagian bawah (agak kasar di pedesaan). Ketiga adalah tipe masyarakat pedesaan bercocok tanam di ladan atau di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya. Ada sedikit stratifikasi sosial, ada pengaruh dari islam dan kolonial. Keempat adalah tipe masyarakat pedesaan bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya. Stratifikasinya agak kompleks, ini ada pengaruh islam dan kolonial. Kelima adalah tipe masyarakat kekotaan yang mempunyai ciri-ciri pusat pemerintahan dengan sektor perdangangan dan industri yang lemah. Yang terakhir adalah tipe masyarakat metropolitan yang mulai mengembangkan sektor perdengangan dan industri yang agak berarti, ada sektor kepegawaian, dan kesibukan politik di tingkat daerah maupun nasional.
Empat Tipe masyarakat
Sebelum masuk pada itu perlu kita ketahui kepribadian. Para ahli melihatnya melalui unsur-unsurnya. Pertama adalah pengetahuan, dimana unsur yang mengisi akal jiwa manusia secara sadar terkandung dalam otaknya. Ia menggunakan pancainderanya melalui pengalaman individualnya. Dari pengalaman ia mempruyeksikannya menjadi suatu persepsi. Ia menggambar objek itu secara abstrak dan menjadi sebuah konsep. Kadang yang dikonsepkan tidak sesuai dengan pengalaman sehingga itu menjadi fantasi. Kedua adalah perasaan; selain pengetahuan alam kesadarannya mengandung perasaan, ketika melihat atau mencium, ia membangun persepsi atasnya dan itu sangat subjektif, entah itu negatif atau positif, yang baisanya menimbulkan kehendak dan wujudnya adalah keinginanan. Dan keinginan keras untuk mendapat keinginan disebut emosi. Ketiga adalah dorongan naluri; ada tujuh macam naluri yaitu, naluri untuk hidup, sex, makan, bergaul, meniru tingkah laku, berbakti dan ketujuh adalah dorongan akan keindahan.             
Aneka kepribadian dibagi menjadi 3 yaitu: kepribadian individu; setiap individu itu unik dengan yang lain, karena ia dengan aneka pengetahuan, kehendak, perasaan, keinginan kepribadian serta perbedaan kualitas hubungan individu. Kepribadian umum; Antropologi juga mempelajari tingkah laku yang menjadi pola dari sebagian earga masyarakt yang diatur dalam adt-istiadat. Tingkah laku itu menjadi pola yang berkaitan satu sama lain, yang biasanya disebut sistem sosial. Metode yang dikembangkan adalah deskripsi. Yang lain berdasarkan pendirian psikologi bahwa ciri-ciri watak seseorang individu sebenarnya sudah diletakan ke dalam jiwa seorang anak sangat awal, yaitu pada waktu ia masih anak-anak. Lingkungan terdekat juga mempengaruhinya, pola-pola adat, norma-norma dan cara pengsuhan anak. Ketiga adalah kepribadian barat dan timur; kepribadian barat adalah materialis, pikiran logis, hubungan berdasarkan asas guna dan individualitas. Sedangkan timur; mengutaman rohani, mistik, pre-logis, keramah-tamahan dan kolektifitas.  
Pola Hidup Kaum Peramu
Pola hidp masyarakatat ini tergantung pada alam. Alam menyediakan dan mereka hanya ambil apa yang disediakan oleh alam. Pola itu berdampak pada pemahaman mereka tentang alam semesta. Mereka merasa diri kecil, tidak berdaya terhadap alam yang maha dasyat tersebut. Mereka memandang dirinya sebagai oknum yang berada dengan, ia hidup bersama wujud-wujud yang lain dan tidak mempertentangkan dirinya dengan yang lain. sikap ini memotivasi dia untuk merebut bagiannya, harus memperjuangkannya, memetik, meangkap dan mengumpulkannya. Ia mencoba dari pengalamannya.
Bagi kaum peramu sosial berarti perlu-tidak-saling membunuh. Kesadaran akan pentingnya hidup dan kerja sama didasarkan pada kekerabatan, perkawinan ataupun persahabatan. Rasa hormat terhadap anggota kelompok tidak didasarkan pada generasi, umur atau jenis kelamin, melainkan dari prestasi yang bersangkutan (berani atau kaya). Sumbangan bagi masyarakat umum menjadi ukuran. Memang ada peraturan tetapi pilihan jodoh diatur oleh yang berskuasa. Sesudah pernikahan suami istri memili sendiri tempat domisili sesuai harapan meeka. Resiprositas mencirikhaskan pola pergaulan orang peramu.
Masyarakat peramu merupakan manusia pragmatis yang memiliki pola berpikir analitis. Mereka peka terhadap untung rugi. Masyarakat peramu melihat jiwa dan badan merupakan satu kesatuan, suatu dwitunggal. Segala sesuatu bersifat rohani-jasmani sekaligus, karena ia bisa berpikir, merasa dan mau. Bagi masyarakat peramu sikap hormat pada matahari dan bulan yang mewakili kekuasaan tertinggi atau terhadap bumu sebagai rekaan (ibu bumi) dan pengalaman rasa bersalah bila orang tidak mentaati undang-undang besar hidup ini karena itu harus menerima hukuman.
Unsur-unsur masyarakat peramu ini terintegarasi dalam mentalitas masyarakat Indonesia. Seperti dunia dipandang sebagi milik. Sikap tolong menolong dan kolektifitasnya tinggi. Sikap konsumtif menwarnai kehidupan, ia juga bersikap sintesis baik itu kaum pelajar maupun tidak, dimana profan dan yang rohani itu tidak ada bedanya. Mereka hampir tidak membedahkannya. 
   Kelompok Petani Ladang
Kelompok masyarakat petani ladang biasanya tinggal menetap. Mereka tidak berpindah-pindah tempat. Tempat tinggal mereka dekat dengan ladang pertanian. Sehingga memudahkan mereka menjangkaunya. Mereka sangat produktif. Hidup mereka terikat pada kelompoknya. Ketika pemerintah dan agama masuk, orang-orang dari tempat lain berdatangan, otonomi asali mereka muali menghilang. Mereka mulai hidup membaur dengan masyarakat lainnya.
Pandangan Terhadap Alam Semesta
Hutan dan rawa-rawa (mikro dan makro) lebih luasa dari dunia yang mereka kenal. Alam semesta itu hidup dan menghidupi. Ia mempengaruhi seluruh kehidupan mereka. Sehingga dalam hal-hal tertentu; misalnya pembuakaan lahan ladang baru, diawali dengan ritual-ritual kepada alam. Begitu pula saat panen tiba, mereka mempersembahakan sebagaian hasil ladang mereka kepada alam semesta yang diyakini hidup.
Petani ladang menciptakan dunianya. Mereka merasa nyaman dunia ciptaan mereka tersebut. Bagi mereka kerja sangatlah berarti. Hasil dari pekerjaan itu biasanya dinikmati bersama. Mereka juga sangat mempertahankan tradisi-tradisi. Ketika orang luar masuk dan mengajari hal baru, mereka akan tetap pada pendiriannya mempertahankan tradisi. Misalnya: berkebun, menanam petatas dengan tidak memakai para-para. Ketika ada yang datang dan mengajari hal baru, menanam petatas dengan daunnya digantung pada para-para, mereka akan menolak itu. Bagi mereka pengalaman adalah guru terbaik.
Pandangan Terhadap orang-orang lain/ sesama
Bagi mereka sesama itu lebih luas. Baik itu sesama manusia, alam ciptaan. Mikro dan makro kosmos membentuk satu keluarga besar. Kepentingan itu lebih tinggi nilainya. Apalagi menyangkut persoalan-persoalan dalam kehidupan. Perkawinan membuat mereka membentuk satu lingkaran partner yang lebih besar. Tetapi dalamnya, masyarakat ada yang dibagi dalam paruh-paruh/moiety-moiety yang tidak boleh dilanggar dalam urusan perkawinan. Misalnya; wita-waya di Wamena. Wita tidak dapat kawin dengan wita, bagitu pula waya dengan waya. Wita harus mengambil partner hidupnya dari waya. Begitu pula sebaliknya waya mengambil partner hidupnya dari wita.
Prinsip kekerabatan yang biasanya mereka bangun dalan kehidupan adalah genealogis. Artinya kekerabatan berdasarkan hubungan keluarga sedarah atau seketurunan. Juga ada prinsip pemilikan tanah secara bersama-sama. Artinya satu marga mempunyai tanah di tempat-tempat tertentu. Dalam urusan kawin-mawin, mas kawin menjadi syarat utama. Mas kawin menjadi semacam prinsip resiprositas. Dalam hal ini Marcel Mauss Berkata “tidak ada sesuatu yang diberikan secara Cuma-Cuma, Do Ut Des).
 
Sifat-Sifat Dasar dan Ciri-Ciri Petani Ladang 
Para petani ladang umumnya juga mempunyai sifat manusiawi dasar. Sifat-sifat itu juga dihidupi dalam warna-warni kehidupan. Dalam kehidupan terkadang mereka tidak menerima ide-ide baru. Masih mempertahankan tradisi-tradisi lama. Ini memperlihatkan bagaiman mereka mempertahankan identitas diri mereka. Sebagai petani ladang, menunggu hasil panen membutuhkan kesabaran. Mereka membula lahan baru, menanam, merawat, menyiangi dan memanennya. Pekerjaan itu membentuk karakter mereka. Mereka umumnya masyarakat yang sabar. Karakter mereka dibentuk dari pekerjaan itu. Dalam kehidupan bermasyarakat, bagi mereka perantara adalah hal yang terpenting. Perantara itu di bidang rohani dan bidang-bidang lain. Selain itu perempuan adalah harta yang berharga, dalam menjalin hugungan kekerabatan. Perempuan dilihat memberikan manfaat, memberi kehidupan, memberi keturunan dan juga mendatangkan harta. Paham akan perempuan ini juga dihubungkan dengan alam, tanah yang memberi mereka makan.  
Letak daerah atau keadaan geografis mempengaruhi manusia. Letak geografis, mata pencarian sangat berpengaruh besar dalam membentuk tipe-tipe atau karakter orang. Seorang petani ladang dengan lahan yang subur akan berbeda dengang petani ladang yang daerahnya tandus. Orang yang tinggal di daerah pegunungan akan sangat berbeda karakternya dengan yang tingal di daerah pesisir pantai. Seorang petani ladang yang demi menjaga kelangsungan hidupnya harus membanting tulang, akan sangat berbaeda karakternya dengan masyarakat peramu yang hanya memetik hasil dari alam tanpa menanamnya.
Perubahan mata pencarian saat ini sangat membentuk karakter seseorang. Akan berbeda jika membandingkan anak seorang petani dan PNS, pejabat pemerintahan. Seorang bapak yang membanting tulang untuk biaya sekolah anaknya akan berbeda dengan karakter anak yang membiayai sekolah dari dirnya atau hasil usahanya sendiri. Perbedaan akan karakter seseorang tidak terlepas dari, keadaan geografis, mata pencarian, dan latar belakang pendidikan dan keluarganya.  
Petani Sawah
Petani sawa pada umumnya mempunyai sifat silider. Sifat ini menyebabkan mereka memelihara, menjaga, merawat sawah mereka-hal ini kurang ada pada masyarakat peramu. Pada masyarakat ini keharmonisan sangat dijaga. Mereka juga menjaga ketenangan batin. Keharmonisan dan ketenangan diperoleh di tempat mereka berada. Fisik, kedudukan dalam masyarakat sangat mendapat respek dalam masyarakat ini. Misalnya dalam masyarakat Jawa; bahasa Jawa orang tua disapa dengan sebutan romo. Keharmonisan dan respek sangat penting bagi mereka, sehingga tidak heran jika pada saat lebaran banyak orang pulang kampung untuk bersilahturami. Bagi masyarakat Jawa hubungan ketetanggaan sangat penting. Nrimo adalah hal yang sangat dijunjung dalam kehidupan bermasyarakat. Pertentangan, konflik merupakan suatu perjuangan untuk mencapai ketenangan batin. Dalam hal penyelesaian suatu permasalahan atau menyampaikan emosi, tidak boleh bicara dengan keras dan kasar. Semestinya itu disampaikan secara halus sehingga orang dapat menerimanya.
Pandangan Tentang Semesta
Hal yang bermain peranan penting bagi masyarakat ini adalah irigasi. Ini membuat individu tetap tinggal pada sebidang tanah miliknya. Ia mengolah tanahnya secara menetap. Dengan cara hidup seperti itu mereka menjadi manusia yang ulet. Manusia yang ulet itu tidak bisa melakukan sesuatu sendiri, ia membutuhkan orang lain untuk mengalirkan irigasi pada sawahnya. Sehingga dengan demikian lingkungan itu menciptakan manusia. Bagi mereka tetangga amatlah penting. Sehingga dalam kehidupan mereka membangun hubungan yang baik dengan tetangga-tetangganya. Disamping itu juga hubungan genealogi sangatlah penting. Tempat mereka tinggal merupakan sentrum dan feri-feri. Mereka ada dalam kosmos, dan itu menuntut mereka untuk saling menjaga. Hal ini menimbulkan masyarakat feodal. Berada di luar tata kemasyaraktan itu, berarti berada di tempat yang tidak aman. Mereka aman dalam tempatnya. Hal tersebut menimbulkan rasa kedekatan pada lingkungan.
Bagi mereka tempat tinggal dan sawah begitu penting. Mereka membangun relasi dengan orang-orang yang ada di sekitar. Mereka bisa bekerja sama, namun itu dilandasi oleh orang-orang yang punya tempat tinggal yang sama, dan tujuan yang sama.-bukan berdasarkan relasi ipar, keluarga, kerabat. Kebersamaan sifatnya fungsional.   
Pandangan Tentang Sesama
Kekerabatan bersifat unilateral-bilateral, matrilineal cross crousingg artinya bahwa; perkawinan dilakukan berdasarkan garis keturunan ibu (ibu punya saudara punya anak)-hal ini menyebabkan sering terjadi perceraian. Bagi mereka kekerabatan tidak begitu penting sehingga kadang relasi begitu renggang. Dalam hal pendidikan anak, secara memaksa tanpa paksaan. Mereka menanamkan rasa malu pada anak. Misalnya, menyalami dengan tangan kiri tidak diperbolehkan, itu dinggap tidak sopan. Hal itu membuat sikap respek terhadap orang tua dan sesama. Mereka selalu nrimo.
Pandangan Tentang Alam Baka
Mereka sangat menekan hal-hal fisik sebagai penentu akan adanya hal-hal rohani, ketenangan batin. Bagi mereka hal-hal fisik merupakan sarana mencapai ketenangan batin. Mereka akan berada di dekat yang Ilahi. Kemolesan, kecantikan, kegantengan merupakan hal yang dapat mendekatkan mereka pada yang Ilahi.
Bali
Orang Bali sangat menghormati Sang Yang Kudus. Ia hadir sebagai Trimurti[58]. Mereka percaya kepada dewa/i dan alam semesta yang menyimpan roh-roh. Mereka menaruh rasa hormat terhadap alam semesta. Ajaran orang Bali ini termaktub dalam kitab Veda. Ada hal yang unik di Bali. Pada setiap perkampungan ada pura-pura. Dalam pura itu tersimpan tulisan-tulisan tentang tata perkampungan. Rasa hormat kepada Yang Kudus diungkapkan melalui ritus-ritus penyembahan, upacara-upacara kurban. Mereka sangat memegang erat tradisi ini. Walaupun mereka berkontak dengan budaya lain. Nilai-nilai tradisional tetap mereka hayati. Penghayatan itu juga diwujudkan dalam rumah-rumah. Setiap rumah ada kuilnya, tempat menghormati dewa/i,  roh-roh leluhur yang telah mati. Hal ini menandakan bahwa penghayatan religius mereka sangat tinggi. Satu hal yang menarik juga bahwa budaya kremasi[59] mereka anut.
Jawa
Ada tiga beberapa paham yang dianut oleh masyarakat Jawa; Kejawen[60], Priyayi[61], Islam. Dalam tradisi Jawa mereka biasanya merayakan slametan. Ada juga upacara-upacara untuk mengundang roh-roh arwah-arwah nenek moyang mereka atau orang yang telah meninggal. Mereka mengundang tetangga-tetangga. Tujuan dari itu adalah untuk mencari kedamaian, ketenangan batin. Mereka juga kuat dengan budaya keraton Jawa.Agama-agama lain seperti Hindu dan Budha masuk ke Jawa, namun itu disaring. Agama-agama itu tidak murni. Artinya bahwa Jawa dengan Frame Of Referencenya menyaring semuannya itu. Ajaran-ajaran yang cocok diterima, diambil dan dijadikan bagian dari agama mereka. Mereka mempunyai satu kerinduan untuk bersatu dengan yang Ilahi.
Banyak hal kita mengambil alih-Misalnya, jabatan tangan dalam budaya Jawa, cium tangan. Paling menonjol adalah priayi. Sekarang dipersonifikasi dengan pegawai, yang menjadi model pemimpin. Kita juga mengambil cara berpolitik di era demokrasi ini seperti Top Down Policy; politik dari atas ke bawa/kebijakan bukan dari bawa tetapi dari atas. Ini melahirkan paradigma pembangunan yang mengarah pada modernisasi dan kapitalistis yang sangat menekankan modal dan penguasaan ilmu pengetahuan. Mereka yang mempunyai modal dan pengetahuanlah yang berkuasa atas alat-alat produksi. Misalnya, PT. FREEPORT, masyarakat yang tidak mempunyai IP tersingkir, tanah mereka dibeli oleh para kapitalis/pemilik modal.
Masyarakat Pesisir
Pada abad 14-18 perdagangan rempah-rempah begitu marak di Indonesia. Disamping itu sambil berdagang agama juga disebarkan. Agama Islam menjadi agama populer. Bugis, Buton Makasar (BBM) menggiatkan perdagangan. Mereka berlayar kemana saja dituju.
Masyarakat ini mempunyai pandangan terhadap alam. Bagi mereka alam adalah sumber daya yang bisa digarap. Tujuan dari garapan itu adalah diperdagangkan. Hasil garapan itu ditukar dengan uang. Hal itu membuat mereka sangat ulet. Mereka mengadakan mobilisasi. Bergerak dari tempat yang satu ke tempat lain. Mereka mencari kemana saja. Tetapi dengan maksud yang jelas untuk kebutuhan mereka. Hal ini memperlihatkan persaingan yang amat sangat tinggi. Persaingan untuk mendapatkan kewibawaan, harta benda dan lain sebagainya.
Perkawinan mereka bersifat endogamy[62], ditentukan oleh orang tua. Kadang dikalangan mereka terjadi kawin lari. Perempuan sangat agresif. Pada umumnya perceraian terjadi karena tidak ada anak. Kalau ada poligami bisa terjadi perang. Mereka juga mudah tersinggung dan jika berhadapan dengan orang-orang yang sama karakter dengan mereka bisa terjadi perang/konflik.    
 Bab Tiga  Indonesia Modern
Modernisasi pola-pola hidup Indonesia
Modrnisasi berkembang malaui dua jalur, yakni; jalur perubahan zaman dan jalur ketahanan diri. Orang menghadapi masalah dan encari solusi, amatir atau profesional, tanpa perencanaan dan dengan perencanaan. Amatir insider emosional dan profesional outsider netral. Pola pikir ini dipraktekan oleh kaum peramu dan petani, namun lebih amatir. Sebaliknya modern menggunakan pola pikir analitis untuk mengubah dunianya.
Modernisasi dalam pola hidup kaum peramu bertolak dari beberapa suku di Irian jaya. Dunia modern masuk, pemerintahan kolonial dan kerasulan agama. Pemerintah mengusahakan keamanan sedangkan misi mewatakan ajaran kristiani. Mulai didirikan sentra-sentra; sekolah, kantor dan gereja. Hadirnya mereka merubah mentalitas masyarakt peramu, kini mulai produktif, pemerintahan mulai berubah, ada kepala desa, rumah-rumah kini mulai di tata. Penghormatan kepada wujud tertiggi mulai hilang diganti dengan agama. Mereka mulai tercabut dari latar belakang kehidupan bebas. Pandangan hidup mereka mulai diganti dengan pandangan baru, jaran-ajaran baru mulai mempengaruhi pola pikir mereka. 


    [1]              Tekege Fransiskus, Pembunuhan Habel oleh Kain dan relevansinya dengan Pembunuhan Koyeidaba oleh para leluhur mitis suku Mee, Makalah, STFT”FT” 2006. Hal. 29.
   [2]             Drs. Yobee, Andreas, M. Hum. Struktur Cerita Rakyat dalam Kehidupan Masyarakat suku Mee  Papua.  Arga  puji Mataram Lombok, 2006, hal. 263- 264
[3]  Ibid. hal. 267-268
   [4] Ibid. hal.  269.
   [5]Tekege Fransiskus, Pembunuhan Habel oleh Kain dan relevansinya dengan Pembunuhan Koyeidaba oleh para   leluhur mitis suku Mee, Makalah, STFT”FT” 2006. Hal. 30-31.

[6]  Ibid. hal. 32-34
      [7]          Pigome Magda,  Berkristologi Dalam Konteks Budaya, Artikel STFT”FT” 1996 hal. 57-58.
[8]  Ibid. hal. 59-60.
[9]  Ibid. hal. 61-62.
[10]  Ibid. hal  64.
[11]  Ibid. hal. 65.
   [12]             Tekege  Fransiskus, Pembunuhan Habel oleh Kain dan relevansinya dengan Pembunuhan Koyeidaba oleh para leluhur mitis suku Mee, Makalah, STFT”FT” 2006. Hal. 32-34.


[13]  Ibid. hal. 35.
[14]  Ibid  hal. 36-37.
[15]  Ibid. hal  38.
[16]  Ibid. hal. 39.
        [17]             Drs. Yobee, Andreas, M. Hum. Struktur Cerita Rakyat dalam Kehidupan Masyarakat suku Mee  Papua.  Arga  puji Mataram Lombok, 2006, hal. 264.

       [18]           Suara Gaya Keuskupan Timika, Menuju Gereja Mandiri dan Misioner, 20011. Hal. 31.
[19]  Ibid. hal. 32.
      [20]          Pekei  Hilarius,  Keselamatan dalam agama Ngalum, Makalah, STFT”FT” hal. 25.
      [21]           Susanto  Hary, Mitos Menurut Pemikiran nicea Eliade, Kanisius yogykarata 1987. Hal. 20.
[22]  Bunai, Albertus Kristoforus, Yesus Nota Kehidupan Kekal, Makalah, STFT”FT” 1999 hal. 13.
[23]  Ibid. hal. 12.
[24]  Hasil Wawancara  dengan Bapak Ruben Edowai pada tanggal 6 Juli di penginapan  sosial Sentani.
[25]  Hasil Wawancara  dengan Bapak Ruben Edowai pada tanggal 6 Juli di penginapan  sosial Sentani.

[26]  Prof, Dr C,a Van Peursen, strategi Kebudayaan, Kanisius, 1988, hal 48.
[27]  Ibid. hal. 49-50.
       [28]        Pekei  Hilarius,  Keselamatan dalam agama suku  Ngalum, Makalah, STFT”FT” hal.  36.

     [29]   Ibid. hal. 32.
       [30]  Ibid. hal. 18-19.
[31]  Ibid. hal. 20-21.
[32]          Bunai, Albertus Kristoforus, Yesus Nota Kehidupan Kekal, Makalah, STFT”FT” 1999 hal. 27-29.
      [33]           Rn.Bellah, Glen Lewandowaki-Penerjema), evaluasi agama, seri Pastoral, pusat Pastoral, yongyakarta,1999, hal. 7.
[34]Kudiai, Pieter Viktor, Religi Suku Mee, Skripsi Sarjana Mudah, Universitas Cendrawasih Jayapura, 1978  hal 5
[35]Magda Pigome, Majala suara Fajar Timur  Mitos Koyeidaba berkristologi dalam Konteks budaya Jayapura  April 1969hal 1-3

[36]Bunai  Yosep, Aji dan Mobu Skripsi: Keselamatan Inisial dan Kekal Menurut Pemahaman orang Mee,STFT”FT” Jayapura 200 hal  1-2

[37]  Alua  Agus, Gambaran  makluk ideal  dalam Mitos-mitos  Irian sebelum  dan  sesudah  bertemu  dengan  kristus  Karya  tulis  Ilmiah hal 3


Mitos  Awi dan  KAKA I  Ase  hal 1-2
[40]  Alua  A Agus, Mitos-mitos  irian  makluk  ideal sesudah  dan  sebelum  bertemu  dengan  Kristus

[41]  Magda  pigome  berkristologi  dalam konteks budaya
[42] Paulus Talentino Edoway, T, Inkulturasi Liturgi Perkawinan  Dalam Upacara Perkawinan Adat Suku Mee, (Jayapuara, STFT “Fajar Timur”, 1999), Hal
[43] Bdk., Koentjaraningrat dkk, Irian Jaya membangun masyarakat majemuk., ( Djambatan 1992), hal 245.
[44] Ibid.,
[45] Ibid., 246.
[46] Hasil wawancara bersama saudara Rinto Dumatubun asal keuskupan Timika, di wisma Tiga Raja, tgl 22-09-2011.
[47] Koentjaraningrat dkk., Op cit., hal 247-248.
[48]  Aprianus Iyai., Makalah Mengenai Perkawinan suku Mee, jayapura 2008.
[49] Bdk., Koentjaraningrat., Ibid., hal.248.
[50] Ibid., hal. 249.
[51] Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote asal keuskupan Timika, bertempat di wisma Tiga Raja, tgl 15-09-2011.
[52] Koentjaraningrat dkk., Op Cit., hal. 251.
[53] Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote asal keuskupan Timika, bertempat di wisma Tiga Raja, tgl 15-09-2011.

[54]Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote asal keuskupan Timika, bertempat di wisma Tiga Raja, tgl 16-09-2011. 


[55] Koentjaraningrat dkk., Op Cit., hal.252.
[56] Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote, bertempat di wisma Tiga Raja, pada tgl,16-09- 2011.
[57] Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote, bertempat di wisma Tiga Raja,  pada tgl,16-09-2011.
[58] Tiga Dewa, KBBI, Gita Media Press, hal. 769
[59] Pengabuan mayat
[60] Segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa
[61] Orang yang termasuk dalam kelas terhormat (golongan menengah ke atas)
[62] M.Dahlan Yacub Al-barry, Adat atau prinsip perkawinan yang mengharuskan anggota dalam suatu masyarakat atau kelompok untuk mencari mencari jodoh dalam kelompok, kasta, golongan, puak dan sebagainya sendiri, Kamus Sosiologi Antropolgi, , Yogyakarta, Medio 2000. hal. 76  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SPRITUAL OWAADA